Tandai typo, searth nulisnya sambil merem , ngantuk. Makasih luv ❤
__________Ana meringis kecil, bergerak gelisah di atas tempat tidur karena perutnya nyeri. Malam sudah begitu buta ketika dirinya terjaga, sementara Janu baru tidur sekitar jam sebelas malam karena ada pekerjaan.
Wanita itu mencoba memejamkan matanya, berusaha tidur. Mungkin ini akibat dirinya tidak makan malam karena sudah malas ke dapur. Terlebih karena ia juga takut berpapasan dengan Janu.
Menit-menit berlalu dan perut Ana semakin nyeri saja bagai mau datang bulan.
Melirik Janu sebentar, sebelum akhirnya bangun menuju kamar mandi karena kebelet buang air kecil. Janu masih dengan sikap dinginnya membelakanginya ketika tidur dan sengaja masuk kamar setelah Ana benar-benar mengantuk. Mereka sangat-sangat minim interaksi. Ana setiap saat dilingkupi rasa bersalah dan malu kepada suaminya sendiri karena sempat kehilangan akalnya melakukan tindakan yang tidak hanya membahayakan dirinya tapi juga calon anaknya.
Ana menyalakan saklar lampu kamar mandi ketika merasa ada yang aneh dengan tubuh bagian bawahnya.
Wanita itu terkesiap, panik mendera ketika dalamannya teradapat bercak darah. Tubuhnya yang semula baik-baik saja berubah lemas dan gemetar. Kenapa dengannya? Apa bayinya baik-baik saja?
Dengan berjalan pelan menopang perutnya yang membuncit, Ana keluar dari kamar mandi setelah sebelumnya melepas dalamannya.
Penuh pertimbangan ketika dirinya memberanikan diri menyentuh punggung suaminya lalu mengguncang pria itu agar bangun.
Janu menggumam kecil, merasa terganggu. Tapi usaha Ana tidak berhenti di situ saja, ia benar-benar pasrah ketika Janu akhirnya berbalik menghadapnya dengan mata setengah terbuka.
"Emh... Mas..."
"Kenapa?" Tanya Janu.
Ana menunduk.
"Kenapa Ana?" Janu bangkit dari tidurnya, duduk menghadap istrinya dengan wajah dikuasai kantuk.
"Berdarah, Mas..." Ana berucap lirih, menunjukkan dalamannya kepada Janu. Pria itu menelisik baik-baik, ia masih belum bisa mencerna dengan jelas maksud Ana. Ketika wanita itu menunjukan dalamannya, benar saja, ada bercak darah di sana yang cukup kontras.
Janu menatap istrinya dengan wajah tegang. "Kamu apakan lagi dirimu, Ana?" Tanya Janu panik.
Ana mengangkat wajahnya, tidak paham. Alisnya tertaut bingung dengan pertanyaan Janu.
Janu memegang pundak Ana, rahangnya mengeras. Berbagai pemikiran buruk dan ingatan merangkai cepat menciptakan sebuah kesimpulan.
"Kenapa bisa berdarah? Kamu apakan anak kita Ana?"
Ana menggeleng takut. Apakah Janu sedang menuduhnya?
"I-ini... berdarah sendiri, Mas," kilah wanita itu.
Janu menggeleng tak percaya. "Bohong, apa kamu mau melukai diri kamu lagi? Benar, Ana?"
"Maksud Mas?" Tanya Ana. "Aku sama sekali tidak tahu kenapa bisa berdarah. Tadi perutku nye--
"Ana!" Bentak Janu tak mau mendengarkan lagi sedikitpun penjelasan istrinya. "Saya tahu kamu sedang berduka, tapi tindakan kamu tidak masuk akal! Dia anak kita! Dia sudah bernyawa! Istighfar kamu Ana!"
Ana menunduk takut mendengar gertakan Janu. Tubuhnya mundur beberapa langkah. Kenapa Janu tak percaya dengannya? Mana mungkin Ana mau melukai anaknya sendiri?
Air mata wanita itu lolos membasahi pipinya. Tuduhan Janu begitu keterlaluan, ia tak sampai hati akan berpikir ke arah sana.
Ana menelan ludah, "kalau Mas tidak mau mengantar ke puskesmas, aku bisa pergi sendiri..."
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA PILIHAN BAPAK (End)
RomansaAna, perempuan modern yang dipaksa pulang ke kampung halaman demi orang tuanya. Kepulangannya dikira akan menghadapi berbagai kendala yang membuatnya tertinggal jauh dari teknologi, tapi ternyata tidak. Desanya sudah maju dan berkembang pesat oleh s...