"Suami saya ya, minggu pertama punya anak, kalau anaknya nangis selalu menyempatkan bangun. Minggu kedua ketiga mulai bangun terpaksa, satu bulan sampai seterusnya dia hanya bangunin saya buat nenangin anaknya sementara dia lanjut tidur. Kan ngeselin," cerita salah seorang rekan guru mengenai keluh-kesah menjadi orangtua di awal pernikahan. Ana tertawa kecil, dalam hati ia berharap Janu tidak seperti itu. Walau Ana juga yakin Janu tidak akan membiarkannya mengurus anak mereka semalaman sendirian.
Teringat Janu, Ana mendesah pasrah. Suaminya akhir-akhir ini jarang di rumah dengan alasan ada urusan pekerjaan. Ana tidak tahu pekerjaan yang mana yang sedang bermasalah, Janu seolah menyembunyikan sesuatu darinya.
Pria itu setidaknya sedikit lebih baik ketimbang tidak mengantarkannya sama sekali ke sekolah. Pulangnya Ana memang dijemput, tapi tidak menunggu lama Janu pasti akan pergi lagi.
"Gimana Bu Ana bayinya?"
Ana mengelus perutnya. "Alhamdulillah sehat, Bu,"
"Ibu ndak sering muntah-muntah atau kepingin apa yang aneh gitu, ndak?"
"Awalnya sih mual, tapi waktu-waktu tertentu saja, jarang sekali. Kalau masalah ngidam, saya palingan makan bakso atau ingin memasak sesuatu. Tidak ada ingin makan makanan yang aneh dan mendadak sih, Bu. Biasanya kalau terpancing lihat orang makan, saya juga jadi ngiler,"
"Wah berarti Bu Ana masih tahap hamil yang wajar. Hamilnya juga tergolong cepat lho Bu, baru juga mau dua bulan menikah sudah hamil,"
Anta tersenyum maklum. Berarti Allah mempercayakan mereka segitu cepatnya. Di tahap-tahap kehamilan ini Ana merasa lebih perasa dan harus banyak bersabar ketika tidak semua keinginannya bisa tercapai.
"Saya dulu hamil anak kedua, waktu itu usia saya baru mau tiga puluhan. Kebetulan rumah saya itu saat itu dekat dengan perkebunan kopi milik Mbah saya. Kalau nyium bau kopi sedikit aja, saya langsung ikutin baunya sampai ndak sadar sudah di rumah Mbah yang sedang menggiling kopi,"
"Penciumannya kuat,"
"Iya, pas hamil itu saya juga suka sekali makan biji kopi. Sekarang, anak kedua saya entah ada pengaruhnya dengan kopi atau tidak, tapi kulitnya lebih gelap dari empat anak saya yang lain. Bahkan suka dibilang beda sama orang,"
Mereka tertawa mendengar penuturan rekan kerja Ana. Walaupun mungkin secara medis tidak ada hubungannya, tapi menghubung-hubungkan sesuatu seperti Ibu tadi cukup membuat perut Ana kegelian. Bagaimana bisa coba, mungkin sudah genetiknya seperti itu, pikir Ana. Bukan karena kopi tentu saja.
Ana mengobrol cukup lama ketika Janu ternyata sudah menjemputnya. Pria itu berdiri di depan ruang guru, memperhatikan Ana yang asyik tertawa bersama rekannya. Jauh berbeda dengan pertama kali wanita itu bekerja di sana, Ana dulu terkesan tidak nyaman. Mungkin karena pengaruh lama di kota dan tidak terbiasa bergaul dengan Ibu-Ibu kantoran. Sekarang wanita itu merasakan menjadi Ibu rumah tangga yang pembahasannya tidak akan jauh-jauh dari kejadian harian yang dialaminya, meski tidak memungkiri bahwa Ana bukan tipe orang yang suka menceritakan panas dingin kisah keluarganya pada orang lain.
"Duh, Mas Janu makin hari makin kelihatan muda aja," puji salah satu guru di sana. Janu tersenyum ramah, tidak menanggapi.
Ana menggigit bibirnya, Janu memang makin terlihat emh, berkarisma. Berbeda dengannya yang semakin hari semakin terlihat keibuan. Kodrat wanita...
"Mas hari ini di rumah saja ya, aku kepengen berdua," bujuk Ana ketika keduanya sudah di mobil, bersiap meninggalkan lapangan sekolah.
Janu mengusap lembut surai istrinya. "Habis sore saya di rumah. Saya antar kamu pulang dulu habis itu baru berangkat lagi,"
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA PILIHAN BAPAK (End)
عاطفيةAna, perempuan modern yang dipaksa pulang ke kampung halaman demi orang tuanya. Kepulangannya dikira akan menghadapi berbagai kendala yang membuatnya tertinggal jauh dari teknologi, tapi ternyata tidak. Desanya sudah maju dan berkembang pesat oleh s...