Ana mengernyit, merasa pipinya ditepuk-tepuk. Ia begitu kedinginan ketika suara Janu menyentuh gendang telinganya. Ana menyesuaikan diri cukup lama sebelum akhirnya benar-benar membuka mata, mendapati dirinya di atas kasur dengan selimut yang tentu saja menutupi tubuhnya yang tampak berisi.
Janu bernafas lega, Ana akhirnya bangun dari tidur panjangnya. Enak sekali ya, Janu bahkan dibuat khawatir ketika wanita itu seharian di kamar mandi. Pintu diketuk tak dijawab, wajar jika Janu berpikiran macam-macam. Istrinya masih di dalam bathtub bermandikan busa sambil tiduran kepala disandarkan di pinggirannya, seperti tanpa beban sementara dirinya harus merusak pintu dulu.
Ana bangkit, badannya pegal semua. "Aku aneh, deh Mas. Tadi aku mimpi..."
"Jangan lakukan itu lagi Ana. Pikirkan sisi bahayanya, kamu bisa kehabisan oksigen di dalam kamar mandi berjam-jam, atau tidak sadar menenggelamkan kepalamu di dalam air," Janu menggaruk keningnya, tak paham lagi.
Ana mencerna begitu lama, sebelum akhirnya ia sadar sesuatu. "Aku gak mimpi ya berarti?"
Janu tidak menjawab, mengambil pakaian dalam dan baju untuk Ana di lemari. Seharian ini Ana membuatnya cukup kesal jujur saja. Ketika emosinya benar-benar netral, Janu sudah ingin berbicara dengan kepala dingin bersama Ana. Tapi lagi-lagi wanita itu membuatnya gemas.
Janu membuka selimut, tubuh Ana sudah dikeringkan. Dengan wajah datarnya, pria itu memakaikan istrinya baju.
"Mas marah? Maaf," Ana menunduk, ia takut sisi Janu yang pendiam.
"Kamu belum makan, Lala tadi mancari Bundanya. Setelah ini turun ke bawah, saya mau keluar dulu. Ada urusan," Janu bergegas menjauh ketika Ana menarik ujung bajunya.
"Mas masih marah?"
Janu melepas tangan istrinya. "Mau saya bawakan makan ke sini?"
Ana cemberut. Janu benar-benar pandai mengalihkan pembicaraan. Malas menuntut penjelasan membuatnya melangkah lebih dulu meninggalkan kamar. Terserahlah Janu mau marah dengannya atau tidak. Sepemikiran Ana, ia tidak membuat kesalahan besar. Ia tidak ingin terkesan mengintimidasi hingga Janu pada akhirnya benar-benar terganggu dengannya. Mungkin pria itu sedang banyak beban pikiran. Bisa jadi, kan?
"Bunda..." Lala melempar kucing kecil milik eyangnya sembarangan, berlari memeluk Ana yang baru saja sampai di lantai bawah.
"Hei, lagi ngapain?" Ana mendesis merasa Lala begitu berat ketika dirinya menggendong anak itu.
"Main..."
"Udah makan belum?"
Anak itu mengangguk.
"Sudah aku kasih makan kok tadi, iya kan Lala?" Dian menjawab, mengalihkan perhatiannya pada dua perempuan berbeda usia di depannya.
Oh, bagus sekali. Ana bahkan sudah berburuk sangka kalau wanita itu mau mencuri hati keluarga ini.
"Maaf ya, tadi Bunda ketiduran. Kita makan lagi yuk!" Sahut Ana, membawa Lala menuju dapur. Keduanya tampak akrab, Lala memang mudah bergaul kalau sudah kenal dekat. Tidak dengan Dian yang dari tadi mendekatinya dan membuatnya tak nyaman bermain. Perempuan itu selalu menanyakan banyak hal, mulai dari Ibunya sampai Ayahnya.
"Dedeknya gak makan ya, Bunda?"
Ana mendudukkan Lala di atas meja. Ia beralih memuat nasi di pemanas sebelum memanaskan lauk yang ada di kulkas.
"Makan, kalau Bunda makan nanti adiknya juga makan, sayang,"
Lala menggembungkan pipinya. Gadis kecil itu mengambil piring Bundanya lantas memuatkan ikan yang banyak. "Bunda harus makan banyak, biar adiknya Lala gak laper..." pintanya, membuat Ana merasa diperintah oleh Janu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA PILIHAN BAPAK (End)
RomanceAna, perempuan modern yang dipaksa pulang ke kampung halaman demi orang tuanya. Kepulangannya dikira akan menghadapi berbagai kendala yang membuatnya tertinggal jauh dari teknologi, tapi ternyata tidak. Desanya sudah maju dan berkembang pesat oleh s...