37

51.5K 5.3K 394
                                    

"Ndakpapa, dik. Syukur itu badannya ndak demam. Biasanya kalau mau tumbuh gigi sampai demam," Tisa mengelus surai Jagat yang sudah terlelap.

Bulan demi bulan berlalu, tak terasa anak kesayangan Ana dan Janu sudah semakin menunjukkan signifikansi pertumbuhannya.

Kadang Ana dibuat tak bisa melakukan pekerjaannya sama sekali demi memperhatikan dan menjaga Jagat seorang.

Janu yang mulai sibuk kembali dengan persawahan, sesekali ke kota, menjadikan Ana harus mengubur keinginannya kembali mengajar di sekolah karena anaknya tak ada yang mengasuh.

Belum lagi dengan keputusan Janu meninggalkan kediaman orang tuanya untuk membangun rumah sendiri yang sebelumnya belum sempat diurus untuk diisi melainkan hanya bangunan kosong. Satu dua ruang mulai direnovasi, beberapa titik juga diperluas. Kesemuanya itu membutuhkan banyak perhatian khusus agar Mei nanti bisa diisi, dan pada akhirnya Janu harus lebih banyak meluangkan waktunya dengan semua pekerjaan itu ketimbang dengan sang istri dan anaknya.

Bukan tanpa alasan Janu mau pindah rumah memboyong serta keluarga kecilnya, melainkan karena Janu semakin hari semakin paham bahwa anak dan istrinya tidak melulu harus bergabung dengan orang tuanya, dengan keluarga kakaknya yang akhir-akhir ini memutuskan untuk menetap antara Dian dan Rehan di sana.

Jagat juga tumbuh dan berkembang membutuhkan ruang dan lingkungan yang memadai. Ana setiap hari selalu saja ada yang dikeluhkan ini dan itu tentang Dian, tentang ketidakcocokan keduanya, menjadikan Janu sampai pada satu keputusan bahwasanya mereka memang harus pindah.

Belum ada yang mengetahui baik dari keluarga Janu maupun keluarga Ana tentang keinginan mereka, melainkan Janu ingin membangun lebih dahulu rumahnya agar siap huni lalu kemudian meminta restu dengan Ibu dan Bapak agar mereka pindah.

Yang Janu khawatirkan hanya satu sebenarnya, ia adalah anak tunggal secara silsilah ayahnya. Tidak ada yang bisa mengurus orang tuanya begitu beres selain dirinya sendiri. Terutama Rehan juga punya kehidupan sendiri yang begitu menyibukkan meski tak memungkiri masih perhatian dengan sang Ibu.

Maka dari itu, ia sempat mempertimbangkan untuk pindah saja ke kota sekalian di sana ada Lala, anak itu bisa lebih sering bermain dengan adiknya ketimbang mereka tinggal di desa. Namun di sisi lain ada orang tua yang mesti dipikirkan juga, Ibu Ana, Ibunya dan Bapaknya. Tidak mudah meninggalkan mereka dengan sekali bertolak.

Ana juga tak mau meninggalkan Ibunya seorang di desa meski ada Masnya yang mengurus.

Jadi, keputusan terbaik adalah tetap membangun kediaman di desa agar tidak terputus dengan keluarga. Janu berharap, kedepannya ia bisa membawa serta Lala dengannya agar keluarga kecil mereka lengkap. Meski sebenarnya Prita tak melarang, namun Janu dan Ana paham bahwa Lala di masa pertumbuhannya sangat membutuhkan Ibu kandungnya.

"Gimana Mbak, kapan balik lagi ke rumah?" Ana sebenarnya kesal mengingat Dian berani mendiami kamar Rehan dan Tisa di masa-masa menuju persalinannya. Ia merasa perempuan itu tak pantas di sana. Ada sekian kamar di rumah orang tua Janu yang bisa ditempati, kenapa harus tempat sakral itu yang dijadikan kamar Dian.

"Ndak ah, di rumah Ibu sudah nyaman. Mbak sekarang sedang fokus mengembangkan usaha baru, hehe,"

"Apa itu, Mbak?"

"Ya bukan apa sih, hanya usaha sampingan. Mbak habis beli ruko depan pasar, belum ada isinya juga. Mbak masih nabung dan pikir-pikir mau buat pangkalan gas saja di sana. Gimana menurutmu, dik?"

DUDA PILIHAN BAPAK (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang