12

61.7K 5.5K 98
                                    

"Huekk!" Aku segera berlari ke kamar mandi, memuntahkan isi mulutku. Astaga, buruk sekali. Padahal aku baru sikat gigi.

"Kenapa?" Mas Janu ternyata menyusulku.

Tidak langsung menjawab, aku lantas berkumur beberapa kali. "Erghh!" Aku menggeleng menyesal.

"Aku minum jamu, ugh... aneh sekali rasanya,"

"Jamu? Untuk apa?"

Mas Janu tahu sekali rutinitas pagiku. Tidak ada vitamin atau obat herbal apa pun yang aku minum. Jadi, kalau tiba-tiba sepagi ini aku minum jamu sudah pasti ada yang berubah.

"Minum dulu,"

"Makasih, Mas,"

Aku meneguk segelas air sampai tandas. Rasanya bebar-benar aneh, aku bahkan sampai mengernyit tak suka.

"Aku kemarin ditawarkan jamu untuk penyubur kandungan dengan temannya Ibu. Tak pikir enak, eh ternyata aneh sekali rasanya..." keluhku.

Mas Janu membuang napasnya. "Mana?"

Aku menunjuk bungkusan jamu yang tegeletak tak berdaya di atas meja. Masih banyak, aku tidak yakin bisa meminumnya barang satu saja.

Mas Janu bergerak mengambil bungkusan jamu sashet itu lantas membuangnya ke tong sampah. Cukup membuatku tercengang.

"Eh, kenapa dibuang Mas?" Tanyaku panik.

"Jangan kamu ambil. Saya tidak meminta kamu memaksakan diri untuk hamil sampai harus muntah-muntah meminum apa yang kamu sendiri tidak bisa teguk. Tuhan tahu kapan waktu tepat untuk kita diberi anak," Mas Janu berkata dingin, meninggalkan kamar setelah aku dibuat takut.

Astaga, sepertinya aku sudah berbuat salah. Sambil memijit tengkuk aku kembali lari ke kamar mandi. Minum jamu di pagi hari cukup membuat asam lambungku naik. Kenapa ya...

Padahal aku antusias sekali semalam saat dibawakan Ibu. Kalau sampai ketahuan jamunya dibuang sudah pasti Ibu tersinggung.

"Ayok Mas dimakan selagi hangat," perempuan yang katanya teman sekolah Mas Janu ternyata sepagi ini sudah di dapur mendahuluiku.

"Pagi, Mbak," sapaku canggung. Perempuan itu tersenyum manis padaku.

Hebat, melihatnya ikut membantu Ibu memasak adalah prestasi luar biasa, karena aku saja tidak dibolehkan.

Bagaimana bisa coba?

Ya bisa saja. Apa aku juga harus menyamakan diri dengan dia yang memang kehadirannya diharapkan oleh Ibu selama ini.

Aku duduk di lantai, menemani Mbak Tisa memotong terong. "Ada pisau lagi ndak Mbak?"

"Ada, mau bantu?"

Aku mengangguk. Mbak Tisa dengan baik hati mengambilkanku pisau, tidak enak saja kalau tidak ada kerjaan.

"Enak tidak Mas? Kayak yang suka aku buatkan dengan Ibu lho itu," kudengar perempuan itu berbicara dengan mas Janu tapi hanya dibalas gumaman kecil dari suamiku.

"Dian namanya, janda satu anak," Mbak Tisa tersenyum usil padaku.

"Oohh,"

Tiba-tiba aku jadi gelisah sendiri. Janda dan mantan duda, hmm... jangan deh. Aku malas berpikir yang aneh-aneh.

"Anaknya udah gede?" Biskikku.

"Em, belum sih. Masih umur 8 tahun, anak laki,"

Lagi-lagi aku mengangguk paham. Hebat ya dia, selain bisa mengurus anak, ternyata bisa mengurus suami orang juga.

DUDA PILIHAN BAPAK (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang