14

64.4K 5.7K 70
                                    

Aku menahan mual melihat siswa perempuan dalam ambulans dengan keadaan kaki berdarah akibat diserempet motor sampai jatuh ke pinggir trotoar.

Aku masih punya jiwa sosial dan rasa Iba ketika anak muridku dalam keadaan tidak berdaya. Dua guru lainnya menyusul dengan motor pribadi, sementara pihak sekolah sudah berusaha menghubungi Ayah sang anak.

Aku sampai di Puskesmas beberapa saat kemudian. Aku sudah lemas ketika mengirim pesan pada Mas Janu untuk menjemput di Puskesmas. Aku benar-benar tidak tahan dengan luka berdarah, tersayat, atau sejenisnya.

"Bapaknya tadi ditelpon panik, mau pinjam motor tetangga dulu katanya. Kita temani Safira dulu saja, Bu Ana," saran Bu Aisia. Aku mengangguk pelan, berusaha terlihat baik-baik saja. Seandainya aku tidak seteledor ini, mungkin aku akan menumpang di motor teman guru saja ketimbang menemani siswaku dalam ambulans dengan merintih menahan mual karena daging bercampur darah.

Erggghhh

Aku berdiri gugup, cukup lama menunggu proses pengobatan siswaku ketika Mas Janu datang dengan alis menaut.

"Bagaimana?" Tanyanya.

"Lukanya masih dibersihkan," aku bersender lemah di bahunya mengingat luka anak itu. Astaga, tidak dua kali. Apalagi aku menyaksikan betul bagaimana siswa diserempet karena kondisi jalan sedang ramai sehabis pulang sekolah.

"Kita tunggu sampai selesai dulu ya, Mas?" Pintaku. Mas Janu mengangguk setuju.

"Kamu pucat. Saya belikan minum?" Tanyanya.

"Engh, jangan. Ini aku mau muntah dari tadi Mas, tapi malah jatuhnya mual,"

"Kenapa? Belum makan?"

"Tadi lihat luka berdarah, erghh," aku bergidik, tidak mau mengingat-ngingat karena asam lambungku sudah benar-benar naik nyaris menyentuh tenggorokan.

"Apa kita pulang saja?"

Aku menggeleng tegas. "Kasihan Mas, anakanya nangis-nagis tadi. Aku ga tega,"

Mas Janu akhirnya setuju. Kami menunggu lama sampai ayahnya muridku datang, wajahnya pias memegang amplop coklat. Pakaiannya lusuh membuatku kasihan. Pasti baru pulang bertani.

"Bu, apa anak saya parah?" Tanya Bapak itu pada kami.

"Bapak duduk dulu ya. Sing penting wis ditangani dokter njih pak,"

Bapak itu akhirnya duduk dengan wajah menahan tangis. Aku malah kasihan dia memegang amplop yang kuduga berisi uang tak seberapa untuk biaya anaknya.

"Pak Sukino, ya?" Tanya Mas Janu merasa kenal.

"Iya Mas Janu,"

"Pekerjanya Bapak kamu," kata Mas Janu memperkenalkan.

"Oalah..."

Dokter keluar setelah sekian lama menutup akses untuk kami. "Baru boleh dibawa pulang setelah biusnya habis ya, Pak. Ini anaknya kena tujuh jahitan,"

"Tujuh?" Tanya Ayah muridku kaget. Beliau menunduk, meremas amplop di tangannya.

Kulihat Mas Janu memegang bahu bapak itu beruasaha menenangkan. "Nanti tak bantu," bisiknya pelan.

"Jangan, saya merepotkan nanti Mas,"

"Wis, ndak papa. Sing penting anak e sehat,"

Aku terharu, bapak itu memeluk Mas Janu dengan sedih. Usianya pasti seumuran Bapak tapi masih bekerja keras. Contoh yang baik bagi anak muda jaman sekarang yang kadang suka meminta padahal masih kuat bekerja.

Kami dibolehkan masuk menjenguk. Baru saja menyusul, aroma alkohol menyengat dalam hidungku.

Aku mencengkram erat ujung baju Mas Janu ketika didera pusing parah. Persis saat mataku mendapati bekas kapas berdarah dalam stainless yang belum kelar dibereskan perawat, saat itu juga kesadaranku melayang menjemput kabar kehidupan baru.

DUDA PILIHAN BAPAK (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang