42

54K 4.9K 114
                                    

Typo akan direvisi kemudian.
_____

Ana cemberut di teras melihat perbuatan suaminya. Apa-apaan Janu itu, membeli Motor Gede tanpa bilang-bilang dengannya. Jantung Ana sampai mencelus mengetahui harga sebuah motor bisa menelan sekian digit di rekening.

Janu sebenarnya kurang paham atau sengaja? Pria itu tahu sendiri kalau akhir-akhir ini banyak mengeluarkan uang untuk berbagai macam pembiayaan, mulai dari sawah, rumah, alat tanam, belum lagi kakaknya belum mengembalikan uang mereka yang dipinjam untuk mengurus Radit yang waktu itu ditahan dan juga biaya korban kecelakaan meski dengar-dengar ada santunan dari pihak asuransi apalagi Radit dilaporkan ke polisi dan bukan pelaku tabrak lari.

Datang-datang sepulang mengajar, Moge milik suaminya itu sudah terparkir rapi di depan rumah dengan body mengkilap dan bau-bau baru.

"Yah! Yah!" Jagat menepis tangan Ayahnya ketika pria itu mau naik ke atas motor, hendak mencoba dan juga Jagat kebetulan sudah di atas duluan.

"Lha, ndak boleh disentuh sama Ayah tah?" Tanya Janu heran karena anaknya tak mau dirinya mendekati motor.

"Jatuh itu anaknya, Mas," Ana memperingati dengan malas.

"Tuh, Bundamu cemberut wae. Padahal nanti kalau diboncengin Ayah keliling desa pasti meluk-meluk," Goda Janu dengan sang istri.

"Dih! Mending naik sepeda ontel sekalian," Ana membuang muka, masih sebal. Pasalnya alasan Janu sangat tidak masuk akal. Hanya karena mau touring dengan teman-temannya dua hari, memutuskan untuk membeli motor sendiri. Padahal kan ya sudah, bisa disewa saja.

Memang kalau bergaul dengan Priyatmo tidak akan beres, karena pria itu pasti akan membuat suaminya ikut halusinasi gilanya.

Andai harganya seperti motor matic, mungkin Ana hanya akan mengomel lima sepuluh menit. Tapi ini?

"Ayok Bun, temani Ayah test drive. Nanti jagat di depan,"

Ide Janu langsung saja ditolak mentah-mentah oleh Ana. "Ogah, Mas saja sendiri. Aku lebih suka jalan kaki!" Ana bangkit dari duduknya, perempuan berdaster itu lantas bergerak masuk meninggalkan sang suami yang tertawa terpingkal-pingkal.

"Sabar ya, cah bagus. Soale kalau izin ke Bunda dulu pasti ndak dibolehkan. Ya mending beli dulu baru izin, gimana? Ayah sudah benar, kan?"

"Emmm....moh!" Jagat menjulurkan lidahnya sebagai balasan. Entah kenapa Janu malah merasa diejek.

"Yuk masuk, kita rayu Bundamu biar mau diajak keliling,"

Benar saja, sore harinya Ana tahu-tahu sudah ada di boncengan Janu dengan Jagat memakai kaca mata hitam dan jaket jeans persis seperti Janu berada di depan menepuk-nepuk kap motor sambil merasakan angin segar di sepanjang jalan.

"Gimana Bun? Satu putaran lagi, ndak?"

Ana tak menjawab, dalam hati sebenarnya menyukai berkeliling di desa dengan motor, apalagi bersama keluarga kecilnya. Perempuan itu menurunkan kaca helmnya sebelum membuang muka menjauhi kaca spion yang menyorot langsung wajahnya.

Ana malu dilihat penduduk desa, pasalnya Janu sedang membuka kaca matanya sambil menyapa pejalan kaki yang ada.

"Ish! Kenapa pelan sekali, isin Mas diperhatikan," bisik Ana jengkel.

Belum apa-apa, Janu langsung mengambil ancang-ancang sebelum menemukan jalan aspal dan menarik pedal gasnya di kecepatan lumayan tinggi.

"Mas Janu!" Teriak Ana, memukul bahu suaminya yang tertawa keras.

"Lha, katanya jangan pelan. Mau lebih kencang lagi?" Janu sudah mau melakukan aksinya ketika cubitan Ana begitu menyengat di pahanya yang hanya mengenakan celana bahan sampai betis.

DUDA PILIHAN BAPAK (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang