5

87.5K 7.8K 204
                                    

Aku menangis tersedu-sedu di bawah kaki Ibu dan Bapak mengingat kenangan-kenangan semasa gadisku yang tidak bisa diulang.

Ya, sekarang aku sudah sah menjadi istri Mas Janu. Kami memohon doa restu ke Bapak dan Ibu kami yang masih lengkap tapi entah kenapa aku tidak bisa menahan tangisku.

"Sudah, Ibu sudah restui kalian nak. Ana, jangan menangis begitu, nanti orang-orang berpikir kamu dipaksa menikah," Ibuku masih sempat tertawa di akhir kalimat. Aku cemberut setelah diberi wejangan dari Bapak sementara Mas Janu tersenyum renyah mendengar penuturan Ibu.

"Apa setelah ini kita boleh makan? Aku lapar, Mas..." keluhku menghapus ingus karena tak berhenti menangis. Belum lagi perutku lapar karena menolak makan sebelum didandani saking gugupnya. Tamu undangan hilir-mudik mengambil makanan sementara aku dibuat ngiler.

"Apa aku minta ambilkan makan?" Tawar Mas Janu.

Aku menggeleng. "Di dalam saja makannya, aku kayaknya tidak sanggup berdiri lama..."

Mas Janu setuju. Menunggu cukup lama sampai akhirnya tamu undangan sedikit berkurang. Aku sudah merengek minta turun karena lelah berdiri, tapi Ibu baru mengijinkan ketika 90% tamu undangan sudah menikmati hidangan.

"Ini, ayo dimakan," Mas Janu menutup pintu kamarku yang berubah sesak karena dipasangi berbagai pernak-pernik acara.

"Makasih, Mas," segera kusambar piring yang dibawanya dan memakannya dengan lahap sambil menghadap kipas. Aku sudah melepas atribut pengantin, berganti daster biasa sementara Mas Janu mengganti pakaian dengan celana bahan selutut tanpa baju. Cukup membuatku semakin gerah.

"Lapar sekali ya?" Mas Janu meringis melihat cara makanku. Aku menyengir, tidak tahan.

"Tadi sebelum acara susah makan. Lain kali kalau mau nikahan aku mau makan banyak-banyak deh, biar tidak seperti pengantin layu kata Ibu,"

Mas Janu tertawa ringan. "Sayang sekali ini pernikahan pertama dan terakhir kamu. Tidak ada lagi pernikahan yang lain," katanya serius.

"Maksudku, kalau mau ke pelaminan lagi. Nanti malam kan masih ada resepsi, Mas,"

"Ya,"

Aku menyandarkan tubuhku di kepala ranjang, kembali melahap makananku.

"Aku kenapa ga lihat Lala ya, Mas?" Tanyaku.

"Ada, tadi duduk dengan Ibunya,"

"Oh, diundang?"

Eh bagaimana sih pertanyaanku itu. Mas Janu sampai tersenyum geli mendengarnya. "Maksudku, datang juga ya..." ralatku malu.

"Iya, tadi ada,"

"Oh..." aku mangut-mangut. "Mas tidak lapar?"

"Lapar," Mas Janu berdehem.

"Sini Mas, bareng. Ini sendoknya tidak aku pakai, makan nasi lebih enak pakai tangan hehe," aku menyengir, mencoba mencairkan suasana. Kata kakak ipar, Mas Janu ini orangnya susah memulai duluan. Kalau kami sampai samaan, bisa-bisa tidak ada komunikasi dalam pernikahan ini.

"Saya mau disuap bisa?" Tanya Mas Janu.

Bagaimana? Aku mengalihkan tatapanku pada piring dan juga dirinya yang sudah berada di sampingku.

"Pakai tangan," tambahnya.

Astaga, banyak mau...

Dalam diam kuambil nasi dan daun singkong santan lalu menyodorkan tanganku padanya. Pria yang sekarang berstatus suamiku itu kini melahap tanganku, memindai makanan ke mulutnya.

"Ikan," pintanya.

"Siapa sih, yang muatin, Mas? Menunya kok rumahan banget. Ada nasi, daun singkong, ikan goreng, sambel terasi," omelku.

DUDA PILIHAN BAPAK (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang