Hmm, baru bangun udah full aja targetnya. Emang kalian niat bener deh :"
_______
Menginjak usia lima bulan lebih atau sekitar 27 minggu, badan Ana semakin mekar. Kadang dirinya berdiri di depan cermin sambil berputar-putar untuk melihat seberapa besar perubahan tubuhnya. Perutnya juga begitu menonjol, membuat Janu semakin mepet dengannya.Nyatanya, Ac alami tidak begitu mempen untuknya yang tengah malam sering terbangun kepanasan. Kipas di kamar mereka sama sekali tak berguna dalam membantu Ana menghilangkan kegerahannya.
Makanya, beberapa hari belakangan Ana pulang ke rumahnya. Kamarnya ada AC syukurnya yang bisa membuatnya tidur nyaman, meski sebenarnya dalam suhu terendah pun ia masih juga kegerahan tengah malam.
Sepulang mengajar Ana akan di rumah mertuanya, sisanya pasti meminta diantar ke rumah orang tuanya.
Bapak sudah menjalani rawat jalan, beberapa kali akan kontrol ke dokter dan menjalani terapi sesuai anjuran medis. Ana setidaknya tidak perlu mengkhawatirkan kedua orang tuanya kalau berada di lain tempat. Sekarang ia bisa bebas menjenguk Bapak kapanpun ia mau.
Lala, anak manis itu sudah pulang setelah dua bulan lalu menghabiskan waktu seminggu dengannya. Ana sebenarnya tak rela, pernah menangis sendirian di kamar karena merasa sepi ditinggal Lala. Tapi bagaimana lagi, Lala ada kehidupan sekolah di kota. Kadang Ana menyempatkan diri untuk menelpon Prita hanya agar bisa berbicara dengan Lala. Ia rindu perutnya dielus-elus tangan gembulnya Lala.
"Mas, sudah..." Ana bernafas legah, Janu menjauh dari tubuhnya setelah mencampuri istrinya beberapa saat lalu. Janu akhir-akhir ini tak kuat menahan syahwatnya sendiri, entah kenapa ia selalu menggebu-gebu melihat istrinya.
"Aku pengen mandi, Mas. Gerah..." Ana bangkit, mencepol rambutnya yang tadi dilepas Janu.
Pria itu menautkan alisnya. "Mandi di malam begini? Jangan, kamu bisa sakit. Besok subuh saja,"
"Tapi gerah, Mas," Ana turun dari ranjang, membuka lemari dan mencari daster tipis miliknya semasa gadis dulu. Janu berdehem, menyusul istrinya.
"AC-nya sudah suhu paling rendah, Bun. Apa Ayah ambil kipas di bawah?" Tawar Janu, kasihan dengan istrinya.
Ana tidak menjawab, fokus memakai daster yang ditemukannya di lemari lamanya. Wanita itu mendesah kecewa ketika badannya sendiri tak muat memakai pakaian semasa gadisnya. Tentu saja, dia kan sedang berbadan dua.
Ana bergerak ke arah jendela, membuka dua daun pintu di sana hingga nampaklah pemandangan gelap sawah di malam hari. Hanya lampu penerang kecil di sana ditambah cahaya merah dari tower jaringan.
Udara malam menerpa tubuhnya, Ana jadi ingin terbang sekarang demi meraup udara sebanyak-banyaknya.
Ana menoleh ke belakang ketika mendengar suara gaduh, mendapati Janu sedang membawa kipas tornado yang biasanya dinyalakan kalau rumahnya sedang kedatangan tamu banyak atau keluarga besar berkumpul.
Janu menyalakan kipas dan mengarahkan ke dipan. Dirinya beranjak ke ranjang, memanggil Ana untuk kembali berbaring bersamanya.
"Masih gerah?"
Ana menggeleng kecil, "udah enakan begini,"
Janu menghela nafas, mengelus perut istrinya. "Besok Ayah pasangkan AC di rumah, siang tadi sudah Ayah pesan. Maaf kelamaan, Ayah harus menaikkan daya listrik dulu di PLN..."
Janu sebenarnya tidak enak dengan mertuanya karena belakangan sering menginap di sini. Mau bagaimana lagi, Ana bermasalah dengan kehamilannya dan berusaha mencari kenyamanan sementara Janu tak bisa jauh-jauh dari istrinya. Padahal, kedua orang tua Ana sama sekali tak masalah. Bahkan mereka senang anaknya bisa tidur di rumah seperti sebelum menikah. Tapi kekhawatiran itu selalu ada, Janu tak ingin dicap mertua tak bisa mensejahterakan istrinya.
"Gapapa, Mas. Aku juga gak minta, kan? Ibu bilang wajar kok kegerahan begini kalau hamil, apa lagi kandunganku udah besar," Ana mencium pipi suaminya lalu tersenyum. "Perutku kayak orang hamil tujuh bulan tahu Mas, kayaknya anak kita gede banget. Sabtu kita udah bisa USG jenis kelaminnya juga, hehe..."
Berat badan calon bayi mereka memang cukup berat, berbanding lurus dengan lingkar perut Ana sekarang. Jadi Ana sedikit banyak tak perlu khawatir berlebihan.
"Sehat-sehat ya, Nak..." Janu memberi kecupan kecil di perut istrinya. Dia berdoa semoga Ana dan bayinya selalu diberi limpahan kesehatan agar tidak ada kendala-kendala yang menghambat persalinan nantinya. Dulu kelahiran Lala dirinya tak begitu memperhatikan Prita karena banyaknya kesibukan pekerjaan. Sekarang ia lebih banyak belajar untuk lebih santai dan membagi waktu untuk Ana juga. Ia tidak mau melewatkan fase-fase berharga ketika istrinya hamil.
***
Sejak Bapak sakit, Radit jadi lebih banyak menghabiskan waktunya menjaga beliau di rumah. Kadang hanya di ruko sekitar sejam paling tidak, lalu mampir memeriksa pabrik keripik yang baru dirintis istrinya beberapa minggu lalu, sebelum akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Radit sebagai anak sadar jika Ibunya yang sudah usia tua tentu tidak bisa mengurus Bapak sepenuhnya seorang diri. Dirinya laki-laki, harus lebih dahulu turun tangan membantu orang tua di masa sulitnya.
Janu saja sebagai menantu tidak pernah lepas tanggung jawab, mulai dari mengurus pekerja Bapak, upah, sawah, keuangan sawah hingga kesehatan mertuanya sendiri.
Ana sepulang mengajar langsung mampir ke rumah Ibu, hendak mengambil barangnya yang ada di sana karena ia nanti malam akan kembali tidur di rumah suaminya.
Radit dan Janu berbincang-bincang di depan sementara Ana memasukkan barang-barang di tas besar yang sudah disiapkan sebelumnya.
Ayu baru saja datang menyusul suaminya. Wajahnya muram sekali, harusnya Radit membantunya mengurus toko. Bukan malah dirinya semua.
Ketika hendak ke kamar mandi ia tak sengaja menabrak Ana dari arah yang berlawanan. Tubuh Ana limbung menabrak mesin cuci sambil meringis.
"Hah! Jalan ya hati-hati!" Amuk Ayu. Dirinya masih berdiri tegak ketika memarahi Ana yang tadi tampak terburu-buru.
"Mbak kok marah? Harusnya Ana yang mengomel, kan Ana yang jatuh..." Ana mendengus keras, bangkit dan memegang perutnya yang nyeri karena terbentur langsung ke mesin cuci yang permukaannya keras.
"Kan kamu yang menabrak. Jalan itu hati-hati, sudah bawa perut besar tapi maunya jalan seperti bos!"
Ana menautkan alisnya. Ayu semakin hari semakin sarkas dengannya. Tak mau mengambil pusing dan pada akhirnya berdebat panjang, Ana hanya mengelus perutnya sebelum mengangkat tasnya dan berlalu pergi.
Ayu melirik sinis, kembali melanjutkan langkahnya ke kamar mandi.
"Salah sendiri, jalan buru-buru ya pasti jatuh. Seperti tidak punya mata untuk-- Aaw!" Pekiknya di akhir kalimat karena tanpa sengaja kakinya tergelincir di lantai kamar mandi yang licin.
Ayu kehilangan keseimbangannya hingga bokongnya membentur lantai basah kamar mandi dengan keras hingga terdengar bunyi suara gaduh di dalam sana.
"Eh, itu suara siapa?" Tanya Radit ketika Ana sudah sampai di teras. Ana mengedikkan bahunya, sedikit menengok ke belakang barangkali ia melihat sesuatu.
Tidak ada.
"Mungkin Mbak Ayu lihat kecoa, Mas," Jawab Ana sekenannya. Ia masih kesal dengan Ayu tapi berusaha melupakannya. Ana harus mulai terbiasa dengan watak kakak iparnya yang sedikit berbeda.
Ana berlalu membuka mobil, hendak memasukkan tasnya ketika suara Ayu terdengar mendekat. Ia menoleh penasaran, Ayu tampak memegang bokongnya dengan wajah ditekuk tak enak.
"Aku teriak kamu ndak denger, Mas?"
"Kenapa kamu?"
"Ish! Aku kepeleset, sakit sekali. Ugh!" Ayu berdecak kesal, berjalan pincang ke arah suaminya.
Bukannya prihatin, Radit malah tertawa. "Sudah tua kok bisa terpeleset, Yu... Yu..." Radit menggeleng tak maklum, seolah kejadian itu hanya berlaku dengan anak-anak.
Ana tersenyum kecil sambil mengucap syukur dalam hati. Rasakan!
***
Next 500 votes (hayoo bisa gak nih? Wkwk)
Made with love,
Searth
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA PILIHAN BAPAK (End)
RomanceAna, perempuan modern yang dipaksa pulang ke kampung halaman demi orang tuanya. Kepulangannya dikira akan menghadapi berbagai kendala yang membuatnya tertinggal jauh dari teknologi, tapi ternyata tidak. Desanya sudah maju dan berkembang pesat oleh s...