32

51.6K 5.1K 354
                                    

Ana bukan pecinta sayuran kelas parah. Ketika diberi rebusan jantung pisang membuatnya tak nafsu makan. Ibu mertuanya sampai rela membeli pohon pisang tetangganya hanya demi mengambil jantung pisangnya saja. 

Ana serba salah, di satu sisi ingin ASInya lancar, di sisi lain ia tak tega menolak perhatian para orang tua dengannya yang menurutnya terlalu ketinggalan Jaman. Sekarang ini teknologi sudah maju, minum obat kan bisa, atau konsultasi dengan dokter.

Tapi mau bagaimana lagi, Ana hidup tidak seorang diri di mana ia biasa memutuskan segala sesuatunya sesuka hati. Nyatanya, setelah diberikan berbagai macam sayuran yang menurut para orang tua sangat ampuh, ASI Ana benar-benar mulai lancar.

Jagat, bayi kecilnya itu sangat suka menyusu, baru beberapa menit terlelap, sudah bangun lagi. Ana dan Janu dibuat kewalahan, terlebih setiap malam. 

Ana bersyukur ada Lala di dekatnya yang selalu nampak ceria, lelahnya Ana bisa melayang begitu saja ketika melihat anak itu.

Rumah juga selalu ramai, ada saja yang datang menjenguk. Terlebih, Rehan dan Tisa entah kenapa sering berada di rumah akhir-akhir ini padahal keduanya sempat tinggal terpisah dari keluarga karena urusan pekerjaan, terutama Rehan yang hampir tidak pernah ada di rumah.

Ana berjalan pelan ke dapur, hendak mengambil minum ketika tak sengaja mendapati Dian di sana.

"Lho... kapan datang, Mbak?" Tanya Ana, terkejut karena Dian sudah lama tidak memunculkan batang hidungnya di rumah ini.

Dian tersenyum kikuk. "Tadi,"

"Oh..." Ana pikir perempuan itu tak ada niat kerja lagi. Ibu mertuanya saja sebagai salah satu pendukung utama Dian bisa-bisanya tidak tahu-menahu tentang keberadaan Dian belakangan.

Ya wajar saja Ana berpikir perempuan itu tidak niat kerja lagi.

Ana baru saja mau meninggalkan dapur ketika Dian tiba-tiba pingsan di depan matanya. Ana terperangah, gelasnya sampai jatuh ke lantai karena kaget. Syukur gelas plastik, tidak sampai pecah menimbulkan luka berlebihan.

Ana menghampiri perempuan itu, mengira Dian sedang berakting. Mana bisa, tadi saja Dian masih diajak bicara, masa bisa pingsan begitu.

Ana menengok ke sekeliling, tidak ada orang. Dengan usil digelitiknya perut perempuan itu, namun Dian sepertinya kebal atau justru... benar-benar mati rasa.

"Dian..." panggil Ana, mulai diserang panik. Yang dipanggil masih bergeming, otak Ana begitu lambat menafsirkan kalau Dian ini bukan ratu akting. 

"Mas Janu! Aaaa!" Ana segera berlari karena takut terjadi sesuatu di luar nalarnya. Ia meringis karena area bawah tubuhnya tidak sekuat biasanya untuk berlari.

"Aduh!" Pekik Ana, malah menabrak Ibu mertuanya. Beliau menautkan alisnya, kaget bercampur bingung melihat menantunya sendiri berlari bak dikejar setan.

"Kenapa Ana?"

"Sshh..." Ana meringis memegang bawah perutnya. "Dian Bu... itu ndak tahu kenapa tiba-tiba jatuh di lantai," adunya.

"Hah? Mana?" Ibu segera bergegas ke dapur, mendapati Dian tergeletak tak sadarkan diri di atas lantai.

"Kenapa ndak ditolong Ana! Ya Allah..." Ibu menoleh panik dengan sang menantu. "Malah berdiam saja! Ayo cepat panggilkan Janu!"

Ana berkedip sebentar, Ibu tampak sedikit kasar padanya. "Engh... iya, sebentar,"

***

"Lala... liatin adek sebentar ya, Bunda mau lihat ke bawah dulu," pinta Ana ketika mendengar suara ribut dari lantai bawah. Jagat baru saja terlelap, takutnya malah terbangun dan meminta Asi lagi. 

DUDA PILIHAN BAPAK (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang