"Bagus tidak, Bun?" Janu berkacak pinggang di depan istrinya, memamerkan baju batik yang membungkus tubuhnya dengan sempurna.
"Enggak bagus, Mas. Kayak boyband, pakaiannya samaan dengan anak-anak," Ana tidak butuh berbohong untuk menjelaskan, karena sedari awal ia tidak setuju dengan ide Janu mengenakan pakian batik serasi dengan dua putranya. Seperti boyband katanya. Paling tidak kan, Jagat dan Badai tidak usah memakai baju batik serupa.
Janu tergelak mendengar pendapat istrinya. Ana memang kelihatan tidak suka dengan penampilannya hari ini. Sebelumnya Ana tak pernah memperhatikan penampilan Janu dan anak-anak mau berpakaian bagaimana yang terpenting rapi dan sopan. Namun belakangan, setelah baju yang Janu pesan diam-diam dengan perancang busana lokal datang, Ana marah-marah dan tidak setuju anaknya dipakaikan batik yang serasi dengan Ayahnya.
Alih-alih tersinggung, Janu malah tersenyum senang. "Bun, nanti habis acara ini ingatkan Ayah untuk mengantar ke dokter kandungan ya,"
Ana seketika berhenti mengancingkan baju putri bungsunya. Lana, anak keempat Janu dari Ana sekaligus anak kelimanya secara keseluruhan.
"Biasa saja matanya, Bun. Kalau membahas dokter kandungan suka melotot begitu,"
Bagaimana mau tidak melotot, Janu ini sudah ada niatan menambah lagi sementara Lana belum ada enam bulan usianya. Kalau begini terus, tidak ada kontrol atau pengaturan jarak anak, Ana bisa stres karena hamil terus, tidak ada waktu untuk membenarkan bentuk tubuhnya yang melar kemana-mana.
Omong kosong kalau Janu mengatakan bentuk tubuh istrinya bagus, Ana jadi mempertanyakan penglihatan suaminya sekarang. Apakah Janu buta? Begitu kan, pertanyaannya?
"Mas Janu itu harusnya menyadari kalau sekarang sudah punya lima anak. Umurnya berdempetan pula. Bagaimana nanti kalau besar, mau sekolah, setiap tahun pengeluarannya bersamaan dan tidak terkontrol. Yang satu baru masuk kuliah, tahun depan yang satu lagi masuk. Tahun depannya lagi yang satunya masuk, tahun depannya begitu lagi. Lama-lama depresot, Mas,"
"Lho, Bunda jangan ngomong begitu. Permasalahan rejeki itu bukan tugas kita, ada Gusti Allah yang mengatur. Tugas kita itu, melahirkan dan mendidik mereka menjadi anak cerdas dan soleh sampai nanti punya keluarga sendiri. Biar kalau sudah saatnya berganti generasi dan kita sudah bukan lagi penduduk bumi, ada anak-anak yang selalu mengalirkan doa-doanya, beramal soleh di muka bumi ini. Lumayan lho itu Bun, apalagi pahala jariyah kita mengalir dari lima anak sekaligus insyaaAllah,"
Kalau sudah membahas akhirat, Ana tidak bisa membantah lagi. Janu paling tahu cara membungkamnya.
"Bunda,"
"Apa sayang?" Ana menyimpan bantal guling di sekeliling Lana setelah memakaikan gaun cantik untuk bayi kecilnya itu.
"Bunda lihat sabuknya Badai?" Badai terlihat rapi dengan pakaiannya, rambut disisir dengan searah ke belakang dan juga memakai bedak bayi di wajahnya dengan tipis karena kebiasaan Ana sedari dulu memberikan anak-anaknya bedak di wajah agar selalu wangi, tidak bau matahari apalagi Jagat dan Rhea yang terlalu aktif bermain di luar sampai keringatan.
"Sabuk Badai kenapa sayang? Tadi Bunda sudah siapkan berbarengan dengan punya Mas Jagat,"
"Ini punya Mas Jagat, Bunda," Badai menunjuk ikat pinggangnya yang terpasang sempurna di sana. "Katanya Mas Jagat tidak usah pakai sabuk, biar Badai saja, karena punya Badai hilang,"
KAMU SEDANG MEMBACA
DUDA PILIHAN BAPAK (End)
RomanceAna, perempuan modern yang dipaksa pulang ke kampung halaman demi orang tuanya. Kepulangannya dikira akan menghadapi berbagai kendala yang membuatnya tertinggal jauh dari teknologi, tapi ternyata tidak. Desanya sudah maju dan berkembang pesat oleh s...