29

55K 5K 154
                                    

"Mas hari ini ada kerjaan?" Tanya Ana selepas perawat usai memasangkan infus untuknya. 

Janu mendekati istrinya. Wajah Ana berubah pucat saat diminta untuk rawat inap di puskesmas, sudah pasti ada kesalahan dengan kehamilannya.

Janu sudah cukup membuat Ana tersiksa tanpa sadar. Psikis wanita itu terluka ketika Janu sendiri malah mendiamkan Ana, berharap perempuan itu tahu jika apa yang sudah Ana lakukan perlu ditinjau ulang. Janu memang sangat-sangat marah dengan Ana ketika wanita itu berusaha melukai dirinya sendiri tanpa berpikir panjang terhadap kedepannya.

Janu jadi tidak percaya dengan istrinya karena Ana belakangan ini berubah dikuasai bawah sadarnya. Maka dari itu Janu panik saat semalam ada bercak darah di dalaman wanita itu. Otaknya mensugesti bahwa Ana kembali dikuasai alam bawah sadarnya untuk melukai diri dan anak mereka agar rasa sakit yang ada di dalam hati Ana bisa sedikit terminimalisir dengan cara melukai fisik.

Memang, mengabaikan Ana adalah cara yang salah yang sudah Janu lakukan. Ana memang menyesali perbuatannya, tapi yang dilakukan Janu malah menambah beban pikiran Ana sehingga wanita itu tidak bisa berpikir dengan baik dan selalu dilingkupi rasa cemas dan takut berlebihan.

"Apa masih sakit?" Janu mengalihkan pertanyaan Ana karena pertanyaannya dirasa jauh lebih penting, agar Janu berhenti menerka-nerka.

Ana tersenyum simpul, "tidak ada yang sakit. Mas kalau mau berangkat kerja tidak apa-apa, ada Mas Radit sebentar lagi kemari,"

Ana memang sengaja memberitahu kakaknya karena ia sendiri tidak yakin. Ana butuh dihibur dan dijaga. Kalau Janu tak sudi tak mengapa. Ana sudah pasrah, ini semua adalah bagian dari kekeliruannya sehingga semua orang di sekelilingnya berubah.

"Tolong beritahu saya kalau kamu merasakan sesuatu,"

"Nggih, Mas," Ana membuang nafas, mengelus perutnya dengan hati-hati.

Mereka kembali berdiam diri, hingga Ana kembali membuka suara. "Aku minta maaf Mas, sudah merepotkan dan banyak mendatangkan masalah. Aku sama sekali tidak berniat melukai diri dan anak kita, pendarahan ini... bukan sesuatu yang aku kehendaki. Mas pantas menyalahkanku,"

Ana ingin Janu mendengarkan maafnya, ia ingin mereka paling tidak berhenti bersitegang dan mulai memikirkan kembali masalah kesalah pahaman keduanya.

Janu mengusap wajahnya. Ana tak perlu meminta maaf seperti ini. Mereka memang perlu memperbaiki apa yang sedang butuh perbaikan sebelum benar-benar rusak nantinya.

"Saya mendiamkan kamu agar kamu sadar bahwa yang kamu lakukan itu salah, Ana. Saya cukup trauma melihat kamu berusaha melukai diri kamu," Janu menghela Nafas, mengambil tangan istrinya berusaha menjelaskan keruwetan di antara mereka.

"Tapi saya salah, kamu tidak butuh didiamkan untuk menyadari kesalahan kamu. Kita semua, kamu, saya, kita berduka. Tidak hanya di satu sisi tapi keduanya. Kalau Bapak kamu di sini, mungkin dia akan tidak suka dengan apa yang terjadi. Kamu yang tidak bisa berpikir jernih dan saya yang terlalu dikuasai emosi. Maaf,"

Ana tidak menyela Janu. Perkataan Janu sama sekali tidak salah di kepalanya.

"Maaf sudah berpikir buruk tentang kamu. Saya benar-benar tidak punya pemikiran lain karena yang di kepala saya adalah kamu berusaha melukai diri kamu sendiri dan anak kita,"

DUDA PILIHAN BAPAK (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang