3. Segenggam Kaktus

62 29 109
                                    

Agustus 2016

Lyra melamun sambil memandangi pohon kaktus yang tumbuh besar di taman sekolahnya. Gadis itu kagum sekali pada tanaman itu. Kaktus selalu mampu menyesuaikan diri dengan sangat baik meskipun hujan lebat, pancaroba, atau panas kering tiba-tiba melanda negeri ini. Kaktus selalu bertahan bahkan tetap mampu tumbuh dengan baik.

Lyra menghela napas, kembali diingatnya ucapan Ayahnya saat mengantarnya ke sekolah tadi pagi.

"Kamu yang ngalah aja ya, kita bisa ke makam Ibu kapan-kapan,"

Lyra mendecih dalam hati, padahal mereka jarang sekali mengunjungi makam Ibu, terakhir kali saat Ayahnya akan menikah lagi tiga bulan yang lalu. Lyra sungguh ingin protes, bukannya umur istri baru ayahnya sudah menginjak tiga puluhan? Lalu mengapa masih tidak bisa dewasa? Walau akhirnya gadis itu menjawab sendiri dalam hatinya, memang benar banyak orang yang sudah berumur hanya berlagak dewasa saja padahal jiwanya masih anak-anak.

Lyra juga masih tidak bisa mengerti, bagian mananya yang salah dari seorang anak yang minta diantar Ayahnya untuk pergi ke makam Ibunya sendiri?

Sebenarnya Lyra mungkin saja pergi sendiri, tetapi ia terlalu takut untuk pergi ke kuburan sendirian. Namun pada kenyataannya daripada segala macam protes tersebut, Lyra hanya mampu mengangguk menurut seolah ikhlas.

"Iya nggak papa Yah," jawabnya tadi pagi.

Gadis itu kembali memandangi pohon kaktus di depannya dengan serius. Taman di sekolah ini juga begitu sepi, dengan banyak rumput yang tumbuh lebat tidak terurus. Makanya jarang ada siswa yang mau lewat sini karena rawan digigit nyamuk betina yang kelaparan darah.

Di taman inilah gadis itu berada, dengan ribuan pemikiran dan pertanyaan yang  hinggap di kepalanya. Bagaimana bisa taman ini begitu sepi di saat bersamaan dengan hati Lyra yang begitu sesak?

"Kaktus oh kaktus kenapa engkau hidup?" Gadis itu hanya bersenandung pelan lalu kembali diam memandangi pohon kaktus. Kemudian tanpa berpikir panjang tangan kirinya maju menggenggam erat kaktus yang berada di depannya, membiarkan duri-duri tajam dari tumbuhan itu menancap di telapak tangannya.

Rasanya semakin erat ia menggenggam kaktus itu rasa sesak di dadanya berangsur menghilang, berpindah pada rasa sakit di telapak tangannya.

"Heh ngapain kamu di pojokan? Ngerokok ya?"

Lyra tersentak bukan main saat mendengar suara itu. Gadis itu dengan cepat membalikan badannya menyembunyikan tangan kirinya di belakang tubuh.

Di hadapannya seorang pemuda tinggi bermata sipit sudah memandanginya dengan ekspresi curiga.

"Apa itu di tanganmu? Rokok ya?" tanya pemuda itu masih curiga.

Lyra balik menatapnya curiga. "Kamu juga ngapain di sini? Mau ngerokok ya?" tanya gadis itu balik menuduh.

"Enak aja, noh aku dari sana." Pemuda itu menunjuk gedung kelas delapan yang terdapat rooftop di atasnya. "Dari sana keliatan ada yang aneh, makannya aku ke sini," lanjutnya dengan ekspresi seolah meyakinkan.

"Ya udah, silahkan dicek mana yang aneh. Aku mau pergi!" ucap Lyra, kakinya melangkah maju berusaha melewati pemuda itu yang menghalangi jalan keluar.

"Kamu yang aneh njir!" ucap pemuda itu lagi dengan cepat, tak lupa tangannya yang menahan Lyra agar tidak bisa lewat.

"Aku nggak ngerokok, coba mana ada bau rokok di sini!" elak Lyra lagi lalu kembali mencoba lewat karena ingin segera beranjak. Bukan apa-apa, namun segenggam kaktus masih menempel di tangan kirinya.

"Oy bentar, namamu Lyra kan?" Tanya pemuda itu lagi kembali menahan Lyra yang ingin beranjak.

"Kok tau namaku?" Lyra mengangkat alis heran namun di sisi lain ia tidak bisa menahan untuk tidak menghujat pemuda itu di dalam hatinya.

Sumpah sok kenal banget nih orang?

"Dipikir aku buta apa sampai nggak bisa liat tag nama," ucap pemuda itu lagi, masih dengan nada ketusnya.

Demi apa pun Lyra gatal sekali ingin menyumpal mulut pemuda itu dengan kaktus di genggamannya. Pedas sekali tuturnya, padahal mereka berdua tidak saling kenal. Namun yang Lyra lihat dari tag kelas di lengan baju pemuda itu, sepertinya ia satu angkatan dengan Lyra. Wajahnya juga nampak familiar, namun Lyra tidak pernah tahu nama pemuda itu.

Lyra kemudian mencari-cari tag nama di baju pemuda itu, namun sayangnya baju pemuda itu tidak dipasangi tag nama.

"Namaku Sirius, artinya bintang paling terang," ucap pemuda itu seakan menyadari Lyra yang mencari tag nama di bajunya. "Lyra juga nama bintang kan? Heran, nama doang yang bagus kelakuan nggak banget," sambung pemuda itu masih dengan ucapan pedas khasnya.

"Pasti heran kan ada orang yang tahu banyak soal bintang di sekolah kayak gini," ucap pemuda itu lagi, tidak memperdulikan Lyra yang sudah mengeluarkan ekspresi tidak bersahabat. "Coba tebak kenapa aku tahu banyak soal bintang?"

"Karena kamu nggak buta," jawab Lyra ketus yang sontak mengundang tawa dari pemuda di depannya.

"Ibuku guru fisika, dia juga ngajar OSN Astronomi," kata pemuda itu bercerita sendiri tanpa ditanya. "Aku tau banyak soal bintang, Altair, Vega, Deneb, Lyra, Sirius."

Tanpa Lyra sadari pemuda itu sudah melangkah mendekat hingga jarak mereka menipis.

"Aku memang bukan si rengking satu paralel yang terkenal itu, tapi aku tau banyak soal arti namamu. Tapi daripada bintang, aku lebih tau soal ini." Lyra tersentak kaget saat pemuda itu tiba-tiba menarik tangan kirinya ke depan, membuat segenggam kaktus di tangannya menggelinding begitu saja dengan duri-duri kaktus yang masih menempel di tangan kirinya yang turut terekspos.

Pemuda itu tersenyum miring saat Lyra menarik paksa tangannya dari genggaman pemuda itu. "Jiwamu yang sakit, ragamu yang jadi korban!"

"Apanya yang sakit? Itu tadi nggak sengaja pas mau ambil capung," bohong Lyra sambil berusaha tenang, walaupun dalam hati panik setengah mati.

Namun daripada menyanggah, pemuda itu dengan tenang malah menarik Lyra, memaksa gadis itu untuk duduk di sebuah batu besar yang ada di taman itu. Dengan teliti pemuda itu berjongkok di hadapannya sambil menarik satu per satu duri yang menyangkut di tangan Lyra.

"Udah sinih aku aja! Atau kamu aku aduin ke guru karena ngelakuin selfharm!" ancam pemuda itu saat Lyra berulangkali menarik tangannya menolak untuk ditolong karena tidak nyaman.

Lyra tidak mengerti, gadis itu bingung bagaimana harus bereaksi jika sudah tertangkap basah seperti ini.

"Dibilang karena capung," cibir Lyra lirih, masih belum mengakui.

"Iya, mungkin capungnya titisan Harry Potter sampe bisa bikin duri kaktusnya ninggalin jejak dalam banget!"

Lyra mengumpat tanpa suara, ia menatap sebal pada kepala pemuda itu yang kini menunduk sibuk mencabuti duri kaktus di tangannya. Aneh sekali, ternyata ada manusia yang kelakuannya tidak sinkron dengan perkataannya. Bagaimana bisa pemuda itu bertingkah baik sekali padahal yang keluar dari mulutnya hanya kata-kata pedas? Lyra kan mau baper tapi nanggung.

"Iya aku tau aku ganteng jadi nggak usah ngeliatin segitunya," ucap pemuda itu yang akhirnya mendongak karena mendapati Lyra yang hanya diam sambil memandanginya.

"What?"

"Aku tau kamu nggak tuli jadi jangan pura-pura nggak dengar," ucap pemuda itu lagi.

"Selain bintang paling terang, aku baru tau kalau ada juga Sirius yang berwujud manusia paling mengesalkan di bumi," cibir Lyra yang menyerah untuk berusaha mengobrol tenang tanpa adu ucapan pedas.

"Sakti, namaku Sakti. Tadi kubilang Sirius cuman buat nipu kamu doang," ucap pemuda itu dengan santainya.

Demi apa pun Lyra ingin menendang pemuda itu ke luar angkasa. Biar ketemu sirius sekalian!

***

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang