17. Janji

26 10 2
                                    

Gerimis tipis masih mengguyur, bau petrikor menguar, dan air terjun masih berisik. Suasana seperti ini harusnya nyaman, namun berakhir mengerikan hanya dengan satu kalimat dari pemuda di samping Lyra. Sakti tampak tersenyum tipis sebelum melanjutkan.

"Udah lama sebenarnya, karena sakit kepala berkepanjangan jadi dokter nyaranin buat CT Scan. Ternyata ada gumpalan darah di kepalaku," tutur Sakti.

"Aku kira ya awalnya cuman sakit kepala biasa yang minum bodrex bisa langsung sembuh. Tetapi kok sampai bertahun-tahun bukannya sembuh malah tambah parah bahkan udah sering bolak balik puskesmas. Ternyata waktu dirujuk dan di CT Scan, dokter bilang ada pendarahan besar di kepalaku yang entah karna stroke entah juga karena tumor berdarah," lanjut pemuda itu santai, bahkan terlampau santai.

"Aku harus dioperasi walaupun tidak harus secepatnya."

Lyra masih menatap diam pemuda di hadapannya. Entahlah tapi ia merasa persoalan hidup dan mati seakan sepele jika diucapkan oleh kata-kata dari pemuda itu. Tetapi Lyra menangkap gelagat aneh dari mata pemuda itu yang selalu menghindarinya. Kemudian mengingat satu pot anyelir dua warna yang diberi oleh pemuda itu. Lyra tahu, Sakti hanya sok kuat. Pemuda itu tidak yakin dapat bertahan, makanya ia memberi bunga anyelir itu.

"Sakit ya?" tanya gadis itu pelan, tangisnya sudah reda.

Sakti mengangguk. "Awalnya tangan kiriku nggak bisa digerakin, sekarang malah merambat, kaki kiriku juga nggak bisa gerak."

Lyra menahan napas, rasanya tangisnya akan meledak kalau tidak ia tahan. Namun ia harus yakin agar pemuda itu juga yakin. Bahwa semua pasti akan baik-baik saja. Lyra tersenyum tipis, tangannya terjulur menepuk pelan kepala Sakti. Pelan sekali, nyaris setipis kapas. Sama seperti yang biasa pemuda itu lakukan.

"Kenapa di sini?"

"Jenguk Jejen."

Keduanya kembali diam untuk waktu lama. Lyra hanya terus menunduk memerhatikan ujung sepatunya.

"Ra, mata kaki itu bisa kelilipan nggak sih?"

Lyra menengok, menatap Sakti datar. Sumpah lawakan pemuda itu garing sekali. Gadis itu hanya tertawa dibuat-buat.

"Warna favoritmu biru tua kan? Ngomong-ngomong biru tua itu menghabiskan masa mudanya dimana si?" tanya Lyra mengikuti. Melontarkan jokes yang sama garingnya, masih dengan ekspresi datar.

Tapi Sakti justru tertawa lepas. Pemuda itu tertawa sampai matanya mengeluarkan air.

"Eh Ra Ra, kereta kereta apa yang imut?"

Lyra mengernyit, tak bisa menebak.

"Kereta api. Naik kereta api cute cute cute siapa hendak turut," sambung Sakti lalu tertawa lepas. Padahal Lyra tidak tertawa sama sekali.

Lyra menarik napas, "Raja raja apa yang imut?"

Sakti yang masih setengah tertawa menggeleng.

"Fir'aunch."

Sakti makin terbahak sampai Lyra harus memperingatkan pemuda itu untuk jangan terlalu keras kalau bicara.

"Udah ah nggak ada stok jokes lagi aku," ucap Lyra akhirnya menyerah.

Sakti hanya bersorak kecewa. "Yah padahal seru."

Keduanya jadi terdiam, menyadari mereka baru saja melakukan hal menyedihkan. Menutupi kesedihan dengan jokes yang bahkan terlalu receh untuk bisa ditertawai.

"Kapan dioperasi?"

Sakti langsung terdiam, sampai akhirnya pemuda itu membuka mulut, "Secepatnya."

Lalu keduanya diam lagi untuk waktu yang panjang. Tiba-tiba Lyra tersadar pada suatu fakta. Jadi sejak pertama mereka bertemu dulu Sakti sudah sakit? Jadi saat menghilang waktu itu bukan karena pemuda itu berkunjung ke Gorontalo? Bagaimana bisa pemuda itu yang sakit malah justru memboncengnya kemana pun?

Lyra jadi memutarkan segala ingatannya tentang pemuda itu. Gadis itu jadi ingat, pantas saja waktu itu Sakti memaksakan pulang bersama dan menghabiskan waktu sampai malam. Karena esoknya pemuda itu tidak bisa. Karena esoknya pemuda itu harus menetap di rumah sakit.

"Ke sini sama siapa? Kamu apa nggak dicariin?" tanya Sakti akhirnya, melihat Lyra santai-santai saja bersamanya padahal masih jam sekolah.

"Oh iya ya ampun, Bu Kiki nyariin nggak ya? Kamu sih!" protes Lyra malah menuduh Sakti.

"Kok aku?" jawab Sakti ikut tidak terima.

"Ya kalau sama kamu aku jadi lupa waktu!" balas gadis itu walau akhirnya menutup mulutnya sendiri, merasa salah bicara.

Sakti yang awalnya protes jadi tersenyum jahil. "Berati seru banget ya ngabisin waktu bareng aku?" tanya pemuda itu jumawa lalu kembali tertawa-tawa.

Lyra mendecak, "Udah ayo kamu aku antar, ruang flamboyan ya?" tanya gadis itu yang langsung dibalas oleh anggukan Sakti.

Lyra jadi beranjak mulai mendorong kursi roda milik Sakti lagi.

"Kok sendirian Sak? Nggak ada yang nunggu?" tanya Lyra, gadis itu sedikit heran mendapati tadi Sakti menjalankan kursi roda sendirian.

"Ibuku sedang mengajar, ayah yang biasa nunggu," jawab Sakti, Lyra di belakangnya hanya mengangguk-angguk.

"Terus kemana, kok kamu ditinggal sendiri?"

"Oh Ayah tadi lagi jaga banyak pasien, dia di poliklinik jiwa," jawab Sakti.

Lyra menoleh cepat, jadi Ayah Sakti dokter jiwa?

Lalu seakan menyadari perubahan raut Lyra, Sakti tersenyum kecil. "Di awal kita bertemu kan aku sudah bilang aku tahu banyak soal kelainan mental."

Lyra mengernyit, tidak bisa mengingat hal itu.

"Makanya kamu konsul ke Ayah aja, dia baik kok kaya aku."

Lyra melirik sinis, ia percaya kalau Ayah Sakti baik tapi tidak dengan pemuda itu. Tetapi ia jadi mengingat kembali Vini, Vidi, dan Vici. Ia mengingat Pak Sumardi, ia ingat Kong, ia ingat anyelir, sepeda biru dongker dan segala hal tentang Sakti. Gadis itu merasa rindu padahal pemuda itu tepat di depannya. Mungkin gadis itu hanya rindu sosok Sakti yang selalu terlihat baik-baik saja.

"Ra kamu janji mau konsul ya?"

Lyra jadi menunduk menatap Sakti yang sudah menoleh ke arahnya. Pemuda itu mengacungkan jari kelingking, mengajak Lyra berjanji. Lyra memutar bola mata sebelum akhirnya menyambungkan jari kelingking dengan pemuda itu.

"Ra tau filosofi daun?"

Lyra dari tadi memang sengaja memelankan langkah saat mengantar pemuda itu kembali ke ruangannya. Supaya ia bisa bicara lebih lama lagi dengan pemuda itu.

"Apa memangnya?"

"Kalau daun sudah waktunya jatuh, mau ditahan bagaimana pun akan tetap jatuh," lanjut Sakti, pemuda itu menatap Lyra dengan senyum tipis.

"Sak jangan ngomong kayak gitu."

"Aku cuman berjaga-jaga Ra. Karena kata selamanya itu cuman milik Tuhan," bantah Sakti segera.

Lyra meneguk ludah, kembali melanjutkan mendorong kursi roda masih dengan langkah amat pelan.

"Ra kamu senang nggak sih kenal sama aku?" tanya Sakti lagi.

Lyra hanya bergumam mengiyakan untuk menjawabnya, membuat Sakti tersenyum tipis.

"Jangan pernah lupa sama aku ya Ra. Ingat aku sesekali saja, saat kamu lihat bunga anyelir, saat kamu lihat kucing, atau saat kamu lihat rumah sakit ini. Ingat aku sekali saja ya Ra tapi jangan pernah lupa."

Lyra meneguk ludah tidak mau membalas perkataan Sakti yang itu, "Kamu harus janji Sak, untuk semangat supaya operasinya sukses. Supaya kamu cepat pulih. Janji kamu bakal sehat lagi, oke?"

Sakti tersenyum tipis kemudian mengangguk. "Hm, janji."

****

1037

Janji tidak harus ditepati, melainkan hanya untuk menenangkan-girl from nowhere

Aowkaowkw

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang