5. Hari Sial

56 20 52
                                    

Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, namun teriknya matahari masih tak mau sirna. Sinarnya masih tetap panas beriringan dengan bau aspal yang menguar. Udara panas di jalan raya memaksa orang-orang yang berjalan di sekitar untuk mengibaskan tangan berulangkali walaupun pada akhirnya udara panas tetap menjadi pemenangnya.

Lyra menarik napas panjang, langkah kakinya sudah agak pincang karena dipaksa berjalan jauh. Kepalanya berdenyut nyeri seperti ditusuk-tusuk oleh hawa panas yang ada. Gadis itu bahkan sudah tidak bisa menebak bagaimana bentuk wajah dan ekspresinya saat ini. Dalam hati ia mengumpati kesialannya sendiri.

Tadi mata pelajaran terakhir mereka adalah matematika namun berakhir melebihi jadwal pulang gara-gara Jejen yang tidak tahu hasil dari empat kali tiga. Lalu satu kelas tiba-tiba diuji tabel perkalian oleh Pak Agus selaku guru matematika. Sebuah anomali, sudah menginjak bangku SMP kelas tiga namun nyatanya masih banyak yang belum khatam perkalian satu sampai sepuluh. Jadilah mereka sekelas pulang telat.

Lyra bahkan masih ingat ketika Sakti menyengir lebar tepat saat ia menemukan Lyra keluar dari kelasnya. Dengan sisa rasa sabarnya gadis itu hanya mampu menghela napas pasrah, menurut saat Sakti sudah menariknya untuk pulang bersama. Namun gadis itu tak habis pikir, ternyata Sakti benar-benar memaksanya untuk berjalan kaki padahal jarak toko Laksana Baru dari sekolah mereka lebih dari satu kilometer. Dan ini merupakan hari pertama mereka tahu nama satu sama lain.

"5 Februari 2002."

Lyra mengernyit menoleh pada Sakti yang berjalan di sampingnya.

"Apa?"

"Ulang tahunku," jawab pemuda itu.

"Hah?"

"Kita belum kenalan banyak," sambung pemuda itu lagi sambil sedikit menyeret Lyra ke sampingnya agar tidak berjalan terlalu dekat dengan jalan raya.

"Aku anak tunggal, aku suka biru dongker, aku suka es dawet, aku suka kue samir, aku suka kucing, aku suka main game, aku suka banyak hal kecuali Lyra," ucap pemuda itu lalu tertawa lebar saat Lyra memukulnya kesal.

"Kamu juga dong!" Sakti menoleh menatap menuntut.

"Apa?"

"Kenalan, 'kan kalau mau berteman harus kenal satu sama lain," lanjut Sakti santai sambil melangkah ke sisi kanan akhirnya berpindah, bertukar tempat dengan Lyra yang tadinya berjalan di samping jalan raya.

"Emang aku mau jadi temenmu?" pertanyaan retoris itu keluar begitu saja dari mulut gadis itu. Ia memang sedari awal tidak ada niatan berteman dengan jenis cowok aneh semacam Sakti. "Nolongin aja pamrih minta es dawet, mana jalan kaki lagi," cibir gadis itu lagi.

Sakti tersenyum tertahan sambil menatap gadis di sampingnya yang sudah mengomel sedari tadi. "Ya, udah. Aku yang bayarin es dawetnya tapi kita mampir sini bentar." Sakti menarik gadis itu menuju sebuah toko bernama Pancing Ikan Arwana. Toko itu berdiri tepat di pinggir jalan raya yang tengah mereka lewati.

Lyra mengerjap kaget. Sebelum ia sempat protes, Sakti terlanjur menariknya masuk ke dalam toko itu. Bau amis menguar seketika saat Lyra melangkahkan kaki ke dalam toko itu. Namun semakin Sakti menariknya masuk lebih dalam yang tercium justru bau pelet ikan. Banyak juga akuarium berjejer rapih, ada yang kosong ada juga yang penuh berisi ikan-ikan kecil. Dindingnya yang bercat biru tua ditempeli berbagai jenis alat pancing, dari model terbaru hingga model paling usang.

Sakti sudah pergi duluan mencari si pemilik toko. Lyra yang ditinggalkan hanya menatap satu persatu pancing ikan yang ditempel di dinding. Jadi telunjuknya maju, berusaha memegang ujung kail ikan yang runcing. Namun tepat saat jarinya akan menyentuh ujung runcing tadi, sebuah tangan menahannya dengan sigap.

"Baru aja ditinggal sebentar!" ucap si pemilik tangan itu, "emang bener sih kalau orang rada sinting nggak boleh ditinggal sendirian," lanjut Sakti sambil kemudian kembali menggandeng tangan Lyra untuk masuk lebih jauh ke dalam toko.

"Biasa Mang!" teriak Sakti saat mendapati si pemilik toko sudah mendekat ke arah mereka berdua.

Lyra mengernyit saat pemilik toko yang berbadan tambun, bermata sipit, dan berkacamata bundar itu mengambil sesuatu dan memasukannya dalam plastik besar tanpa banyak kata.

"Pelet ikan?" tanya Lyra penasaran melihat pada benda bundar kecil-kecil berjumlah banyak yang dimasukkan si pemilik toko tadi.

"Makanan kucing," jawab Sakti jujur.

"Hah? Masa sih? Kamu nggak salah 'kan beli makanan kucing di toko pancing ikan?" bisik Lyra dengan segala rasa tidak percayanya pada pemuda di sampingnya itu. "Mang itu beneran makanan kucing?" tanya Lyra pada si pemilik toko yang kemudian mengangguk tanpa basa-basi.

"Dasar nggak percayaan," cibir Sakti yang kemudian maju membayar makanan kucing itu. "Yuk ke alun-alun!"

"Hah? Katanya cuman ke Laksana Baru!" protes Lyra, pasalnya jika mereka akan ke alun-alun maka mereka harus berjalan lebih jauh lagi dibandingkan jika hanya berjalan menuju toko Laksana Baru.

"Tenang aja, kalau jalannya bareng-bareng nggak bakal kerasa capenya," jawab Sakti santai, pemuda itu masih terus berjalan di samping Lyra.

Lyra menoleh sinis, tidak cape kata pemuda itu barusan? Kaki Lyra saja saat ini sudah akan copot rasanya.

"Eh mampir sini bentar!"

Lyra memutar bola mata muak melihat pemuda itu yang menepi ke apotek. "Apa sih kok mampir lagi?"

"Yaudah kamu tunggu sini bentar, nih pegang!" Sakti menyerahkan sekantung makanan kucing pada Lyra lalu masuk ke apotek meninggalkan gadis itu sendirian di tepi jalan raya.

Lyra menghela napas, salah apa dia sampai hari ini harus kenal dengan pemuda menyebalkan itu. Gadis itu berjongkok karena lelah berjalan, melihat kendaraan yang berlalu-lalang sambil menunggu pemuda itu keluar dari apotek.

"Yuk bangun!"

Lyra mendongak mendapati Sakti yang sudah keluar dari apotek menawarkan tangan untuk membantunya berdiri. Gadis itu mendecih, menepuk tangan itu begitu saja dan berdiri sendiri.

"Ngapain ke apotek? Beli komik ya buat mabok?" tuduh Lyra curiga, gadis itu berusaha meraih sekantung plastik obat yang ada di tangan Sakti.

"Ck ini Betadine!" ucap Sakti cepat sambil menepuk tangan Lyra pelan, walau berikutnya pemuda itu mengeluarkan sebuah betadine dari kantung itu.

"Lah buat apa?"

"Buat mabok!" jawab Sakti sarkas.

Lyra mendecak, gadis itu berusaha meraih paksa betadine tadi namun niatnya batal saat Sakti menarik tangan kirinya lalu meneteskan betadine tanpa banyak bicara.

Oh ya Lyra baru ingat tangannya yang terluka karena kaktus tadi pagi baru dicuci saja, belum sempat diobati. Gadis itu jadi mencibir ringan, ia masih tetap terkejut dengan pribadi Sakti yang pedas di mulut tapi manis di perilaku.

"Kenapa diem? Baper ya?" ledek Sakti yang membuat satu tangan Lyra yang menganggur otomatis mendarat tepat di lengan pemuda itu, memukulnya dengan keras.

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang