Lyra bersorak ceria, "Yeay dua puluh mobil putih, aku menang!"
Sakti mendecih walau ia kemudian berdiri untuk bersiap, "Oke, mau kemana kita?" tanya pemuda itu dengan semangat.
Lyra yang tadinya tersenyum ceria jadi diam. Benar juga, dia bahkan tidak punya ide mereka harus kemana. Namun kemudian sebuah tempat terbersit di pikirannya. Dengan ragu gadis itu membuka mulut.
"Mau temani aku ke makam Ibu?"
Sakti jadi menoleh, tersenyum tipis pada gadis itu, "Tentu saja."
"Tapi pakai sepeda ya, kamu yang nyetir he he," lanjut Lyra sambil menyengir lebar.
"Iya deh iya."
Mereka kemudian kembali menyusuri jalanan kecil khusus pejalan kaki yang ada di samping jalan raya. Kembali menuju toko Laksana Komputer untuk mengambil sepeda milik Sakti.
Matahari yang mulai meninggi tidak terasa panasnya karena kali ini awan mendung lebih mendominasi. Langit berwarna abu-abu namun tidak kunjung hujan. Kalau kata Sakti, itu berati nanti sore akan hujan dan lama.
"Memangnya kamu bisa bacaan tahlil?" tanya Lyra setelah menaiki boncengan sepeda biru dongker milik Sakti.
"Kecil," ucap Sakti sombong, lalu mulai mengayuh pelan.
Mereka mengendarai sepeda tanpa banyak percakapan. Lyra hanya memandangi tangannya yang memegang erat kemeja Sakti. Sesekali tatapannya juga terarah pada kendaraan yang melewati mereka. Terkadang pegangannya juga mengerat seiring dengan angin dari truk yang turut lewat dan menggoyahkan sedikit sepeda yang dikendarai Sakti.
Lyra baru menyadari, kemeja biru muda yang dipakai pemuda itu sudah basah oleh keringat. Ia juga baru sadar kalau tubuhnya cukup berat dan pemuda itu tanpa berkomentar tetap memboncengnya.
Tiba-tiba pemuda itu mengerem mendadak. Lyra yang terkejut jadi turun hanya untuk mendapati pemuda itu mengerjap berkali-kali, dengan napas pendek terputus-putus.
"Sak? Istirahat dulu deh mendingan," ucap Lyra khawatir jadi menuntun pemuda itu untuk minggir ke tepi jalan raya.
Gadis itu lantas menyingkir ke toko terdekat hanya untuk mendapatkan sebotol air mineral. Sakti meminumnya sampai tuntas, napasnya masih ngos-ngosan.
"Maaf banget, tapi kita jalan kaki aja ya?" ucap pemuda itu akhirnya, sepertinya sudah tidak sanggup mengayuh sepeda.
Lyra langsung mengangguk menyetujui hal itu, "Kamu mending istirahat dulu aja sebentar, keringatnya banyak banget," kata gadis itu sambil menyerahkan sebuah sapu tangan, menyuruh pemuda itu mengelap keringatnya.
"Oke, sebentar di dekat sini ada toko bunga. Kita ke sana dulu sekalian titip sepedaku ya?" ucap pemuda itu memberi saran yang lagi-lagi langsung disetujui Lyra.
Toko bunga yang dimaksud Sakti sebenarnya tidak bisa disebut sebagai toko bunga, toko yang luas ini lebih tepat jika disebut toko tumbuhan. Di depan toko ini rimbun sekali daun yang hijau dari bibit pohon yang masih kecil. Dari yang Lyra sempat lihat di bagian depan toko ini menjual berbagai bibit tanaman seperti jeruk, kelengkeng, rambutan, dan sebagainya. Lyra tidak hafal semua jenisnya, gadis itu hanya menebak beberapa dari daun pohonnya saja.
Sakti langsung menelusup masuk ke dalam toko, menembus berbagai jenis bibit tumbuhan tadi. Seperti biasa, Lyra selalu tertinggal oleh langkah besar pemuda itu. Jadilah gadis itu hanya melangkah santai menikmati setiap inci dari toko tumbuhan ini. Setelah bibit tadi bagian selanjutnya adalah jenis pohon hias. Lyra tidak begitu paham, namun kebanyakan adalah yang daunnya berbentuk seperti daun talas. Ada juga beberapa batang bunga matahari yang berjejer rapih, mulai layu karena bunganya sudah tua. Lalu lebih masuk ke dalam lagi adalah tempat bunga-bungaan. Di situlah tempat yang Sakti tuju.
![](https://img.wattpad.com/cover/268758685-288-k550846.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Anomali (END)
Random[Juara 1 Writing Challenge with Etherial Publisher 2021] "She wanna die but start live her life because of him." Ini cerita tentang penerimaan. Tentang seorang perempuan putus asa bertemu dengan laki-laki penuh asa, Sakti Abhimanyu.