19. Semoga

30 10 5
                                    

Agustus 2016

Hari ini hari minggu. Sama seperti perempuan dari keluarga menengah kebanyakan, Lyra sebagai anak gadis menjelma seperti seorang ibu rumah tangga karena disuruh bersih-bersih rumah. Jarum jam menunjuk ke arah angka delapan,  tepat saat Lyra selesai beres-beres rumah. Gadis itu menarik napas panjang, hari ini Sakti akan pergi ke Purwokerto. Pemuda itu dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar untuk menjalankan operasi. Ya, akhirnya hari ini tiba.

Nanti sore ambulan akan membawanya pergi, makanya hari ini Lyra ingin menghabiskan waktu bersama pemuda itu lagi. Mendengar setiap ceritanya soal kehidupan. Ditatapnya pot bunga anyelir yang berdiri di halaman rumahnya. Pot itu sendirian, karena memang sebelumnya di rumah Lyra tidak ada tumbuhan. Jadilah anyelir itu sendirian dan kesepian. Daun-daun kesepian itu terlihat basah karena habis disiram oleh Lyra.

Saat ini Lyra sudah siap dengan dress putih selutut. Renda berbentuk bunga menghiasi bagian lengan panjang dan leher dari dress itu, warnanya juga putih namun sedikit mengkilap. Rambutnya yang lumayan panjang ia ikat setengah, dan ia biarkan setengah yang lain terurai manis. Ia juga mengenakan tas rajutan kecil berwarna biru dongker. Tas selempang yang terlihat hanya muat untuk dompet dan ponselnya itu sudah dipakai dengan rapih. Di resletingnya terdapat gantungan squishy berbentuk pinguin.

Lyra jadi heran sendiri mengapa dirinya sudah berdandan dengan heboh bahkan memakai dress dengan potongan manis. Padahal ia hanya akan bertemu Sakti. Namun gadis itu mengedikkan bahu, tidak apalah pikirnya sesekali mengenakan rok. Lagipula Sakti tidak akan mengajaknya bersepeda.

Lyra menghela napas, matanya melirik pada lengan kirinya yang penuh bekas sayatan. Gadis itu jadi menarik lengan bajunya yang panjang supaya menutup rapat luka itu. Akhir-akhir ini Lyra benar-benar menahan diri dengan baik. Lyra tidak pernah lagi melukai diri sendiri walaupun sangat ingin. Gadis itu akhirnya sedikit berhasil memanfaatkan squishy pemberian Sakti.

***

Ruang flamboyan tidak pernah seramai ruang aster. Ruang ini bahkan terkesan sepi karena dari yang Lyra lihat, hanya ada dua kamar yang terisi. Satu milik Sakti, satu lagi entah milik siapa. Saat gadis itu masuk ke dalam kamar milik Sakti pemuda itu sudah duduk di kursi roda. Menatap kosong ke arah luar jendela. Sama juga seperti hari-hari sebelumnya, pemuda itu sendirian.

Saat Lyra menyapanya, Sakti tidak banyak bereaksi. Pemuda itu hanya tersenyum tipis menyambut kedatangannya. Wajahnya semakin hari semakin pucat.

"Novelnya bagus, sampaikan terima kasih buat temanmu ya," ucap Sakti lirih, pemuda itu menyerahkan novel berjudul Syarat Jatuh Cinta pada Lyra. Novel yang gadis itu pinjamkan tempo hari.

"Pasti dong!" sahut Lyra ceria, "kamu mau ke air terjun?" tawar Lyra, sama seperti hal yang biasa mereka lakukan kalau Lyra berkunjung.

Sakti hanya menggeleng pelan, "Tanganku sakit," ucap pemuda itu lirih, menunjukan tangan kanannya yang membengkak karena terlalu banyak digunakan. Tangan kiri pemuda itu juga masih tak bisa digerakkan.

Lyra meneguk ludah, baru kali ini ia melihat Sakti mengeluh. Pemuda itu kembali menatap kosong ke arah luar jendela. Tidak banyak yang bisa dilihat, hanya pekarangan rumah sakit yang memisahkan antara ruang flamboyan dengan ruang bugenvil. Di taman itu banyak pohon pucuk merah berjajar rapih. Terlihat sekali kalau penjaga kebun rajin merawatnya.

"Kamu nggak mau jalan-jalan? Nggak apa aku yang akan dorong supaya kamu nggak capek," tawar Lyra sekali lagi.

Sakti menoleh, tersenyum tipis, "Aku sakit Ra," ucap pemuda itu lagi lirih.

"Mananya yang sakit?" Lyra jadi maju memperhatikan pemuda itu lekat.

"Semuanya."

"Mau aku panggilkan suster?"

Pemuda itu menggeleng lagi.

Lyra menggigit bibir. Tiba-tiba saja gadis itu merasa seperti berubah menjadi bongkahan es yang kaku. Diam di tempatnya tanpa melakukan apa-apa. Lyra tidak pernah tahu cara menghadapi Sakti yang seperti ini. Ia tidak punya banyak kata-kata bijak seperti yang dimiliki pemuda itu. Ia juga tidak pandai bercanda.

"Ra"

"Hm?"

"Aku suka main sepeda, suka banget. Aku masih pengen tetep bisa main sepeda."

"Iya Sakti, nanti ya kalau udah sembuh. Atau boleh setelah operasi biar aku yang memboncengmu," jawab Lyra sambil tersenyum tipis, seakan menenangkan.

"Aku juga suka banget sama bunga. Nanti Ra di masa depan aku mau punya toko bunga seperti milik Kong. Bedanya aku nggak bakal ngarang kalau orang lain tanya soal filosofi bunga yang kujual," ucap pemuda itu lagi, sedikit menyindir Kong.

Lyra jadi terkekeh tipis, kembali mengiyakan, "Nanti pasti temanku pas sudah ibu-ibu jadi suka bunga, bakal aku suruh mereka beli di tokomu bukan di toko Kong," ucap gadis itu bercanda yang langsung disambut senyuman tipis oleh Sakti.

Lalu keduanya kembali diam untuk waktu yang lama. Sampai Lyra mengambil air mineral dari lemari rumah sakit dan menyodorkannya pada pemuda itu.

Sakti tidak menerimanya, membiarkan Lyra berdiri di belakangnya sambil memegang air mineral tadi. Pemuda itu masih menatap kosong ke arah luar jendela.

"Sak,"

"Ra, aku takut," ucap Sakti lirih sebelum Lyra sempat melanjutkan bicara.

"Sakti,"

"Aku masih mau hidup Ra," sambung pemuda itu, suaranya terlampau lirih seakan menggambarkan seberapa lelah jiwa pemuda itu saat ini. "Kenapa Tuhan jahat sama aku ya Ra?" tanya pemuda itu pelan, "oh iya pasti karena aku mampu."

"Tapi aku takut Ra, jiwaku mungkin kuat tapi tidak tahu kalau ragaku," Sakti berucap lagi seakan bermonolog karena Lyra sama sekali tidak menjawab.

Sakti tidak pernah tahu, jika Lyra di belakangnya sudah membekap mulutnya sendiri dengan tangan kanannya. Mati-matian menutupi isaknya supaya pemuda itu tidak dengar. Air matanya turun sama seperti hujan di sore itu. Sore dimana ia dan Sakti berbalapan untuk kembali ke alun-alun. Deras, dan tidak dapat ia kendalikan. Gadis itu sudah menyerah, ia menangis dalam diam.

Sampai kemudian pemuda itu merintih, memegangi kepalanya erat. Lyra yang panik langsung menekan tombol darurat sambil berulangkali memanggil nama Sakti. Namun nihil, pemuda itu masih merintih kesakitan. Sampai suster membawa pemuda itu pergi. Membawa Sakti menjauh ke tempat yang tidak bisa ia jangkau.

Lyra terpaksa menghentikan langkah ketika Sakti dibawa ke ruang ICU. Pemuda itu sudah tidak sadarkan diri setelah disuntikkan obat pereda nyeri oleh suster. Di dalam sana beberapa dokter terlihat memasangkan alat kedokteran yang Lyra tidak tahu namanya apa. Dipasangkan ke tubuh Sakti sampai Lyra tidak dapat mengenali pemuda itu. Pemuda itu kemudian dibawa ke sebuah ruangan di ICU hingga Lyra tidak dapat mengintipnya lagi lewat jendela.

Gadis itu terduduk, napasnya putus-putus. Bukan pertama kali ia melihat kilasan seperti ini. Beberapa tahun lalu saat ibunya dibawa ke ruang ICU. Sama persis, sampai membuat dada gadis itu sesak. Kilasan seperti itu tentu bukan kali pertamanya, namun ini kali pertama Lyra melihat Sakti selemah itu. Pemuda yang biasanya tersenyum ceria, melontarkan berbagai jokes dan kata-kata tajam itu terlalu tidak cocok untuk mengalami kilasan yang sama seperti ibunya.

Lyra jadi meneguk ludah, sama seperti Sakti, ia juga takut.

***

Berbeda dengan rencana sebelumnya, Sakti akhirnya dibawa ke Purwokerto lebih awal. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas siang, dan ambulan sudah bersiap membawa Sakti ke Purwokerto. Kalau Lyra tidak salah dengar, karena Sakti sudah terlalu lama menunda menjadikan rasa sakit sudah tidak dapat dikendalikan oleh pemuda itu. Lalu, jadwal operasinya dimajukan.

Lyra menatap kosong ambulan yang beranjak menjauh darinya itu. Membawa pemuda itu pergi. Hatinya tak berhenti merapal doa. Untuk menuju Kota Purwokerto butuh dua jam perjalanan, atau lebih singkat karena ini ambulan. Lyra masih tak berhenti berdoa.

"Semoga lancar, segalanya tentang Sakti. Semoga masa depan yang dibicarakan akan jadi kenyataan. Semoga Sakti bisa main sepeda lagi, semoga pemuda itu bisa dibonceng olehnya, semoga Sakti bisa bersaing dengan Kong di masa depan. Semoga Sakti, sembuh. Semoga, semoga, semoga."

***

Gak tau aku gila

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang