11. Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta

30 11 6
                                    

Ada jeda beberapa saat setelah Lyra menutup mulutnya. Pemuda di hadapannya diam, tapi Lyra tahu kalau ia sedang berpikir keras.

"Kemarin aku ke rumah Nenek di Gorontalo," jawab Sakti, pemuda itu meneguk ludah sebelum melanjutkan. "Sorry aku nggak cerita dari tadi, aku pikir kamu nggak peduli," lanjutnya lalu tersenyum tipis.

Lyra mengangkat alis tertegun, dalam hati merutuki diri sendiri. Ini kenapa kesannya Lyra kayak pacar yang marah karena tidak dikabarin ya? Gadis itu berteriak dalam hati. Mau ditaruh mana mukanya sekarang? Apalagi lawan bicaranya adalah tipe manusia julid semacam Sakti.

Pemuda itu jadi melangkah maju, kembali mendekat ke arah Lyra, "Soal teori sepeda itu tidak ada maksud apa-apa. Cuman sekedar berbagi kata-kata. Karena pada dasarnya kata selamanya itu bukan buat kita, bukan juga buat semua makhluk bumi, kata selamanya cuman milik Tuhan Ra," ucap Sakti dengan lembut. Saat bicara panjang lebar memang Sakti selalu lembut, berbeda dengan saat pemuda itu menghujat, pedasnya minta ampun.

"Perasaan juga sama Ra, tidak ada kesedihan dan kebahagiaan yang abadi. Makannya kubilang jangan terlalu lama berpaku pada satu titik Ra. Jangan kayak aku, yang kalau lagi sama kamu terlalu bahagia sampai maunya berhenti di satu titik itu."

"Aku bukan anak SD kaya Mei, Sakti. Aku tau arah pembicaraanmu ini. Kamu sekarang lagi confess atau lagi nyusun kata-kata perpisahan?" tanya Lyra, masih tanpa ekspresi.

"Tidak ada maksud apa-apa."

"Yaudah terserah," ucap Lyra akhirnya, gadis itu melangkah menjauh menuju rak buku diary.

Sakti menghela napas sebelum kembali menghampiri gadis itu, "Ra tapi aku serius soal teori sepeda. Jangan terlalu sedih dan senang kalau aku datang dan pergi. Jangan sampai kamu berhenti di satu titik, karena nggak semua hal selamanya."

Lyra menoleh, bibirnya tersenyum kecil, "Kamu lucu banget ya? Sok-sokan melankolis tapi tidak ada maksud apa-apa." Dan Sakti tahu kalau senyum kecil gadis itu tidak pernah sampai ke mata.

Sakti mendecak, "Kamu maunya aku gimana?"

"Ya kamu aneh tiba-tiba bilang kayak gitu."

"Aku cuman memberi nasehat Ra."

"Nasehatmu aneh!"

Sakti tidak menyahut, pemuda itu sibuk menarik napas panjang berulangkali. Menahan segala emosi yang hampir meledak.

"Sorry, aku cuman mau marah-marah," ucap Lyra akhirnya, sadar bahwa dirinya terlalu berlebihan.

Sakti masih diam. Lalu dengan senyum tipis tangannya maju menepuk pelan puncak kepala Lyra, sama seperti yang biasa ia lakukan pada Mei.

"Kata temenku kalau cewe tiba-tiba marah-marah berati dia lagi kangen. Tenang Ra, selama lima hari kemarin yang kangen bukan kamu doang kok, aku juga," ucap Sakti santai.

Lyra menoleh tidak terima, "Kangen yourhead! Kita aja baru deket sehari doang!"

"Udahlah, namanya perasaan ya tetep perasaan. Apalagi aku ganteng gini, bukan hal mustahil buat bikin cewek gampang naksir," jawab Sakti dengan ekspresi jumawa.

Lyra hanya mampu mendecih, walau sebenarnya ia mati-matian menahan senyum. "Yaudah terserah!"

"Cieee nggak bisa ngelak kalau suka sama aku ya cieee," ledek Sakti dengan volume suara tinggi membuat Lyra tidak bisa menahan diri untuk membekap mulut pemuda itu dengan paksa.

"Dasar! Untung tokonya nggak terlalu ramai!" omel Lyra, masih dengan tangan membekap mulut Sakti.

"Karna aku bertanggung jawab jadi tenang, perasaanmu nggak bakal bertepuk sebelah tangan."

"Apasih? Please ya wahai Sakti, kita tuh baru kenal seminggu," balas Lyra setelah mendecak heran.

"Emang salah?"

"Iyalah!"

Sakti mendecak, Lyra jadi ikutan mendecak mengikuti gaya Sakti. Walaupun kemudian gadis itu terbahak karena ekspresi julid yang dikeluarkan pemuda itu.

"Udah deh udah, milih novel aja udah selesai?" tanya Lyra akhirnya, mendapati sebuah novel sudah ada di tangan Sakti.

Pemuda itu mengangguk, memamerkan sebuah novel di tangannya pada Lyra, "Judulnya Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta."

Lyra hanya ber-oh ria sampai pemuda itu kemudian mengajaknya ke kasir untuk membayar buku.

"Niatnya mau ngadem dating di toko buku kayak orang kebanyakan, tapi malah gelut. Nggak jadi romantis kita," ucap Sakti pelan membuat Lyra mendesis sambil memukul lengan pemuda itu karena kesal.

"Apasih temen nggak boleh romantis-romantisan!"

"Kode nih mau aku jadiin pacar?" tanya Sakti meledek.

"Apasih!"

"Ipisih!" cibir pemuda itu sambil mengambil kantong plastik berisi buku yang disodorkan oleh kasir.

"Kamu tuh aslinya emang modus ya? Jadi curiga kamu deketin aku karna udah naksir aku dari dulu," tuduh Lyra saat mereka berdua berjalan keluar toko. "Terus pas awal deketin sengaja bicara pedes biar ala-ala badboy gitu supaya aku naksir. Iya 'kan?"

Sakti menoyor kepala gadis itu pelan, "Kebanyakan baca novel!"

"Ye, yang baca novel kan kamu! Aku sih males, mending nonton Mermaid in Love."

"Ah udah nggak seru, sekarang makin nggak jelas alurnya," cibir Sakti.

Lyra hanya mengedikkan bahu, lalu gadis itu baru tersadar Sakti meninggalkan sepedanya di depan Laksana Komputer dan malah mengajaknya berjalan kaki. Lyra menyipitkan mata, menatap pemuda itu curiga. Sakti ini kelihatannya hobi sekali jalan kaki, saat itu juga sama padahal kaki Lyra serasa mau copot dibuatnya.

"Ra, kalau kamu nggak kenal aku kamu sekarang kira-kira lagi ngapain?" tanya Sakti, pemuda itu menyerahkan kantung berisi buku tadi pada Lyra lalu mendekat ke arah pedagang es dung-dung. Pemuda itu menunjukan dua jari kepada pedagang es dung-dung, lalu seolah sudah biasa pedagang tadi mengangguk dan membuat pesanan.

"Rebahan kali," jawab Lyra asal, pasalnya hari minggu seorang Lyra yang tidak terlalu populer di sekolah memang hanya rebahan, tidak ada yang mengajaknya main.

"Lebih suka es dung-dung atau rebahan?" tanya Sakti lagi.

"Es dung-dung lah!"

"Okay, berati lebih bahagia pas ketemu aku ya daripada nggak ketemu," sahut Sakti lalu membayarkan uang kepada pedagang es dung-dung.

"Sok tahu!"

"Ya karena kalau ketemu aku kamu dapat es dung-dung," ucap Sakti, dengan cengiran lebar pemuda itu menyerahkan satu buah es dung-dung pada Lyra.

Lyra ingin heran, tapi ini Sakti. Gadis itu hanya mendecih walau pada akhirnya mulutnya tetap mengucap terima kasih pada pemuda yang berjalan di sampingnya itu.

"Eh mau kemana?" tanya Lyra saat pemuda itu menariknya memasuki taman kota.

"Duduklah! Makan itu harus duduk!" cibir pemuda itu, membuat Lyra mau tak mau menurut mengikuti langkah besar pemuda itu untuk duduk di salah satu kursi taman kota.

"Mau taruhan?"

"Hm?" Lyra mengernyit, dengan es krim ditangannya yang masih banyak.

"Kalau mobil yang berwarna putih lebih banyak lewat berati aku ngikutin kamu mau pergi kemana, tapi kalau yang warna hitam lebih banyak kamu ngikutin aku mau pergi kemana," kata Sakti panjang lebar, pemuda itu menunjuk pada jalan raya yang ramai pada hari minggu ini.

Lyra memakan es dung-dungnya lagi sebelum akhirnya mengangguk setuju, "Deal!"

***

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang