Agustus 2016
Lyra menarik napas panjang saat bel masuk berbunyi. Gadis itu berdiri di depan kelas IXA, menyandar pada balkon depan kelas. Memang seluruh kelas sembilan terletak di lantai dua. Dibawah barisan kelas sembilan ini adalah ruang UKS, ruang kesenian, koperasi, dan ruang guru. Dari balkon kelas sembilan dapat terlihat lapangan upacara yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Lapangan tersebut terletak persis di depan bangunan ini. Bahkan tiang benderanya berdiri tepat di depan Lyra berdiri. Benderanya sesekali berkibar mendekat ke Lyra namun masih terlalu jauh untuk dijangkau.
Dilihatnya satu per satu teman kelasnya yang mulai berdatangan setelah melaksanakan sholat zuhur berjamaah. Istirahat kedua telah usai, membuat Lyra mau tak mau turut masuk kelas. Gadis itu menghela napas menyadari kini keraguannya sudah terbukti benar. Sakti menghilang lagi. Pemuda itu masih belum masuk sekolah padahal sudah tiga hari semenjak mereka terakhir bertemu.
Lagaknya gadis itu paham mengapa Sakti memberitahunya soal teori sepeda. Karena sepertinya pemuda itu sejenis dengan Ryan dan Jejen yang berangkat sekolah kalau mereka mau saja. Artinya Lyra tidak boleh terlalu sedih jika pemuda itu menghilang. Karena hidup terus berjalan, karena rodanya tidak boleh berhenti agar sepeda yang dikendarainya tidak akan terjatuh. Karena ia masih harus mendengarkan Pak Agus menjelaskan panjang lebar mengenai range, determinan, dan fungsi.
Kelas mereka sebenarnya memang tidak pernah kondusif. Manusia seperti Rifqi, Amar, Bayu dan gerombolannya sudah merumpi di belakang kelas. Sementara itu Pak Agus menuliskan soal-soal latihan UN di papan tulis, menyicil materi UN katanya. Lalu beberapa teman kelas Lyra yang niat akan mengerjakan soal itu dan satu per satu maju untuk bertanya pada Pak Agus apakah hasilnya benar atau tidak. Setelah benar mereka akan diberi soal lagi oleh Pak Agus namun sistemnya acak. Jadi soal yang dikerjakan antar siswa yang satu dengan siswa yang lainnya berbeda.
Lyra menghela napas, ia tidak bisa mengerjakan soal yang ada di bukunya. Gadis itu kemudian melirik bangku Putri yang sudah kosong karena si empunya sudah ikutan bergerombol di meja milik Farhah, si juara kelas. Dari jauh dapat Lyra lihat kalau Farhah kewalahan pada setiap temannya yang maju meminta diajari bahkan banyak yang dengan kurang ajar malah langsung meminta jawaban.
Tampak Farhah menghela napas dan akhirnya maju menarik buku satu per satu teman yang mengerumuninya, buku itu kemudian ditumpuk oleh gadis itu, dan ia kerjakan sendiri. Setelah selesai gadis itu bagikan lagi pada para pemilik buku yang menyengir lebar sambil berterima kasih. Mereka dengan bangga maju dan mendapat anggukan benar dari Pak Agus padahal Farhah yang mengerjakan. Lyra terkekeh melihat itu, kasihan sekali temannya yang satu itu.
Namun terdapat juga manusia niat seperti Eca, Rizki, Hani, dan Putri yang alih-alih minta dikerjakan oleh Farhah mereka minta untuk diajari. Bahkan sesekali Farhah berdiskusi bersama mereka. Sedangkan Lyra termasuk pada golongan yang kadang niat kadang tidak, namun ia lebih sering berdiskusi dengan Farhah walau pada akhirnya ia tetap mencontek. Kalau sedang malas ia hanya akan mengambil buku milik Putri dan menyalin jawabannya. Namun daripada kedua jenis tersebut, di kelasnya lebih banyak lagi yang memilih tidak mengerjakan dan malah merumpi di pojokan.
Di dalam kekacauan kelas ini, setiap guru yang masuk memang seakan sudah biasa. Terlalu malas untuk menegur murid yang berisik karena sering tidak didengarkan. Padahal kalau mereka bisa mereka lebih baik menyuruh murid yang berisik keluar dari ruang kelas saja supaya tidak mengganggu. Namun mereka tidak bisa karena kalau disuruh begitu para murid yang tidak niat tadi malah akan kesenangan dan membuat gaduh kantin sekolah.
Lyra hanya mengeratkan jaket kuning yang dipakainya lalu menidurkan kepala di meja. Mencoret-coret bukunya dengan coretan tidak jelas.
"Permisi Pak Agus, boleh saya pinjam Rizki sebentar?"
Lyra jadi menegakkan kepala, menatap Bu Kiki selaku wali kelas mereka sudah memanggil si ketua kelas. Pak Agus mengangguk untuk menjawab sehingga Rizki yang peka langsung keluar kelas dan menemui Bu Kiki.
Lalu tak lama setelah itu Farhah turut dipanggil keluar. Semua anak kelas yang penasaran hanya menatap pada tiga orang itu. Terlihat Farhah mengangguk-angguk tanpa berucap apa pun, sementara Rizki seperti biasa cerewet dan banyak bicara pada Bu Kiki.
"Ibu mau ke rumah sakit bareng Mba Farhah sama Mas Rizki, mau jenguk Jejen," ucap Bu Kiki seakan paham pada seisi kelas yang penasaran.
Selanjutnya adalah sahut-sahutan tidak jelas dari teman-temannya yang meminta ikut. Tentu saja Bu Kiki hanya mendecak dan menggeleng mengingatkan.
Jejen memang sudah tiga hari ini tidak masuk sekolah. Kabarnya pemuda kurus dan tinggi itu overdosis obat. Lyra mendecih, kebiasaan mabok Jejen akhirnya memberikan dampak pada pemuda itu. Sebelumnya memang Jejen pernah bercerita kalau ia mengkonsumsi obat anjing untuk mabok. Dia beli dengan mudah di apotek. Lyra tebak memang sepertinya Jejen masuk rumah sakit karena itu.
Topik rumah sakit mengingatkan gadis itu pada Mei. Tiba-tiba saja terbersit ide di kepala gadis itu. Bu Kiki sudah pasti menggunakan motor, Rizki juga membawa motor setiap harinya. Walaupun masih SMP di sekolah mereka memang sudah diizinkan membawa motor. Karena kebanyakan murid yang berasal dari pegunungan dan sulit untuk akses transportasi umum. Jadilah pihak sekolah seakan berkompromi dengan polisi.
Kalau boncengan Bu Kiki kosong artinya Lyra masih bisa ikut. Gadis itu malas ikut pelajaran matematika. Ia juga ingin menemui Mei, ingin mendengar gadis kecil itu bercerita lagi, ingin mengusap pelan kepala gadis itu. Dan kalau memungkinkan ia ingin bertemu Sakti. Kalau tidak berangkat sekolah, mungkin saja pemuda itu main-main di rumah sakit dengan Mei.
Lyra menoleh ke sekeliling kelas yang masih tidak kondusif. Gadis itu kemudian maju ke depan dan izin pada Pak Agus untuk ke toilet. Setelah mendapat izin gadis itu dengan cepat beranjak keluar kelas. Namun alih-alih berbelok ke toilet, gadis itu memilih berjalan lurus, mengejar Bu Kiki, Rizki, dan Farhah yang terlebih dahulu beranjak.
"Permisi Bu, kalau ada tumpangan boleh saya ikut?" ucap Lyra setelah menghampiri Bu Kiki.
Bu Kiki terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk, "Boleh Mba Lyra biar sama Bu Kiki aja, nanti Mba Farhah sama Mas Rizki."
Lyra bersorak riang dalam hatinya. Syukurlah ia tidak pernah membuat onar saat pelajaran. Jadilah Bu Kiki percaya padanya sebagai seorang teman yang sangat ingin menjenguk Jejen padahal aslinya ia ingin bolos pelajaran matematika.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Anomali (END)
Random[Juara 1 Writing Challenge with Etherial Publisher 2021] "She wanna die but start live her life because of him." Ini cerita tentang penerimaan. Tentang seorang perempuan putus asa bertemu dengan laki-laki penuh asa, Sakti Abhimanyu.