4. Hutang

52 24 62
                                    

Lyra pernah mendengar sebuah lirik lagu. Kira-kira seperti ini bunyinya.

Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah. Tiada kisah paling indah, kisah kasih di sekolah.

Seperti mendengar kisah lagu secara live di sinilah Lyra, duduk manis di bangku paling depan di kelasnya, menyaksikan Reni yang mengejar-ngejar Agung. Seperti anak SMP kebanyakan, awalnya memang Agung yang mengejek Reni dengan sebutan 'bibir dower' lalu Reni mengejar-ngejar cowok itu untuk menghadiahinya dengan pukulan manis dari sepatu gadis itu.

"Dasar! Kamu juga item dekil sok-sokan ngejek orang!" omel Reni sambil berulangkali memukuli Agung dengan sepatunya.

"Bakalan lucu kali ya kalau mereka nantinya jadi suami istri," ucap Putri yang duduk di samping Lyra, ikut tertawa melihat dua orang tadi.

Selain itu ada juga di pojok kelas, Rival yang mengancam akan menempelkan upil di baju Hani. Hani yang jijik tidak tanggung-tanggung langsung melemparkan satu kotak tisu ke kepala pemuda itu untuk menghentikannya. Padahal Rival kelas IXB tetapi pemuda itu sengaja ke kelas Lyra hanya untuk mengejek Hani.

Ada juga Amar dan Veren yang berebut spidol untuk menggambar doodle di papan tulis.

Indah sekali, walaupun terlihat bertengkar, Lyra tahu kalau mereka semua menyimpan perasaan lain di dalamnya. Entah si perempuan, atau si laki-laki.

Namun yang saat ini paling melekat di kepala gadis itu bukanlah lirik lagu tadi, melainkan sesosok pemuda yang mengaku-ngaku tahu banyak soal bintang. Lyra jadi teringat pada pemuda itu. Dari badge kelasnya Lyra tahu kalau dia kelas IXC. Hanya terpisah satu kelas dari kelas Lyra.

"Ra!"

Lyra menoleh menatap Putri dengan ekspresi bertanya.

"Aku kenal seseorang di rumah sakit, kamu mau konsul sama dia?" Tanya Putri sambil memegangi tangan kiri Lyra. Putri memang sudah lama tahu mengenai kebiasaan buruk Lyra yang sering melukai diri sendiri.

"Males, nanti Ayah tau," jawab Lyra pelan lalu kembali menyibukkan diri dengan mencoret-coret bukunya tidak jelas.

"Berdua aja, aku yang antar," bujuk Putri entah untuk yang keberapa ribu kalinya.

Lyra tidak menjawab, seperti sebelum-sebelumnya jika ditanyai begitu ia akan bungkam. Bukan tak bisa sembuh, gadis itu sebenarnya hanya menolak sembuh.

Putri hanya bisa pasrah, diam tak bisa memaksa lagi. Seperti kebanyakan teman-temannya yang lain, Lyra juga sama keras kepalanya.

"Woy woy anjir, kalian tau adik kelas yang anak baru kemarin itu? Dia hamil!"

Lyra dan Putri sontak menoleh ke arah pintu, melihat pada Amini yang sudah datang membawa gosip terbaru.

"Nggak heran, kemarin aja dimarah Pak Ali gara-gara pake lipstik merah banget!" Jawab Hani yang sudah maju paling depan untuk menyahut.

Lyra dan Putri turut keluar mengikuti Amini yang sudah berpindah ke depan kelas IXB menjadikan murid kelas IXA dan IXC ikut berkumpul di situ untuk bergosip ria.

"Mau dinikahin nggak dia weh?" Tanya Riska, murid kelas IXB yang sudah maju penasaran.

"Nggak tau, udah lima bulan hamilnya," jawab Amini dengan gaya bergosip.

Lyra dan yang lain seolah menjadi saksi, turut mendengar percakapan demi percakapan yang terlontar.

"Gila, perasaan baru beberapa bulan kemarin ada kakak kelas yang dikeluarin karena hamil juga."

Lyra menoleh, mendapati Putri sudah bergumam heran. Padahal seharusnya itu memang sebuah hal biasa yang terjadi di sekolah ini.

Lalu tanpa sengaja mata Lyra mendapati Sakti yang sudah ikut bergerombol karena penasaran. Namun bukannya mendengarkan Amini yang bercerita, pemuda itu hanya menatap Lyra lekat.

Lyra mengerjap lalu mengalihkan wajah karena salah tingkah. Lalu karena penasaran ia kembali menatap pemuda itu namun detik berikutnya ia menyesal karena Sakti malah memeletkan lidah mengejek. Walau kemudian pemuda itu seperti berbicara tetapi tanpa suara.

Lyra mengerutkan keningnya, memberi isyarat pada pemuda itu kalau ia tidak mengerti apa yang diucapnya. Lalu setelah memutar bola mata geram pemuda itu dengan susah payah melintasi keramaian demi menghampirinya.

"Kamu juga hati-hati sama cowok, nanti hamil loh!" ucap Sakti setelah berhasil berdiri di samping Lyra.

Lyra diam, ia tidak punya apa-apa lagi selain keinginan untuk mencekik pemuda di sampingnya itu. Lagian siapa juga yang mau hamil duluan? Lyra juga masih menginjak bangku SMP. Masih banyak juga hal yang ingin gadis itu lakukan. Selain itu, akal pikiran Lyra masih bekerja dengan baik, ia tahu batasan. Bukan, sebenarnya bukan itu juga melainkan memang tidak ada laki-laki yang mau dengannya.

"Kamu tau nggak peribahasa yang bunyinya 'diam adalah emas'?" tanya Lyra sarkas, lama-lama ia kesal juga dengan Sakti yang kalau bicara tidak pernah disaring.

"Aku serius," ucap pemuda itu dengan tampang tak berdosa.

"Berati aku juga harus hati-hati sama kamu ya?" tanya Lyra yang kemudian bergeser menjauh selangkah dari pemuda itu.

"Kalau itu nggak usah khawatir, kamu sama sekali bukan tipeku. Aku naksirnya sama cewe baik-baik," ucap Sakti santai, tangannya sudah ia silangkan di depan dada dengan pandangan yang tertuju pada Amini sebagai pusat keramaian.

"Sama, kamu juga bukan tipeku. Aku juga naksirnya sama cowok yang kalau mau ngomong difilter dulu," balas Lyra yang saat ini ikut-ikutan menyilangkan tangan di depan dada.

"Siapa Ra?" bisik Putri penasaran, matanya sedikit melirik pada Sakti yang masih berdiri si samping Lyra.

"Orang gila, kamu mending nggak usah kenal deh Put dia orangnya melatih mental dan emosi," ucap Lyra dengan keras, sengaja agar Sakti dengar.

"Halo Putri, kamu kok tahan punya temen modelan kayak dia?" sahut Sakti sambil menunjuk kepala Lyra yang hanya setinggi pundaknya. "Cocok banget nama kita Sakti Putri bisa yuk kalau mau ke tahap selanjutnya," sambung cowok itu dengan cengiran lebar.

Putri hanya tersenyum manis untuk menanggapi, sementara di sampingnya Lyra sudah komat kamit menahan untuk tidak mengumpat keras-keras.

"Pulang nanti traktir aku es dawet, kamu masih hutang sama aku," bisik Sakti membuat Lyra otomatis menoleh bingung.

"Hutang?"

"Iya aku 'kan tadi udah nolongin bersihin tanganmu dari duri kaktus, itu nggak gratis ya harus dibayar pake es dawet yang biasanya jualan di depan toko Laksana Baru," kata Sakti lagi yang sukses membuat Lyra menganga lebar.

"Sumpah baru kali ini aku nemu manusia selicik kamu!"

"Dunia memang seperti ini Ra," jawab Sakti yang sudah tersenyum tipis sambil mengangguk-angguk takzim.

Lyra tertawa dalam hati, lihat saja nanti ia akan kabur duluan sebelum pemuda itu sempat memaksanya untuk pulang bersama. Namun tanpa gadis itu tahu pemuda di sampingnya juga sudah menyusun ribuan cara untuk mencegah gadis itu agar tidak bisa kabur.

***

1018

Ges aku shipper Reni Agung.

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang