8. Mei

38 14 22
                                    

"Mas Sakti!"

Lyra dan Sakti yang sedari tadi mengintip di jendela jadi menoleh mendapati seorang anak kecil dengan kursi roda sudah melambaikan tangan dengan ceria. Gadis kecil itu menyapa Sakti dengan senyum lebar dari lorong panjang depan ruang aster yang agak ramai.

Lalu Sakti dengan ceria berjalan cepat menghampiri gadis kecil itu. Lyra bahkan terkejut ketika pemuda itu langsung memeluk gadis tadi dengan erat masih dengan senyum yang tak kunjung luntur.

"Aaaaaa Mas kangeeen."

Lyra mengerjap terkejut, walau berikutnya jadi menatap julid pemuda di depannya itu. Lyra jadi curiga, mungkin Sakti sebenarnya baik dan manis kepada seluruh dunia kecuali dirinya. Lihat saja cara pemuda itu memeluk erat gadis kecil tadi yang sepertinya masih berusia sekitar lima tahunan, tidak lupa dengan ucapan pemuda itu yang berubah manis. Mungkin memang Sakti ini hanya jahat pada Lyra saja.

"Mas bawa pacar? Loh katanya Mas mau nikahin aku ntar di masa depan!" protes gadis kecil itu sambil menatap Lyra sanksi.

Sakti tertawa ringan, "Dia tuh nenek lampir, nggak usah dipikirin," ucapnya seolah menenangkan.

Lyra mendecak lalu ikut berjongkok di depan kursi roda gadis itu. "Hai adek cantik, siapa namanya?" tanya Lyra ramah.

Gadis kecil itu awalnya ragu tapi akhirnya meringis kecil. "Mei Kak," jawab gadis kecil itu pelan.

"Mei nggak usah khawatir, manusia melatih emosi kayak dia nggak mungkin jadi pacar Kakak, nanti yang ada Kakak malah gangguan mental," ucap Lyra sambil tersenyum penuh arti pada Sakti yang menahan tawa.

"Iya kok Kak aku juga tenang-tenang aja, Mas Sakti juga pasti lebih milih aku dibandingkan Kakak," jawab Mei dengan ringannya.

Lalu detik kemudian Lyra menyadari bahwa Sakti sudah menyebarkan aliran buruknya dalam bertutur kata pada gadis kecil ini.

"Mas Sakti udah kabur berapa hari?" tanya Mei lagi membuat Lyra menoleh bingung.

"Kabur darimana?" tanya Lyra curiga, terlebih lagi ia mendapati Sakti yang mengirimkan isyarat pada Mei untuk diam.

"Padahal Mei juga pengen ikutan kabur," ucap gadis kecil itu lalu dengan sendu memandangi kakinya yang tersandar di tempat kaki pada kursi roda.

"Ya, udah sekarang kita kabur dari suster aja, kita lihat air terjun!" ucap Sakti ceria lalu bangkit dan mendorong kursi roda milik gadis itu.

Air terjun yang dimaksud adalah bendungan tembok yang dilukisi berbagai macam karakter kartun. Memang, walaupun kecil air masuk, tetap saja air yang mengalir di bendungan itu terlihat seperti air terjun mini. Titik paling berisik jika dibandingkan dengan riak kecil air sungai yang mengalir di sepanjang rumah sakit ini.

"Mei pernah dengar 'kan soal teori kebahagiaan dan kesedihan yang pernah Mas bilang?" tanya Sakti lembut seiring langkah kakinya yang pelan, mendorong kursi roda milik Mei.

"Iya, katanya porsi bahagia dan sedih dalam hidup itu seimbang. Berati kalau kita udah banyak sedih di masa kini kita bakal bahagia di masa depan karena stok kesedihan sudah habis di masa kini, gitu 'kan Mas?" Mei menoleh dengan cengiran cerianya, meskipun bibir dan wajah pucatnya sedikit mengurangi sinar semangat dari mata gadis kecil itu.

Lalu dengan lembut Sakti mengusap kepala gadis itu. "Pinter banget sih adek Mas."

"Calon istri!" protes Mei yang langsung disambut Sakti dengan gelak tawa yang ringan.

Lyra yang melihat itu turut tersenyum kecil, tangan kirinya maju turut mengelus lembut kepala gadis itu.

"Kakak ini siapanya Mas Sakti sih? Tumben banget Mas Sakti pas kabur eh balik lagi bawa cewe." Mei memandangi Lyra dengan teliti. "Kakak juga sakit ya makanya pake jaket terus?" tanya gadis itu lagi mendapati Lyra yang memang memakai jaket tipis berwarna kuning.

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang