20. Kehilangan

40 9 5
                                    

Agustus 2016

"Filosofi daun. Jika sudah waktunya untuk lepas, sekuat apa pun kamu bertahan, tetap akan lepas."

Lyra bergumam sendiri. Hari Rabu tak pernah lagi sama. Saat itu memang benar Sakti pergi ke rumah sakit di Purwokerto. Setelah dua hari akhirnya pemuda itu dipulangkan. Raganya memang kembali pulang, namun tidak bersama jiwanya. Pemuda itu dipaksa menghentikan mimpinya. Dipaksa merelakan segala jiwanya pergi dari raganya. Pemuda itu telah pergi.

Gadis itu duduk bersandar pada dinding di ruang tamu rumah Sakti. Sepertinya hari ini akan jadi kali pertama dan terakhirnya berkunjung ke rumah pemuda itu. Sayangnya kunjungan itu semata hanya untuk berbela sungkawa. Hanya untuk melepas raga pemuda itu pergi, kembali pada pelukan bumi. Tak jauh dari tempatnya duduk, di sebuah meja panjang, raga pemuda itu terbujur kaku. Di sekitarnya sudah ramai dari pihak tetangga maupun saudara yang membaca Al-Qur'an, mengiringi kepergian pemuda itu.

Lyra tak bisa menahan tangisnya. Ia menyempil diantara siswa kelas IXC padahal ia dari kelas IXA. Di sampingnya ada Jejen yang turut melayad karena pemuda itu tahu dan sering bertemu Sakti di rumah sakit. Menjadikan hanya mereka berdua perwakilan dari IXA yang melayad.

Tuhan paling tahu sebesar apa gadis itu hancur. Sebagian jiwanya masih belum mempercayai kalau Sakti pergi. Sebagian lagi menatap kosong raga pemuda itu yang terbujur kaku. Mau tak mau, ia dipaksa percaya.

Tadi pagi tiba-tiba OSIS datang ke kelas Lyra untuk menyampaikan berita duka itu. Bahwa Sakti telah berpulang. Bahwa pemuda itu tidak mungkin kembali lagi. Lyra seperti dipaksa terjun bebas saat itu juga. Pikirannya kosong sampai tiba-tiba Jejen mengajaknya melayad. Lyra tersenyum miris, bahkan kabar pemuda itu pun hanya ia ketahui dari OSIS. Lyra menyesal tidak banyak mengetahui tentang Sakti. Dimana rumahnya, berapa nomor telfonnya, dan segala hal yang disukainya. Lyra tidak banyak tahu.

Dipandanginya raga kaku yang tak jauh darinya itu.

"Dia udah janji bakal sembuh Jen."

"Dia bilang mau buka toko bunga, dia bilang mau main sepeda sama aku, dia bilang," Lyra tak mampu melanjutkan, suaranya masih bergetar.

"Dia bilang dia masih pengen hidup Jen."

Jejen hanya menepuk pelan punggung Lyra yang bergetar. Pemuda itu menyerahkan sebuah buku yasin, untuk gadis itu baca.

Lyra menurut, membuka dan mulai berdoa seperti yang lain. Namun di setiap untaian ayat yang ia baca, segala hal tentang Sakti selalu muncul di ingatannya.

"Kamu tahu filosofi anyelir dua warna yang aku kasih?"

"Artinya, aku tidak bisa bersamamu."

Lyra makin terisak, bacaannya terhenti begitu saja.

"Aku masih mau main sama Sakti."

Gadis itu tetap menarik napas, melanjutkan membaca Surah Yasin dari buku itu. Meskipun suaranya sudah tidak jelas. Meskipun separuh jiwanya seperti ditarik pergi darinya. Meskipun pemuda itu sudah pergi. Meskipun Sakti tidak mungkin datang ke arahnya dengan senyum cerah lagi.

"Ra tau filosofi daun?"

"Kalau daun sudah waktunya jatuh, mau ditahan bagaimana pun akan tetap jatuh."

Lyra berhenti lagi, air matanya masih tetap deras. Tiba-tiba saja semua kenangan tentang pemuda itu muncul dalam ingatannya. Gadis itu berulangkali menarik napas panjang sebelum melanjutkan bacaan. Ia harus selesai membacanya, untuk Sakti. Supaya pemuda itu senang di sana.

"Ra kamu senang nggak sih kenal sama aku?"

"Jangan pernah lupa sama aku ya Ra. Ingat aku sesekali saja, saat kamu lihat bunga anyelir, saat kamu lihat kucing, atau saat kamu lihat rumah sakit ini. Ingat aku sekali saja ya Ra tapi jangan pernah lupa."

Gadis itu mengiyakan dalam hatinya saat memori itu menyerangnya tanpa ampun. Mana mungkin ia bisa lupa. Bahkan pemuda itu lagaknya telah memenuhi relung hatinya yang kosong. Ia tidak akan lupa.

"Ra aku takut."

"Aku masih mau hidup Ra."

Gadis itu mengangguk lagi. Menyahuti dalam hati setiap ingatan yang menguar.

"Aku juga Sak, tapi Tuhan lebih sayang kamu."

Ia masih terus membaca Surah Yasin di tangannya. Masih bergetar, masih putus-putus, masih kehilangan.

"Mau sebahagia dan sesedih apa pun kita harus tetap balance, seimbang. Karena ya ibaratnya sepeda, hidup harus terus berjalan supaya nggak jatuh. Jangan terlena sama kebahagiaan dan kesedihan yang sementara sampai buat kamu berhenti mengayuh dan jatuh."

Lyra mengangguk lagi, tanpa sadar bahwa suara tangisnya membawa yang lain turut menangis kehilangan. Lyra sudah berjanji untuk mengingat semua nasihat pemuda itu. Lyra berjanji ia akan hidup dengan baik. Lyra sudah berjanji untuk tidak terpaku pada sebuah kesedihan sementara.  Tetapi ini Sakti yang pergi. Pemuda itu bukan kesedihan sementara, keperginya merupakan sebuah kesedihan yang tidak mampu Lyra definisikan. Lyra kehilangan, semua orang kehilangan. Pemuda itu amat baik hidupnya. Lyra mengucap banyak doa dalam hatinya. Semoga Sakti disayang Tuhan.

"Yang ikhlas ya Ra."

"Insyaallah Sakti."

***

Semua pihak dari SMP-nya yang melayad sudah pulang terlebih dahulu. Sementara Lyra dan Jejen menetap, mengantar pemuda itu sampai ke kuburnya.

Suasana mendung, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Terlihat Ayah Sakti dan beberapa saudara laki-lakinya turun untuk mengantarkan pemuda itu ke tempat persemayaman terakhirnya. Ibu Sakti tidak terlihat datang ke pemakaman, beliau sudah jatuh pingsan berulangkali. Saat melihatnya Lyra jadi semakin ingin menangis. Tadi saat ia peluk erat, perempuan itu juga menangis hebat di pelukannya. Sebuah tangisan penuh kerelaan yang dipaksakan. Daripada siapa pun, perempuan itu yang paling kehilangan.

Mereka berdoa untuk terakhir kalinya di samping makam pemuda itu. Makamnya sudah penuh dengan rangkaian bunga. Lyra terduduk pasrah, menyadari ia tidak akan pernah menemui raga itu lagi. Kembali mencoba mempercayai kalau Sakti tidak akan kembali. Pemuda itu sudah diambil kembali oleh yang Maha Kuasa. Dan Lyra tidak bisa melihat senyumnya lagi. Tidak bisa mendengar setiap omelan atau nasihat yang keluar dari mulut pemuda itu. Tidak bisa berjalan-jalan dengan sepeda. Tidak bisa menemui Vini, Vidi, Vici, dan Pak Sumardi bersama pemuda itu lagi. Ia tidak bisa.

Tangisannya tidak pernah reda, bahkan sampai doa selesai dipanjatkan.

"Sak, aku kangen."

Jejen masih meneguk ludah, pemuda yang biasanya hanya cengengesan kalau di sekolah itu kini terlihat muram. Setelah semuanya selesai berdoa dan meninggalkan makam ia terpaksa menarik Lyra yang masih lemas dengan air mata yang tak kunjung surut. Mengantar gadis itu keluar dari area pemakaman bersamanya.

"Sakti cerita, katanya dia nggak pernah nyesel bantuin kamu yang ketusuk kaktus waktu itu," ucap Jejen tiba-tiba membuat Lyra menoleh. Mendengar itu, tangisnya pecah lagi.

"Dia juga bilang terima kasih karena kamu mau nemenin dia sampai akhir," lanjut Jejen.

"Dia bilang dia juga bahagia bisa kenal kamu Ra, dia juga bersyukur."

Lyra menangis lagi, di tepi jalan raya yang ramai gadis itu terduduk lemas. Tidak dipedulikannya kendaraan yang lalu lalang melihat air matanya dengan bebas. Ia menangis keras, melepaskan semua beban yang sedari tadi tertahan di hatinya. Bahwa gadis itu, kehilangan.

***
1042
He he

7-6-2021

Ultraman Cosmos

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang