6. Sesuatu di Alun-Alun

51 20 57
                                    

Alun-alun kota selalu identik dengan pohon beringin. Lyra belum tahu pasti mengenai filosofi pohon beringin, tapi gadis itu tahu kalau pohon beringin mampu mengayomi. Daunnya rimbun, bisa membuat siapa saja betah untuk berteduh di bawahnya apalagi saat cuaca sedang panas-panasnya. Akarnya yang panjang menggantung dengan santai, menghirup udara kota yang berdebu.

Selain pohon beringin, di depan alun-alun terdapat masjid kota yang megah. Bangunan serba putih itu berdiri kokoh dekat dengan pohon beringin, membentuk suatu konstelasi khas alun-alun kota. Seperti yang pernah diajarkan oleh guru bahasa jawa Lyra, alun-alun selalu identik dekat dengan setiap sarana publik seperti kantor desa, tempat ibadah, dan rumah sakit, tidak lupa juga pohon beringin. Lyra belum pernah menemukan alun-alun tanpa pohon beringin.

Dan di sinilah mereka berdua berada, di bawah pohon beringin alun-alun kota yang teduh. Daunnya yang rimbun melindungi kulit mereka dari sinar matahari yang masih terik. Walaupun teduhnya tetap tidak bisa mengobati kaki Lyra yang pegal karena berjalan jauh. Cuaca panas, dan kakinya yang pegal menjadi perpaduan yang pas untuk menghujat manusia yang memaksanya menuju alun-alun.

"Laper nggak?" tanya Sakti, mata pemuda itu sudah berkeliling melihat berbagai macam makanan yang dijual di tepi lapangan alun-alun.

Lyra menoleh sinis, jelas-jelas di sekolah tidak ada yang jualan makanan berat, tentu saja ia lapar. Tapi gadis itu terlalu gengsi, jadilah ia hanya menjawab dengan gelengan singkat.

"Yaudah," ucap pemuda di sampingnya singkat lalu dengan santai melenggang pergi meninggalkan Lyra untuk menghampiri penjual ketoprak.

Lyra menganga, tak habis pikir dengan kelakuan pemuda itu. Apalagi saat pemuda itu dengan gembleng memesan hanya satu porsi ketoprak. Memang, tidak ada yang bisa diharapkan dari pemuda yang baru ia kenal satu hari itu.

"Yuk!" ajak pemuda itu sambil menenteng satu porsi ketoprak yang dibungkus rapih.

"Kemana?"

"Udah ikut aja deh kepo banget, akhirnya juga ngikut kan!" tutur pemuda itu lagi, tanpa ekspresi seperti biasanya.

Lyra mendecih, masih dengan sekantung makanan kucing di tangannya gadis itu menurut saja mengikuti Sakti yang sudah beranjak pergi. Pemuda itu berjalan lurus sampai pertigaan ujung lapangan alun-alun. Lyra ingin protes karena mereka jadinya hanya memutari lapangan secara sia-sia saja.

Lyra mendecak, akhirnya kesabarannya habis. Gadis itu maju hendak mengomel pada pemuda di hadapannya, namun niatnya terhenti begitu saja. Di depannya Sakti sudah menunduk mendapati kucing hitam yang berkeliaran di alun-alun.

"Ih Vini, temen-temenmu mana?"

Lyra membeku, entah mengapa tapi hatinya merasakan sensasi seperti tersengat listrik, terlebih ketika pemuda itu maju dan mengelus kucing hitam tadi.

"Seperti biasa, aku bawa sebungkus makanan. Bedanya kali ini bonus nenek lampir," ucap pemuda itu lagi.

Lyra yang tadinya tersentuh langsung melotot seketika, sadar bahwa nenek lampir yang dimaksud pemuda itu adalah dirinya.

"Vidi sama Vici kemana ik kamu kok sendirian?" pemuda itu masih terus mengobrol dengan kucing hitam yang hanya membalas dengan ngeongan kecil.

Lyra tersenyum kecil, gadis itu ikut berjongkok di samping Sakti sambil membuka makanan kucing yang ia bawa. Dengan telaten tangannya menaruh makanan kucing ke depan kucing hitam tadi.

"Anak pinter." Sakti mengelus kucing itu dengan lembut, seolah bangga dengan kucing hitam tadi yang makan dengan lahap.

Lyra mendecih, giliran dengan kucing saja pemuda itu lembut sekali tuturnya.

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang