13. Sederhana dan Bahagia

29 11 2
                                    

Lyra tersenyum teduh sambil menatap Sakti yang khusyuk pada doanya. Pemuda itu mengangkat tangan, berdoa dengan serius. Lyra kembali menunduk, sambil dengan lirih mengucap aamiin berulangkali.

Gadis itu menatap pusara di depannya. Bunga krisan dan mawar putih sudah ditaruh di sana. Wanginya harum, Lyra jadi paham mengapa Kong menyarankan membeli bunga itu.

Setelah berdoa ia masih tetap tersenyum teduh sambil membantu Sakti yang mencabuti rumput di sekitar pusara tadi. Gadis itu tetap tersenyum, meredam segala jeritan dalam hatinya. Mencoba menyembunyikan dirinya sendiri dalam diam yang panjang. Namun dalam persembunyian itu Sakti selalu berhasil menemukannya. Tanpa banyak bicara pemuda itu menepuk-nepuk pelan punggung Lyra. Keduanya tetap tenang, sama tenangnya dengan siang yang mendung ini.

***

Hanya dalam dua hari yang panjang bersama pemuda itu Lyra jadi tahu segala kebiasaannya. Selain suka berjalan kaki daripada naik angkutan umum, pemuda itu juga malas membawa barang. Saat itu makanan kucing, saat ini buku novel dan pot bunga anyelir yang pemuda itu pasrahkan pada Lyra. Membiarkan gadis itu menenteng beban tadi dengan wajah tanpa dosa.

Saat sudah sampai kembali di toko bunga, Sakti hanya membantu meletakkan dua barang tadi di samping sepedanya. Pemuda itu lantas tersenyum cerah.

"Aku tadi lihat di jalan banyak yang ikutan lomba lari maraton, seru banget nggak sih?"

Lyra menatap pemuda itu curiga. Satu dari beberapa kebiasaan lain dari pemuda di hadapan Lyra adalah fakta bahwa ia aneh. Lyra tidak yakin dengan segala ide yang diungkap oleh Sakti Abhimanyu ini.

"Kita ikutan lari, tapi melawan arus."

Sudah Lyra duga. Tetapi sejauh ini Lyra tidak pernah menolak ide dari pemuda itu. Dengan senyum yang sama gadis itu mengangguk. Karena tanpa ia sendiri sadari, ia juga sama anehnya.

"Aku juga suka lari."

Lyra tidak tahu hari ini kotanya memperingati hari apa, namun yang ia tahu adalah akses jalan untuk kendaraan bermotor di beberapa tempat telah ditutup. Menjadikan beberapa bagian dari jalan raya di kota ini sepi oleh kendaraan bermotor. Dari kejauhan gadis itu dapat melihat tepat di depan alun-alun kota di bangun tenda sebagai garis start sekaligus finish perlombaan lari maraton ini.

Yang Lyra ketahui perlombaan memang sudah dimulai sejak pukul tujuh pagi. Saat Sakti menjemputnya tadi pagi jalanan memang sudah dipenuhi oleh peserta lomba maraton. Jalurnya hanya memutari kecamatan ini namun jalan yang meliuk-liuk menjadikan jarak yang ditempuh sangat panjang.

Di sampingnya Sakti sudah melompat-lompat kecil seakan bersiap. Mereka sudah berada di depan alun-alun, berdiri tepat di depan garis finish tadi. Tak jauh dari pandangan mereka terlihat segerombolan peserta maraton yang kebanyakan adalah ibu-ibu dan bapak-bapak paruh baya sudah mendekat ke arah garis finish. Tidak hanya beberapa orang, peserta lomba rupanya cukup banyak, yang kalau Lyra taksir mungkin lebih dari seratus orang. Lyra tak sadar sudah meneguk ludah, diam-diam dia bersemangat.

Lyra melirik ke arah Sakti. Pemuda itu sudah melepas semua kancing kemejanya, menampilkan kaos putih polos yang dipakainya. Langit masih mendung, kontras dengan ekspresi pemuda di sampingnya yang cerah. Lalu saat barisan paling depan peserta maraton sudah berjarak beberapa meter dari mereka, tiba-tiba Sakti memegang lengannya menariknya tanpa kata untuk ikut berlari.

Kaki pemuda itu yang panjang menjadikan Lyra mau tak mau turut berlari cepat. Mereka menembus para peserta lomba maraton yang berlari berlawanan arah. Berbeda dengan para peserta lomba yang berlari santai, Lyra dan Sakti justru terkesan seperti sedang mengikuti lomba lari jarak pendek. Mereka lari secepat yang mereka bisa. Kemeja biru muda milik Sakti sudah berkibar bebas, seiring dengan rambut mereka yang tertiup angin. Tangan pemuda itu masih menarik lengan Lyra, mengajak gadis itu terus berlari.

Lyra tertawa senang, tak bisa ditutupi euforia yang tumbuh dalam hatinya. Entah mengapa tapi saat berlari ia merasa hatinya puas tanpa sebab. Terlebih Sakti yang dengan lihai menghindari peserta maraton yang masih berjejer panjang ke belakang. Mereka seakan berlari cepat, melintasi rintangan-rintangan berupa peserta lomba lari maraton yang memenuhi jalan raya. Tetapi dalam rintangan itu Lyra menemukan euforia tersendiri. Dilihatnya Sakti yang juga tertawa riang, pemuda itu masih berlari tanpa mengurangi kecepatan. Sederhana dan bahagia.

***

Bulan Agustus selalu punya cara dalam memberi kejutan. Lyra membuka telapak tangannya menerima bagian dari rintik hujan yang deras. Padahal rasanya seminggu yang lalu matahari masih membakar kulit, lalu tiba-tiba saja musim hujan datang. Menjadikan pagi dan sore selalu diiringi dengan rintik hujan beberapa hari terakhir ini.

Jarum jam menunjuk pada pukul tiga sore, Lyra menoleh mendapati Sakti di sampingnya juga memandangi hujan. Mereka berdua saat ini tengah berada di sebuah warung bambu yang kecil, terlihat lama ditinggal oleh pemiliknya. Warung ini terletak persis di depan jalan raya, di sampingnya terdapat bangunan tempat cuci mobil yang juga ditelantarkan. Sementara itu di belakang warung ini adalah hamparan sawah yang luas, namun tidak ditanami. Rupanya musim kemarau kemarin menyebabkan petani batal tandur--menanam padi. 

Karena hujan beberapa hari kemarin lahan sawah itu terlihat seperti kolam dangkal yang sangat becek. Sementara itu di sebrang jalan raya tidak terlihat satu pun pemukiman warga. Yang ada hanya lahan yang ditanami beberapa pohon kayu putih kemudian semakin jauh ke belakangnya terdapat kebun pohon pinus yang menyambung ke hutan. Daerah di kecamatan tetangga ini benar-benar masih asri.

Lyra dan Sakti menghela napas, mereka memang kebetulan sampai sini setelah berlari dengan tidak jelas. Keduanya berteduh di warung kosong saat hujan mulai turun, namun sampai waktu lama berlalu tidak ada orang yang berminat untuk turut meneduh. Sepi, hanya ada bising dari rintik hujan yang jatuh di atap warung dan kendaraan yang nekad untuk tetap melaju meskipun hujan.

"Suka hujan?"

Lyra menoleh, lalu mengangguk untuk menjawabnya.

"Pasti kamu seneng banget sekarang."

"Hah?"

"Kan kamu dikelilingi dua hal yang kamu suka, hujan dan Sakti."

Lyra hanya mendecih lalu melanjutkan mengadahkan tangan, bermain hujan.

"Udah sore nih, aku nggak bisa pulang malam-malam." Sakti menoleh sambil mengamati ekspresi gadis di sampingnya.

Lyra tersenyum lebar, lalu tanpa kata menarik pemuda itu keluar dari warung, membiarkan badan mereka dapat dijangkau hujan dengan mudah. Hujan masih tetap deras, menyaingi suara tawa mereka.

Sampai kemudian Sakti berlari menyusuri tepi jalan raya, mendahului Lyra. "Ayo balapan! Yang kalah jadi pacar Pak Sumardi!" teriak pemuda itu riang membuat Lyra jadi mendesis dan menyusul berlari.

"Heh Sakti Abhimanyu, mana ada cowok yang ninggalin cewek!"

***

KATA SIAPA  GAADA COWO YANG NINGGALIN CEWE. WAHAI LYRA BUKALAH MATAMU.

DAHLAH BYE.

Cilacap, 3-6-2021

Istri Rm

Anomali (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang