"Kamu mau ikut aku ke rumah sakit?"
Lyra menoleh pada pemuda yang berjalan di sampingnya itu.
"Ngapain? Udah mau malam begini 'kan bisa besok lagi," ucap Lyra, pasalnya saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore.
"Hidup itu soal waktu Ra."
Lyra masih menatap Sakti dengan tatapan bingung. Pemuda itu baru ia kenal satu hari, tetapi entah mengapa rasanya seperti ia telah bertahun-tahun mengenalnya.
"Kayak mau pergi jauh aja," balas Lyra ringan, gadis itu menatap ujung sepatunya yang terus bergerak seiring dengan langkah kakinya.
"Pasti kamu hidup nggak pernah dengar pepatah kalau waktu adalah emas ya? Males banget besok-besok aku harus berurusan sama kamu lagi, makannya ayo sekarang aja!" Dan Sakti kembali menjadi Sakti, pemuda yang pedas tutur katanya.
Lyra mendecih. "Ya kalau nggak mau berurusan sama aku ngapain ngajak aku dari tadi, pakai alasan beli es dawet segala. Malah yang ada dating sambil ngasih makan kucing! Cih modus!" balas Lyra tak kalah pedas.
"Ayo Ra, satu kali ini lagi ke rumah sakit doang," bujuk pemuda itu akhirnya.
"Ngapain?"
"Nanti juga kamu tau."
Lyra mendecak kecil. "Aku belum bilang Ayah, nanti aku pulangnya gimana?"
"Aku antar, di rumah sakit ada sepeda yang biasa kupinjam. Rumahmu juga nggak begitu jauh kalau ditempuh dengan sepeda," ucap pemuda itu tenang, santai sekali tangannya kembali menggandeng Lyra untuk berbelok ke arah kiri, mengikuti jalan menuju rumah sakit.
Lyra yang sebenarnya penasaran akhirnya menurut saja. Tidak apalah sekali-sekali pulang malam. Hanya kali ini saja, sungguh.
***
Lyra agak terkejut ketika Sakti mengajaknya menyelusup lewat jalan belakang rumah sakit. Saat ini memang bukan jadwal besuk dan Lyra tahu itu. Tetapi yang membuatnya bingung adalah bagaimana bisa Sakti tahu jalan pintas?
Sakti juga tak banyak berkomentar, pemuda itu juga agak terkejut kenapa Lyra seperti sudah akrab dengan jalan pintas yang dilalui.
"Aku sering nih, lewat pagar sini. Ini khusus jalan masuk dokter dan perawat 'kan?" tanya Lyra retoris, kaki gadis itu masih mengikuti langkah Sakti yang masuk melewati pagar belakang rumah sakit.
Lalu seperti yang Lyra ingat betul, setelah melewati pagar belakang mereka akan memasuki bagian rumah sakit yaitu kamar mayat, kemudian lorong panjang yang akan tersambung dengan lorong lainnya membentuk sebuah pertigaan. Namun di pertigaan itu orang hanya akan berjalan lurus, tidak ada yang berminat untuk mampir ke kamar mayat kecuali jika ada kepentingan.
Lyra menoleh ke arah kamar mayat yang tertutup rapat, saat itu pernah satu kali Lyra dan Ayahnya mendapati pintu itu terbuka dengan sesosok raga tak bernyawa yang dimandikan di sana. Gadis itu hanya menghela napas panjang kemudian melanjutkan langkahnya di lorong panjang rumah sakit bersama Sakti yang tidak banyak bicara.
"Mau ke ruang apa?" tanya Lyra saat Sakti hanya membawanya berjalan di lorong rumah sakit tanpa banyak bicara.
"Aster."
"Bukannya itu ruang buat anak-anak?"
Sakti menghentikan langkahnya tepat di jembatan yang terbangun di dalam rumah sakit. Di rumah sakit ini memang terdapat sungai yang mengalir dan sengaja tidak ditutup. Airnya mengalir kecil dan jernih. Biasanya beberapa keluarga pasien turun ke sungai untuk mencuci pakaian meskipun pada akhirnya akan ditegur oleh petugas. Di jembatan dimana kakinya berpijak saat ini dihiasi oleh berbagai tanaman hias yang mungil dan cantik. Pegangan jembatan juga dicat warna-warni sama seperti bebatuan besar yang ada di sungainya yang juga dicat warna-warni.
"Kok kamu hafal sama ruangan rumah sakit?" tanya Sakti heran.
"Nggak juga," jawab Lyra santai, badannya ia tumpukan pada pegangan jembatan. Bersandar dengan santai sambil matanya melirik pada air sungai yang mengalir kecil. Angin sore juga turut berpartisipasi, menghembuskan rambut lurusnya pelan.
Detik selanjutnya yang Lyra saksikan adalah Sakti yang diam menatapnya. Pemuda itu seperti ingin bertanya namun canggung. Lyra paham betul gelagatnya. Sampai akhirnya pemuda itu memutuskan untuk tidak bertanya, ia hanya kembali melangkah dan mengajak Lyra untuk beranjak menuju ruang aster.
"Hidup ini banyak sekali ceritanya ya? Padahal kita baru tinggal di bumi selama empat belas tahun." Sakti berjalan pelan di lorong rumah sakit yang sejalur dengan sungai yang mengalir. "Hidup itu memang soal waktu," lanjut pemuda itu lagi.
Lyra tetap mensejajarkan langkahnya dengan pemuda itu. Berjalan pelan, sama seperti aliran air sungai yang mengalir lirih. Tatapannya terarah pada setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh pemuda di sampingnya itu. Kadang serius, kadang tajam, kadang juga lucu sampai mata sipit pemuda itu membentuk satu garis melengkung yang imut. Tidak dipedulikannya para wali pasien yang berkeliaran di lorong rumah sakit, tatapan gadis itu tetap fokus pada garis ekspresi pemuda di sampingnya.
"Rasanya kalau kita dapat masalah tuh pasti kayak, duh capek banget hidup ini, hidup tak mau tapi kalau ditawarin mati takut," lanjut pemuda itu masih sambil berjalan pelan. "Tapi ya akhirnya balik lagi, hidup itu soal waktu. Nanti juga saat-saat sulit ini bakal lewat, nanti juga di masa depan paling kita cuman menertawai diri sendiri yang dahulu sempat kesulitan. Mungkin kita nanti di masa depan bakal berujar pada kenangan-kenangan kelam yang ada 'hei diri sendiri! Sabar ya, di masa depan juga semuanya baik-baik aja, masalah-masalah yang kamu dapat itu juga bakal segera lewat, segera, sungguh, semuanya cuman soal waktu,'" lanjut pemuda itu panjang lebar.
Kemudian Lyra kembali ditarik pada sebuah kenyataan, pemuda itu masih tetap selalu membuatnya terkejut. Dalam hati gadis itu berulangkali meyakini, ya pemuda di sampingnya itu memang orang baik yang tersembunyi di balik tuturnya yang kadang pedas, tajam, dan melatih emosi. Dia orang baik. Lyra jadi tersenyum kecil, memperhatikan setiap ekspresi pemuda itu yang terus bicara panjang lebar.
"Semangat ya," ucap pemuda itu tiba-tiba, masih dengan nadanya yang pelan.
"Tiba-tiba banget?" tanya Lyra bingung.
"Semangat Lyra yang sekarang dan Lyra di masa depan, hidup ini cuman soal waktu."
Lalu untuk kali kedua, Lyra melihat pemuda itu tersenyum tulus padanya. Dengan mata yang berbinar terang, pemuda itu tersenyum manis sekali. Semanis buah kelengkeng yang pernah Lyra curi dari kebun tetangganya. Sungguh.
"Semangat juga, Sakti masa kini dan Sakti di masa depan."
Lalu keduanya sampai pada ujung sungai yang mengalir di rumah sakit ini. Bukan ujung sungai betulan memang, melainkan sebuah tembok besar yang dibangun sebagai bendungan dari arus sungai yang akan masuk. Tembok besar itu menyatu dengan tembok besar lainnya sebagai pagar rumah sakit, bedanya di bagian atas sungai yang mengalir tembok itu diberi celah di bagian bawahnya, sehingga terkesan seperti bendungan mini buatan rumah sakit. Bendungan kecil itu malah terkesan seperti air terjun mini buatan di bawah tembok pembatas rumah sakit dengan dunia luar. Di tembok besar itu arus sungai yang masuk ke dalam rumah sakit diputus begitu saja.
Tepat di samping tembok itu berdiri kokoh ruang aster. Ruang aster menjadi tempat favorit bagi setiap pengunjung maupun bagi para wali pasien untuk berkunjung. Pasalnya di dinding ruang aster ini digambari berbagai tokoh kartun. Dari Mickey Mouse, Spongebob, sampai karakter Upin dan Ipin juga ada di sini. Dalam tembok yang digunakan sebagai bendungan tadi juga sama, di dindingnya dilukis berbagai karakter Mickey Mouse menjadikan setiap orang yang berkunjung tahu, kalau ruang aster memang ruang khusus anak-anak.
Dan di sinilah mereka berdua berada, dua bocah yang masih memakai seragam SMP menyusup dan mengintip setiap jendela dari kamar yang ada di ruang aster. Lyra tidak pernah mengira tetapi Sakti memang tebal muka sekali, dengan polos pemuda itu menaruh dua tangannya di setiap jendela kamar ruang aster lalu mendekatkan mukanya untuk mengintip.
"Jadi kamu tau nggak sih siapa yang mau dikunjungi?" tanya Lyra yang mati-matian menahan emosi.
Sakti yang tadinya sibuk mengintip jendela jadi menoleh, menatap Lyra dengan raut datar. Lalu masih dengan wajah statisnya pemuda itu berucap, "He he."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anomali (END)
Rastgele[Juara 1 Writing Challenge with Etherial Publisher 2021] "She wanna die but start live her life because of him." Ini cerita tentang penerimaan. Tentang seorang perempuan putus asa bertemu dengan laki-laki penuh asa, Sakti Abhimanyu.