Kaki Seline melangkah santai di koridor. Kali ini dia berjalan sendirian karena Charisa dan Olive sudah sampai di kelas lebih dulu. Seline datang lebih siang dari biasanya karena dia tadi berangkat bareng Rega dengan harapan pulangnya bisa nebeng Agam.
Jika diingat-ingat ternyata Seline cukup menyusahkan Agam juga. Namun, mau bagaimana lagi, salahkan Agam yang membuatnya menjadi perempuan agresif penuh modus seperti ini.
Seline mengibaskan rambutnya dengan anggun. Kepercayaan dirinya yang sempat turun karena mendapat respons lempeng dari Agam beberapa minggu yang lalu sekarang naik lagi hingga level maksimal.
Mungkin ini juga karena jimat yang menggantung di tasnya, sebuah gantungan kunci berbentuk gitar pemberian Agam. Benda itu sudah seperti jimat kebahagiaan Seline karena sedari kemarin hati Seline berbunga-bunga hanya dengan melihat benda itu saja.
“Ngeselin!”
Teriakan seseorang membuat lamunan Seline langsung buyar. Kumpulan ingatan tentang kebersamaannya dengan Agam kemarin sore seketika hancur tak bersisa. Wajah yang tadi terhiasi senyuman kini menjadi datar. Dia tahu siapa yang memanggilnya dan menghancurkan bayangannya karena hanya satu orang yang memanggilnya seperti itu.
Seline mengambil nafas dalam-dalam sebelum membalikkan badan. Baru saja dia memutar tubuh, sesuatu tiba-tiba terlempar ke arahnya membuat Seline dengan sigap menangkapnya.
“Bawain tas gue! Dicky lagi ke toilet,” perintah Garrel yang saat ini sedang nemplok di punggung Bimo. Kedua cowok itu menghampiri Seline yang sedang berdiri beberapa langkah di depan mereka.
Sebenarnya bukan pertama kalinya Garrel bertingkah seperti ini. Jika jiwa bossy-nya kambuh, cowok itu memang tidak segan-segan meminta Bimo untuk menggendongnya, sedangkan tasnya akan dibawa oleh Dicky. Namun, seperti yang sudah cowok itu bilang beberapa menit yang lalu, dikarenakan Dicky sedang ke toilet jadi Seline yang harus membawakan tasnya. Tapi, untungnya tas cowok itu sangat ringan.
“Kenapa, sih, lo harus minta digendong kayak gitu?” Seline mengerutkan dahi tidak suka menatapnya. Apalagi saat melihat nafas Bimo yang sudah tersengal-sengal.
“Lagi males jalan,” balas Garrel tanpa merasa bersalah.
“Tapi, kasian Bimo.”
“Nggak apa-apa, Sel, demi nasi pecel dua bungkus,” sahut Bimo.
Seline seketika melongo mendengar balasan Bimo. Hanya demi nasi pecel dua bungkus dia rela menggendong Garrel seperti ini? Padahal keluarga Bimo termasuk keluarga menengah ke atas.
Namun, sepertinya gosip yang beredar itu benar. Orang tua Bimo membatasi porsi makan Bimo saat di rumah karena tidak ingin Bimo semakin gemuk. Uang jajan yang mereka kasih ke Bimo juga katanya tidak terlalu banyak agar Bimo tidak jajan banyak-banyak.
Gosip itu Seline dengar dari teman-teman sekelasnya yang mendengar langsung dari mulut Andra. Teman Garrel yang satu itu memang mulutnya ember.
“Lo lagi mikirin apaan, sih?” Tangan Garrel terulur mengacak rambut Seline.
Seline mengerjap pelan. Karena memikirkan gosip, rambutnya jadi harus rela menjadi tempat landasan tangan jahil Garrel.
“Nggak.”
Mereka bertiga berjalan beriringan menuju kelas. Sebenarnya hanya Seline dan Bimo saja, sih yang berjalan, sedangkan Garrel terbang karena kakinya tidak menapak ke lantai.
Kelakuan Garrel yang minta digendong Bimo itu menjadi pusat perhatian anak-anak yang sedang nongkrong di koridor. Bahkan ada yang sengaja keluar kelas untuk melihat kelakuan absurd Garrel itu.
Mereka tertawa melihat kelakuan anehnya. Namun, ada juga yang terpesona dengan ketampanan Garrel. Apalagi wajah cowok itu sudah bersih dari lebam.
Akhir-akhir ini Garrel memang sudah tidak pernah tawuran lagi. Seline sangat bersyukur untuk itu. Walaupun dia harus menjadi babu setidaknya Garrel juga sudah tidak pernah tawuran setelah menang taruhan dengannya.
“Eh, Rel...” panggil Seline saat teringat sesuatu.
Garrel yang sedang membelah-belah rambut Bimo seketika menoleh.
“Hmm?”
“Tugas cerpen waktu itu udah lo kumpulin?”
“Udah.”
“Udah lo baca?”
“Udah, tapi sampai paragraf satu aja.”
“Kenapa nggak lo baca semua?!” kesal Seline. Orang-orang yang berada di sekitarnya sampai menoleh karena suaranya yang keras.
“Waktu itu mau gue baca semua, tapi karena ada chat masuk dari Senja jadi nggak gue lanjutin bacanya.”
Seline melotot mendengar alasan Garrel. Dia sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya dengan cara paling kreatif dan terkesan tidak memaksa, Garrel malah tidak mau membacanya. Cowok itu malah lebih memilih membaca chat Senja yang singkat-singkat. Astaga! Entah dengan cara apa lagi Seline harus menjelaskannya pada Garrel. Seline sudah pusing.
Jika mengingat dirinya sekarang yang sudah dalam tahap berusaha move on, seharusnya Seline tidak perlu menjelaskan dan mengungkit masa lalu lagi karena itu tidak akan mengubah apapun. Dirinya dan Garrel sudah tidak bisa bersama lagi.
Namun, niatnya menjelaskan memang bukan karena itu. Dia hanya ingin membersihkan nama baiknya yang tercemar akibat kesalahpahaman satu tahun lalu.
Cewek tukang selingkuh itu bukan Seline banget. Namun, malangnya Seline harus mendapat predikat seperti itu hanya karena kesalahpahaman cowok blasteran buaya di sebelahnya ini. Tanpa sadar Seline mendengus kesal.
“Kenapa lo?” tanya Garrel yang mendengar dengusan Seline.
“Nggak kenapa-kenapa.”
Mata Seline berbinar saat melihat Agam berjalan ke arahnya. Cowok itu terlihat rapi dengan ujung kemeja yang dimasukkan ke dalam celana, khas murid rajin. Berbeda dengan tas Garrel yang saat ini dibawa Seline, tas Agam terlihat berat. Wajar saja karena dia anak IPA.
Selama ini anak IPA terkenal selalu membawa buku banyak. Bahkan ada yang sampai membawa buku paket di tangannya karena tasnya sudah tidak muat. Jika buku yang mereka bawa kelewat banyak mereka akan membawa dua tas, tas ransel dan tas jinjing yang isinya buku semua.
Tidak heran jika orang Indonesia mayoritas mungil-mungil karena sejak sekolah saja sudah harus menanggung beban berat di bahu mereka. Mungkin hal itu yang membuat pertumbuhan terhambat. Kesimpulan sotoy itulah yang muncul di otak Seline jika sedang meratapi nasib karena harus membawa buku banyak.
“Hai, Gammy!” sapa Seline dengan melambaikan tangan pada Agam. Kakinya sudah bersiap melangkah menghampiri Agam andai tidak ada yang menarik tasnya ke belakang.
“Aduh! Jangan ditarik, woy!” Seline menoleh. Matanya melotot menatap Garrel yang ternyata menjadi dalang dari penarikan tasnya.
“Jangan pergi. Tetep di samping gue,” pinta Garrel. Kali ini ucapannya tidak terdengar seperti perintah, tapi seperti sebuah permohonan.
Seline mengerjapkan mata pelan. Entah kenapa ucapan Garrel terdengar memiliki banyak makna bagi Seline. Membuat hati Seline lagi-lagi berdesir. Ternyata dia belum cukup kuat untuk menangkal segala hal yang berpotensi menggagalkan acara move on-nya.
Agam hanya tersenyum tipis membalas sapaan Seline.
Melihat Agam berlalu begitu saja membuat tubuh Seline lemas. Bahunya jatuh, wajahnya berubah memelas. Dia hanya bisa berdoa semoga Agam tidak berpikiran macam-macam tentangnya dan Garrel. Kini gagal sudah niat modusnya.
🎸🎸🎸
~ Maaf ya ga bisa update tiap hari dulu. Aku masih sibuk revisi naskah. Meskipun gitu jangan lupa tinggalin vote dan komentar 🤗❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejarah Mantan (COMPLETED)
Teen FictionMengaum di depan orang lain, tapi mengeong di depan pacarnya. Begitulah Garrel Zarvian Arkadiksa. Dia memperlakukan pacarnya, Jaseline Tamara, layaknya ratu. Dia memastikan Seline selalu bahagia dan mendapatkan apapun yang dia inginkan selama di sis...