Seline duduk dengan santai di samping Dicky, tepat di depan Garrel. Jarak beberapa langkah dari tempatnya duduk sekarang teman-temannya sedang mengawasinya dengan was-was.
Mendengar suara benturan kaleng dengan meja membuat Garrel seketika mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Dahinya berkerut melihat Seline sudah duduk manis di depannya. Tatapannya beralih pada kaleng minuman yang entah sejak kapan berada di atas meja.
“Kenapa lagi muka lo? Perasaan tiga hari yang lalu lebamnya nggak sebanyak itu,” tanya Seline tanpa basa-basi.
Garrel menatapnya tajam. Emosinya seketika memuncak hanya dengan melihat wajah Seline yang santai dan senyumnya yang selalu terlihat seperti sedang meremehkan Garrel.
“Bukan urusan lo!”
“Emang bukan urusan gue, tapi gue ikut malu kalau seumpama lebam lo itu karena kalah tawuran. Tapi, kalau dilihat dari banyaknya lebam di wajah lo, udah kelihatan, sih, hasil akhirnya kayak gimana. Lo pasti kalah kan?” Seline tersenyum mengejek dengan telunjuk bergerak-gerak menunjuk lebam yang berada di wajah Garrel.
Garrel segera menepis tangan Seline dan menahan tangan itu di atas meja agar tangan itu berhenti menunjuk-nunjuk wajahnya.
“Gue menang ataupun kalah, itu bukan urusan lo.” Suara Garrel terdengar dingin sampai membuat Dicky dan Bimo ikut merinding. Mereka hanya diam saja memperhatikan perkelahian antar mantan yang rutin dilaksanakan hampir setiap bertemu.
“Tentu jadi urusan gue karena kalau lo kalah, lo malu-maluin sekolah kita. Gue sebagai warga sekolah juga ikut malu.” Seline masih bersikap tenang walaupun di depannya percikan amarah sudah terlihat jelas di mata Garrel.
“Ya udah, pindah sekolah aja kalau gitu.”
Seline terkekeh pelan. “Kalau lo bilang kayak gini ke setiap orang yang nggak suka sama kelakuan lo, bisa-bisa sekolah milik keluarga lo ini nggak ada penghuninya. Mungkin penghuninya cuma lo sama pengikut-pengikut lo aja.”
“Saran aja, sih, kalau emang nggak mampu menang, nggak usah banyak gaya pakai tawuran-tawuran segala. Kalau kalah kan jadinya malah malu-maluin. Kalau diingat-ingat lo emang nggak pernah menang, sih, dari gengnya Fajar jadi cari lawan yang dibawah Fajar deh. Nggak usah main sama dia. Dia jago.”
Brak!
“Argh!” Suara gebrakan meja bersamaan dengan ringisan seseorang terdengar.
Seline mendesis kesakitan karena Garrel menggebrak meja tepat di atas tangannya. Alih-alih menggebrak meja, sepertinya apa yang dilakukan Garrel itu lebih cocok disebut menggeprek tangan Seline.
Tangan Seline rasanya panas dan berdenyut-denyut hingga punggung tangannya terlihat memerah. Namun, itu tidak membuat cowok di depannya merasa kasihan. Dia tetap menatap Seline tajam dan menusuk.
“Lo ngeremehin gue dan nganggap gue nggak bisa ngalahin Fajar?” Garrel tersenyum sinis. “Gue bakal buktiin ke lo kalau gue bisa ngalahin Fajar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejarah Mantan (COMPLETED)
Roman pour AdolescentsMengaum di depan orang lain, tapi mengeong di depan pacarnya. Begitulah Garrel Zarvian Arkadiksa. Dia memperlakukan pacarnya, Jaseline Tamara, layaknya ratu. Dia memastikan Seline selalu bahagia dan mendapatkan apapun yang dia inginkan selama di sis...