•BAGIAN KETUJUH BELAS•

4.4K 213 25
                                    

Selamat Membaca.

▪▪▪▪▪

Jantung Mentari sedari tadi berdetak sangat cepat seperti sedang diburu oleh sesuatu. Hingga pagi kembali datang menyambut, perihal kehamilan Mentari belum diketahui sedikit pun oleh bapaknya. Mereka, Mentari dan sang ibu sengaja tidak memberitahu karena memang mengingat kondisi yang tidak sehat. Mentari dan ibunya takut jika kondisi bapaknya itu akan tambah ngedrop. Sedangkan Abdul, dia sama halnya dengan bapak. Bocah itu sama sekali tidak tahu-menahu jika Mentari sedang berbadan dua saat ini. Mentari malu, malu karena dia tidak bisa memberikan contoh yang baik kepada adiknya, tapi Mentari mengambil satu hikmah dari peristiwa yang sedang menimpanya sekarang.

Dunia penuh dengan tipuan. Kita sebagai manusia harus pintar-pintar menjaga diri dan menjaga orang lain. Mentari tidak ingin jika adiknya merusak gadis di luaran sana suatu saat nanti sama halnya yang dilakukan Raga kepada dirinya. Mentari juga ingin jika Abdul mencintai seorang perempuan, adiknya itu bisa menjaga bukan malah merusak hanya demi kesenangan semata.

"Tar."

Mentari yang duduk terlamun seketika terkejut mendengar ibunya memanggil. Kepalanya mendongak menatap wajah sang ibu yang terlihat sembab. Mentari tahu ibunya sedari kemarin terus menangis tanpa henti dan dialah penyebab utama tangisan itu.

"I-iya Bu?"

"Ayo, kita cari laki-laki itu mumpung sekarang hari Sabtu. Kalian pasti libur."

Tubuh Mentari menegang seketika, ia mulai bangkit dari duduknya sambil sesekali mengusap air mata yang membekas di pipinya.

"A--apa? sekarang?"

"Bukan, tapi tahun depan nunggu anak kamu lahir duluan baru kita cari ayahnya," ucap ibunya yang membuat Mentari canggung.

Astaga kenapa ia jadi seperti orang linglung sekarang, atau mungkin efek stres. Semalaman dia tidak bisa tidur. Di dalam kepalanya terus berputar bayang-bayang masa depan yang suram. Bahkan kepalanya sekarang serasa ingin pecah saking pusingnya. Tubuhnya juga lumayan panas dari kemarin.

Mentari menganggukkan kepalanya lalu pergi ke kamar untuk mengambil cardigannya. Melihat sang ibu yang sudah mengenakan baju dan celana panjang serta jilbab membuatnya yakin jika ibunya sedang tidak main-main sekarang. Perihal Abdul, bocah itu Mentari suruh untuk menjaga bapak selama ia dan ibunya pergi. Bocah laki-laki tersebut sempat heran melihat ketegangan di antara kakak dan ibunya serta wajah sembab sehabis menangis yang terlihat di wajah keduanya. Namun Abdul lebih memilih diam dan berharap apa pun masalah yang dua perempuan itu hadapi segera selesai. Karena mau dilihat dari sudut pandang mana pun. Semua orang jelas tahu jika di antara mereka ada sebuah masalah.

Mentari dan ibunya sedang berada di halte menunggu kedatangan bus. Tempat pertama yang akan ia datangi adalah rumah Raga. Sebelumnya Mentari sudah mengirim pesan kepada Vano untuk menanyai keberadaan temannya itu, dan ternyata mereka tidak sedang berkumpul.

Mungkin saja yang ada dipikirannya, Raga akan menghabiskan waktu liburan bersama sang adik di rumah walaupun kedua orang tua Raga tidak akur. Ah, sampai saat ini Mentari bahkan masih memendam rasa bersalah. Apa mungkin memang benar dia yang menyebabkan kedua orang tua Raga bertengkar? tapi jika memang iya, kenapa?

"Kamu beneran tahu kan Tar dimana rumah orang itu?"

Mentari menoleh ke arah ibunya, umur ibunya memang sudah memasuki lima puluhan awal, karena memang ibunya dulu menikah diusia yang cukup tua. Gurat kelelahan hingga banyak pikiran terpampang jelas di wajahnya.

"Iya Bu, nanti kita ke sana."

Keadaan memudahkan mereka, tidak perlu menunggu lama bus yang dinanti-nanti akhirnya tiba.

Heran, wajah wanita disamping Mentari mengkerut ketika sampai di depan rumah yang bagi orang seperti mereka sangatlah bagus.

"Kamu bawa ibu kemana Tar? kamu kan Ibu suruh cari orang yang ngehamilin kamu, kenapa kamu bawa Ibu kesini?"

"E-em, itu rumahnya Bu."

Matanya langsung membelalak kaget akan ucapan si anak. Rumah sebagus ini? ah, sejak kapan anaknya ini bisa bergaul dengan orang kaya.

"Orang kaya Tar? kalian pacaran atau apa?"

Wajah wanita itu tampak tidak tenang. Mentari paham apa yang ditakutkan ibunya. Bayangkan saja, keluarga Raga orang yang berada jauh dengan keluarganya yang bisa dibilang kekurangan. Pakaian mereka saat ini saja lusuh. Warna mulai dari baju hingga celana sedikit memudar.

"Tar?"

Lamunan Mentari terpecahkan oleh panggilan dari ibunya.

"E--eh, iya Bu kenapa tadi?"

"Orang itu, orang kaya Tar? kenapa bisa? kalian pacaran?"

Mentari menundukkan kepalanya lalu menggeleng. Hal itu sudah di anggap sebagai jawaban. Tak ingin terus-menerus penasaran, wanita itu lantas menarik tangan Mentari dan membawanya ke rumah Raga. Sempat sedikit cek-cok dengan si satpam namun akhirnya satpam itu menyerah dan mengizinkan mereka untuk masuk.

Lagi dan lagi ibu Mentari dibuat kaget dengan wajah orang yang telah menghamili anaknya. Jujur bisa dibilang orang itu tampan. Kulitnya bahkan lebih putih daripada anaknya.

"Kamu yang menghamili anak saya?" tanya langsung Ibu Mentari ketika Raga baru saja duduk di hadapan mereka.

Sedangkan Mentari sedari tadi tidak berani menatap pria tersebut. Tadi sekilas ia melirik ke arah Raga namun tatapan tajam justru yang ia dapatkan.

"Maksudnya gimana ya bu?"

"Sebelumnya maaf, Ibu mau nanya nama kamu siapa?"

"Raga."

Ibu Mentari mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Tolong jujur ya Raga, apa benar kamu yang menghamili Mentari?"

Raga terdiam, kentara sekali perpaduan kaget dan marah menjadi satu di wajahnya.

"Gimana tadi?"

"Ibu rasa tidak perlu mengulang, kamu pasti dengar dengan jelas tadi. Ibu mohon kalau kamu memang benar orang yang sudah ngehamilin Mentari, kamu tanggung jawab ya sama anak Ibu. Mentari emang orang miskin tapi harga diri kami juga penting. Tolong ya Raga, Ibu bahkan sampai memohon-mohon sama kamu."

"Bu--" ucap Mentari menahan tangan ibunya. Sungguh anak mana yang tidak menangis melihat ibunya sendiri memohon-mohon hanya demi menutupi aib anaknya. Mentari sangat merasa menjadi anak yang durhaka.

"Anak Ibu sendiri yang mau, saya nggak pernah memperkosa dia Bu, saya akui saya dan anak ibu memang pernah melakukan hal 'itu', tapi kita melakukan suka sama suka. Mungkin aja anak ibu diperkosa sama orang lain."

"Raga!" teriak Mentari ketika mendengar pernyataan pria tersebut. Bisa-bisanya Raga berpikir jika dia diperkosa orang lain, dekat dengan laki-laki pun ia tidak pernah.

"Tari, jaga sikap, kita lagi dirumah orang jangan teriak-teriak. Nak, ada orang tuamu?"

Mentari heran dengan kelakuan ibunya. Kenapa ibunya masih bisa sesabar itu padahal anaknya sudah dijelekkan secara tidak langsung.

Raga menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Ibu Mentari. Segera ia mengeluarkan handphone dari saku celananya dan menelfon untuk pulang.

"Kita tunggu aja Bu. Bentar lagi Mama sama Papa saya pulang."

"Tapi kamu tetap harus tanggung jawab Ga!"

"Gue bakal tanggung jawab Tar, kalau memang anak itu terbukti bener-bener anak gue bukan orang lain."




















▪▪▪▪▪

Jadi jangan bosen-bosen nungguin ya. Jangan lupa Share Cerita ini ke siapa pun yang kalian kenal. Makasih...

DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang