•BAGIAN KESEMBILAN BELAS•

4.4K 221 47
                                    

Vote, Baca, Comment, rekomend ke orang-orang. Sama-sama untung ya kan. Kalian bisa baca, aku dapet pembaca. Jangan lupa follow ya.


▪▪▪▪▪▪


Seminggu sudah Mentari lewati sejak kejadian di rumah Raga tempo lalu. Sesak sebenarnya jika dibayangkan kembali pernyataan pria itu terhadapnya. Salahnya juga kenapa terlalu bodoh hanya karena laki-laki. Tubuhnya semakin mengedrop kala kehamilannya mulai tercium para siswa-siswi seangkatannya. Sejak kemarin Mentari tidak berani membuka handphonennya. Di grup kelasnya kemarin salah satu temannya mengirim screenshot -an percakapan antara temannya itu dengan siswa lain. Isi percakapan itulah yang membuatnya panas dingin. Bagaimana tidak jika isi percakapan tersebut menanyakan tentang rumor beredarnya siswi seangkatan mereka yang dikabarkan sedang hamil.

Tangannya semakin bergemetar ketika melihat rentetan pesan masuk dari grup kelasnya. Ia tidak berani membuka isi pesan grup tersebut, karena Mentari yakin jika topik yang dibicarakan tidak jauh seputaran tadi.

Matanya berkaca-kaca ketika sekilas melihat perkataan teman kelasnya yang mengatai jika siswi hamil diluar nikah itu murahan dan simpanan om-om, dan untuk hari ini Mentari memberanikan diri menyentuh handphone. Sejak kemarin ia selalu membiarkan telefon masuk dari Sari. Ia sengaja menghindari siapapun seharian kemarin. Selain tubuhnya yang ngedrop, ia juga tidak mau rasa bersalahnya kepada ibu dan bapak kembali terpikirkan hingga membuatnya tambah ngedrop.

Puluhan bahkan ratusan pesan masuk dari grup kelasnya. Sisanya hanya ada pesan dari Sari dan Raga. Apa, Raga?! matanya terbelalak kaget ketika mendapat pesan masuk dari pria itu. Namun lagi-lagi ekspetasinya dipatahkan oleh realita. Pria yang ia sayang setelah bapak dan adiknya ini berkali-kali kembali berhasil menyakitinya.

Apa maksud Raga dengan menyuruhnya diam tentang isu yang sedang beredar kuat sejak kemarin itu. Tanpa Raga suruh pun ia jelas-jelas akan bungkam. Mentari bukan termasuk siswi yang banyak tingkah dan omong. Ia juga bukan siswi yang namanya memenuhi obrolan chat di grup kelas. Ya, seharusnya Raga tahu itu. Bisa dibilang ia adalah siswi yang pendiam, Mentari rasa sampai detik ini pun tidak ada yang mencurigainya karena memang ia tidak pernah dekat dengan lelaki manapun.

Jarinya beralih pada obrolan dengan Sari. Ah, Mentari sudah menduga sedari awal jika Sari akan heboh dengan berita ini. Lihat saja berapa banyak pesan yang temannya itu kirimkan padanya. Masih dengan topik yang sama dengan sebelumnya.

"Aku nggak tahu Sariii."

Sekiranya kalimat tersebut cukup membungkam rasa penasaran temannya itu. Batinnya benar-benar merasa bersalah karena sudah membohongi sahabat satu-satunya tersebut.

Astaga Mentari saat ini benar-benar bingung. Andaikan ia anak orang kaya seperti di cerita-cerita yang pernah ia baca atau di film-film yang pernah ia tonton, pasti dirinya akan pergi ke luar negeri untuk menghindari masalah yang sedang di timpanya saat ini. Tapi apalah dayanya. Jangankan luar negeri, luar kota pun Mentari tidak sanggup. Uang dapat dari mana buat pergi ke luar negeri, untuk makan saja dirinya sangat susah.

Jarinya mengetuk story WhatsAPP yang bertuliskan nama Raga di sana. Mentari heran, bisa-bisanya Raga mengabadikan kegiatannya sedangkan dirinya di sini tidak bisa memejamkan mata karena memikirkan masalah saat ini. Mentari sedikit bernafas lega karena ia sudah lulus, hanya tinggal beberapa hal yang perlu diselesaikan. Setidaknya lebih aman batinnya.

"Mentari."

Wajahnya mendongak menatap ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka menampilkan wajah ibunya.

"Iya Bu?"

"Makan dulu, dari tadi malem kan kamu belum makan. Nanti malah tambah sakit."

"Ah,iya Bu, nanti Mentari makan," jawabnya yang sebenarnya tidak merasa lapar. Jangankan rasa lapar, mood saja tidak ada sedikit pun.

Tidak ingin mengecewakan sang ibu, akhirnya Mentari berjalan keluar kamar. Dilihatnya sang ibu yang tengah menggoreng gorengan untuk dijualnya nanti sore. Ya, demi menambah pemasukan, ibu Mentari memutuskan untuk berjualan pecel sekalian gorengan tiap sore. Kadang jualan keliling, kadang juga hanya di rumah. Maklum saja kakinya sudah tidak terlalu kuat untuk keliling kesana-kamari apalagi sepeda Mentari rusak.

Lagi dan lagi hal itu membuat Mentari semakin sedih. Ia masih kok membantu cuci-cuci piring di warung walaupun ibunya melarang. Namun kembali lagi, karena rasa bersalahanya, Mentari dengan bersikeras ingin tetap bekerja yang akhirnya dituruti oleh ibunya.

Mentari membuka tudung saji. Di sana hanya ada nasi putih dan gorengan tahu tempe, serta bakwan yang sengaja disisakan oleh ibunya untuk makan hari ini. Makanan seperti ini sudah sangat bersyukur untuk Mentari dan keluarga. Ia bahkan pernah merasakan hal yang lebih parah daripada ini. Dahulu sewaktu bapaknya baru saja dipecat dari pekerjaan, Abdul yang masih sangat kecil perlu susu dan segala macam, ia dan keluarga pernah hanya makan dengan lauk sambal bawang. Mentok-mentoknya ditambah dengan kerupuk yang dibeli di warung. Mungkin jika orang lain dengar sangat lebay atau mendramatisir, tapi sungguh hal seperti itu benar-benar pernah dirasakan dulu.

"Tar?"

"Iya Bu?" jawab Mentari sambil menggigit sepotong gorengan tempe.

"Si Raga-Raga itu beneran nggak mau buat tanggung jawab?"

Sial sekali, kenapa ibunya harus bertanya saat ia sedang makan. Merusak rasa dan kenikmatan saja. Mentari hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Nggak tahu lah Bu, Mentari juga bingung."

Mentari melihat ibunya yang menghela nafas. Pasti ibunya itu menanggung beban pikiran yang besar, tapi ibunya tidak pernah sedikit pun berusaha membagi dengan dirinya.

"Tar, kamu harus bujuk Raga buat nikahi kamu. Apa kata orang-orang kalau tahu kamu hamil sedangkan kamu aja baru lulus sekolah. Bagaimanapun itu juga anak Raga kan."

Mentari memijat keningnya, astaga ibunya ini. Bagaimana caranya agar Raga mau bertanggungjawab. Dihubungi saja susah kalau bukan maunya. Semenjak kejadian dirumah pria itu, ia juga tidak pernah bertemu dengan Raga. Apa mungkin ia harus mencari keberadaan Raga? karena tidak mungkin jika ia harus kembali mendatangi rumah itu lagi. Pokoknya tidak mau dan tidak akan pernah. Ia masih mempunyai dendam dengan rumah itu.

"Terus Tari harus gimana Bu? apa iya Tari harus mohon-mohon sama dia? kita aja pernah ditolak, apa Ibu udah mulai lupa? atau Tari harus sujud-sujud di kakinya biar dia mau nikahin Tari," ucapnya dengan lesu.

"Bukan gitu Tari maksud ibu, coba kamu ajak ketemuan berdua. Mungkin waktu itu Raga masih emosi, mungkin aja kalau kalian bicarakan baik-baik berdua dia bisa luluh."

"Aku nggak percaya Bu, kalau emang dia punya rasa tanggung jawab dan bersalah pasti dia bakal ke sini sama orang tuanya, apa gara-gara kita miskin ya Bu, makanya mereka nolak kita."

"Huss, nggak boleh gitu. Kamu coba dulu saran dari Ibu ya Tar, kalau emang nggak berhasil nanti Ibu langsung yang urus. Ibu masih kuat kalau cuman disuruh marah-marah aja, ya waulaupun udah tua begini," ucap ibunya di akhiri dengan tertawa ringan.

Mentari ikut tersenyum mendengar perkataan ibunya. Ia yakin sebenarnya ibunya itu juga sama halnya dengan dirinya yang memiliki perasaan takut akan jawaban yang akan sama di utarakan oleh Raga, namun ibunya itu hanya mencoba menghibur ditengah ketidakpastian sekarang.

"Apa aku harus tanya Vano atau Bagas ya? Ah, Vano aja deh. Bagas nakut-nakutin."

DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang