•BAGIAN KETIGA BELAS•

4.3K 215 45
                                    


Selamat Membaca.

▪▪▪▪▪▪


Deg-degan, kata pertama yang terlintas di benak Mentari saat memasuki ruang ujian. Hari ini ujian pertama untuk menentukan kelulusannya nanti. Bakal banyak hari yang harus dirinya lalui agar cepat lulus dan tidak bertemu dengan pria brengsek itu. Sedari tadi malam hatinya sangat was-was takut tidak mendapatkan hasil yang maksimal. Setelah kejadian sore itu dimana ia di bawa kembali ke apartemen Raga, Mentari mencoba melupakan hal tersebut. Mentari ingin fokus terlebih dahulu terhadap ujian yang akan dilaksanakan.

Ya, Mentari harap sekiranya jika ia tak mampu mendapatkan nilai yang terbaik di sekolah setidaknya dirinya harap nilai yang ia dapat tidak terlalu buruk. Semua usaha sudah Mentari lakukan. Mulai dari begadang untuk mempelajari materi ujian, setelah sholat subuh dirinya langsung belajar, sampai bahkan dirinya berangkat sekolah pagi-pagi sekali untuk melanjutkan materi yang dipelajarinya. Tidak lupa juga dengan doa dan restu kedua orang tuanya.

Mentari menghela nafas, andai dirinya ini bisa sedikit lebih mengendalikan ego dan nafsunya. Jujur saja walaupun ia berkata akan melupakan kejadian yang ia alami dengan Raga dan akan memfokuskan diri untuk menghadapi ujian itu semua hanyalah omong kosong semata. Mentari sangat menyesal, ia telah memberikan harta penting bagi setiap perempuan kepada orang yang bukan suaminya sendiri. Gadis itu memukul pelan kepalanya. Sial sudah nasibnya, di luar sana Bapak yang sakit terpaksa tidak berobat hanya karena keterbatasan ekonomi sedangkan ibunya sedang bekerja keras mengumpulkan uang untuk menebus ijazahnya nanti, tapi lihat kelakuan putri satu-satunya ini malah diam-diam mengecewakan mereka. Hanya satu harapan Mentari saat ini semoga kelakuan dirinya dan Raga waktu itu tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Yah, Mentari harap, moga saja tuhan mengabulkan.

Setelah selesai dengan mata ujian hari ini, Mentari tidak langsung pulang ke rumahnya. Niatnya ia akan pergi ke warung makan yang jaraknya lumayan dari sekolah untuk membantu sekedar cuci-cuci piring dan gelas. Sebelumnya Mentari hanya bertanya-tanya tentang lowongan pekerjaan namun siapa sangka jika pemilik warung itu malah memberinya pekerjaan. Walaupun hanya sekedar cuci-cuci piring tapi bagi Mentari asalkan mendapatkan upah dan pekerjaan itu halah kenapa tidak? Mentari tertawa miris, bisa-bisanya ia memikirkan halal haram sedangkan ia sudah melakukan hal yang lebih buruk daripada mencuri.

"Tar!"

Panggilan dari seseorang membuat Mentari membalikkan badannya.

"Eh, Sari, ada apa?" Terlihat Sari yang berlari ke arah di mana Mentari berdiri saat ini.

"Gimana tadi ujiannya?"

"Ah, syukurnya ujian tadi menurutku sih lumayan, kalo kamu gimana Sar?"

"Lumayan? yang bener aja kamu Tar! Soal sesulit itu dibilang lumayan? gila sih, parah," ucap Sari melebih-lebihkan ekspresinya. Mentari hanya menanggapi omongan sahabatnya ini dengan senyuman saja, tapi memang benar kok soal ujiannya tadi itu gampang. Ingat itu menurutnya entah kalau orang lain. Kedua siswi itu berjalan beriringan ke arah gerbang sambil sesekali membicarakan hal yang random.

"Gimana hubungan kamu sama Bagas?" tanya Mentari yang seketika membuat wajah sahabatnya itu lesu. Mentari mengernyitkan dahinya.

"Kenapa? ada yang salah sama pertanyaan aku?"

"Salah sih enggak, cuman ya gitulah," ucapnya sambil menghentak-hentakkan kakinya. Ah, Mentari rasa sahabat satu-satunya ini sedang patah hati.

"Oh."

"Kok responnya cuman 'oh' doang sih Tar, nggak seru ih!"

Mentari terkekeh pelan melihat wajah cemberut Sari. Menurutnya hal ini sangat langka. Sari jarang menunjukkan wajah cemberut seperti saat ini. Biasanya hanya ketika Sari marah saat mengetahui kalau dirinya sedang di olok-olok.

DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang