•BAGIAN KEDELAPAN BELAS•

4.2K 232 42
                                    


Selamat Membaca.

▪▪▪▪▪

"Lo urus masalah ini semua dan jangan sampai orang lain tahu," Ucap seorang pemuda sambil melempar segenggam uang berwarna merah kepada perempuan di hadapannya.

"Kamu Jahat!"

"ya gue emang jahat," ucap laki-laki tersebut lalu meninggalkan perempuan tadi yang masih terisak.

Sekelebat bayangan percakapannya dengan Raga waktu itu terlintas dalam pikiran Mentari. Gadis itu jelas ingat dengan perkataan jahat yang Raga ucapkan dulu padanya. Bahkan dengan kurang ajarnya laki-laki tersebut melemparkan uang ke arah dirinya. Jujur saja kejadian itu menyakitkan, bahkan sangat menyakitkan. Ia merasa hina, dia memang terlahir dari keluarga yang pas-pasan di antara ribuan keluarga kelas atas tapi apa memang pantas memberlakukannya dengan cara melempar uang seperti itu?

Tangannya memilin satu sama lain sedangkan sang ibu di sampingnya berusaha bertanya-tanya kepada Raga. Mentari heran sekaligus geram. Ibunya masih saja berbicara dengan nada halus sedangkan Raga menjawab pertanyaan ibunya dengan singkat-singkat bahkan tadi secara tidak langsung Raga sudah menolak untuk bertanggungjawab, dan itu sangat tidak sopan menurut Mentari. Perlakuan Raga yang seperti itu malah membuatnya terlihat seperti merendahkan ia dan ibunya di sini. Mentari tahu ibunya mungkin merasa sedikit sungkan karena mengetahui Raga terlahir dari keluarga yang berada, berbeda dari ekspetasi ibunya jika yang menghamili anaknya juga sama-sama berasal dari keluarga yang pas-pasan seperti mereka.

"Kapan orang tuamu pulang?"

"Sebentar lagi," jawabnya sembari melirik sekilas ke arah ibu Mentari yang sedang membenarkan jilbab instannya.

"Ibu harap mereka cep--"

"Maaf, kami baru sampai. Raga kamu kenapa nyuruh Mama sama Papa pulang mendadak?"

Ucapan ibu Mentari terpotong oleh kedatangan seseorang. Merasa mengenali suaranya, akhirnya Mentari memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya. Ia mengikuti pergerakan ibunya yang mulai beranjak dari tempat duduk dan menyalami kedua orang tua Raga.

"Loh? kamu? kamu ini yang dulu sempet jaga Kinan kan?"

"I-iya tante," ucap Mentari meringis pelan.

Setelah kembali duduk, ibunya melayangkan tatapan bertanya kepada anaknya tersebut. Bagaimana tidak jika orang tua laki-laki yang di duga telah menghamili anaknya ini sudah mengenal Mentari. Kepala wanita itu serasa tambah pening tidak mengerti tentang perkataan menjaga Kinan. Siapa lagi Kinan itu?

Tidak lama seorang asisten rumah tangga datang membawakan tambahan minum untuk kedua orang tua Raga.

"Jadi, em-maaf, sebelumnya kalau kedatangan saya dan anak saya Mentari kesini mengganggu pekerjaan bapak dan ibu."

"Ah, tidak kok, tidak mengganggu sama sekali. Oh ya, memang ada apa ya?"

Mentari menatap ibunya sekilas lalu mengarahkan pandangannya ke arah Raga. Pria itu sama halnya menatap ke arah Mentari namun terlihat lebih tenang. Berbeda dengan dirinya yang sangat gugup sampai perutnya terasa mulas.

"Kedatangan kami kemari ingin memberitahukan kepada bapak dan ibu--em, jika anak saya sedang hamil."

"A-apa? Maaf, terus hubungannya dengan keluarga saya apa ya?" tanya dengan tegas laki-laki yang tidak lain adalah Papa Raga.

"Anak anda telah menghamili putri saya."

"Apa? anak saya? maaf Bu, jangan asal menuduh anak saya tanpa bukti ya!" ucap Mama Raga dengan nada marah.

Mentari mulai meneteskan air matanya. Sungguh ia tidak tega melihat ibunya di marahi karena ulahnya. Salahnya juga tidak mempunyai bukti apa-apa jika memang Raga yang telah menghamili dirinya.

"Mungkin anak anda yang telah memperkosa putri saya."

Mentari menggelengkan kepalanya pelan mendengar perkataan ibunya. Hatinya semakin teriris ketika membayangkan bahwa ibunya tahu hal yang sebenarnya. Ia melakukan tanpa paksaan seperti yang ibunya ucapkan tadi. Sedangkan Raga diam-diam tersenyum mendengar ucapan wanita itu. Diperkosa katanya? padahal jelas-jelas mereka melakukan suka sama suka.

"Raga! apa bener yang di bilang ibunya Mentari tadi? kamu memperkosa dia?"

"Apa-apaan sih Pa! Raga nggak pernah merkosa dia. Coba tanya aja sendiri sama orangnya. Raga tadi udah bilang sebelum mama sama papa dateng kalau Raga emang nggak pernah merkosa dia."

"Tar?"

"Bu--"

Mentari merengek seperti anak kecil. Rasanya ia ingin pergi saja dari rumah ini. Ia benar-benar tidak bisa untuk mengakui hal seperti itu kepada ibunya. Salahnya sendiri terlalu polos sampai mudah dimanfaatkan.

"Tar, kalau kamu memang benar ya sudah akui saja nggak pa-pa."

Mentari menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan air mata yang semakin banyak menetes. Jantungnya sedari tadi berdisko melebihi saat ia menunggu hasil ujian. Kali ini rasanya bukan dua kali lebih cepat namun berkali-kali lebih cepat hingga membuat Mentari ingin pura-pura pingsan saja.

"Cepet Tar jawab yang jujur."

Suara Raga terdengar di telinga Mentari membuat perempuan itu tambah terisak. Mentari akui Raga memang cerdik. Ia tahu kelemahan Mentari untuk melawannya.

Mentari menggelengkan kepalanya membuat orang-orang disekitarnya mengernyitkan dahi terutama sang ibu.

"Mentari nggak diperkosa Bu,bener yang dibilang Raga, ki-kita lakuin suka sama suka."

Tubuh wanita yang melahirkan Mentari seketika melemas. Dirinya masih tidak percaya jika putri satu-satunya, anak yang ia bangga-banggakan selama ini telah melakukan hal yang tidak pernah ia duga seumur hidup. Dosa apa yang telah ia lakukan dahulu, mengapa kehidupan anaknya menjadi seperti ini. Mentari yang melihat ibunya tidak berdaya semakin mengeraskan tangisnya.

Sebenarnya dibalik diamnya Raga sedari tadi, jauh pada lubuk hatinya ia juga merasakan sedikit rasa kasihan kepada anak dan ibu tersebut. Ia jujur merasa bersalah telah merusak Mentari hanya karena nafsu yang tidak bisa ia tahan, tapi ia juga tidak bisa bertanggungjawab. Dia bahkan baru lulus sekolah. Pekerjaan saja ia tidak punya, mau diberi makan apa istri dan anaknya nanti.

Jika kedua orang tuanya tahu kalau ia memang ayah anak itu pasti dirinya bakal di depak dari rumah ini. Apartemen mungkin akan papanya tarik juga. Lalu ia harus tinggal dimana? di rumah perempuan itu? rumah yang bahkan kamar mandi saja terpisah dari rumahnya. Rumah yang belum berkeramik? rumah yang dekat sawah itu? ah, pasti banyak sekali nyamuk saat malam hari. Membayangkannya saja Raga sudah bergidik ngeri terlebih dahulu.

"Sama saya aja dia begitu, apalagi sama cowok lain. Di rayu dikit sama cowok ganteng pasti langsung nyantol."

"Ma-maksud kamu apa Ga?" tanya Mentari dengan wajah sembabnya.

"Itu bukan anak gue."

"Kurang ajar kamu! a-ayo kita pulang Bu," ajak Mentari sambil menuntun ibunya keluar dari rumah pria tersebut.

Jika memang sudah ditolak buat apa memohon-mohon lagi. Percuma rasanya merendahkan diri terus jika orangnya tidak pernah melihat ke bawah.






















DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang