•BAGIAN KEDUA PULUH DUA•

4K 234 37
                                    

▪▪▪▪▪


Motor yang dikendarai Raga berhenti agak jauh dari rumah Mentari. Tanpa menitip salam apa pun pria tersebut langsung putar arah meninggalkan Mentari yang masih menatap dengan pandangan kosong ke arah motor Raga yang perlahan menghilang.

"Inget apa yang gue omongin tadi, besok lo nggak boleh ngomong macem-macem."

Hanya itu, ucapan terakhir Raga sebelum melajukan motornya. Sejenak Mentari mendongakkan kepalanya agar air mata tidak menetes. Jujur saja ia ingin seperti perempuan-perempuan lain yang bisa merasakan kasih sayang pria dalam artian sebagai pasangan kekasih, akan tetapi mungkin saja dirinya memang tidak ditakdirkan untuk merasakan hal tersebut. Sebenarnya Mentari juga sadar diri, dan hal itu sudah ia tekankan sejak awal. Ya tapi mau bagaimana lagi rasa sakit bisa hadir tanpa diminta.

"Eh Mentari, dianter cowoknya kok nggak sampai rumah sih?" Tiba-tiba celetukan terdengar ketika dirinya melewati warung tidak jauh dari Raga menurunkannya tadi. Tidak mau menjawab, Mentari hanya tersenyum lalu berjalan kembali tanpa menggubris omongan ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan warung tersebut.

"Beruntung juga Tari dapet anak orang kaya."

"Kok bisa bilang kaya?"

"Lah tadi nggak lihat kamu motornya aja kayak gitu, sini mana ada orang yang punya."

"Aduh paling duit emak sama bapaknya."

Sekelebat ucapan ibu-ibu tadi masih terdengar di telinganya. Tangannya mengepal menahan emosi yang tidak bisa ia luapkan. Mentari, ia juga sama dengan manusia lain yang bisa marah namun ia tidak berani mengungkapkan dan hanya mampu ia pendam sendiri. Dirinya emosi mendengar perkataan ibu-ibu tadi, memangnya ia tidak pantas bersanding dengan orang seperti Raga? kenapa harus Mentari yang diuntungkan. Mentari menggelengkan kepalanya, kenapa ia jadi seperti ini. Mudah terbawa emosi padahal dulu-dulu juga tidak seperti ini, malah biasa saja.

'Istigfar Mentari.'

Matahari sudah berganti dengan bulan, bahkan jam yang tertempel pada dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Namun raga perempuan itu belum terlelap memikirkan esok hari. Bagaimana hatinya? Bagaimana bisa ia menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Mentari tidak ingin munafik dengan berkata mampu menghidupi anaknya tanpa bantuan dari Raga. Itu jelas tidak mungkin. Biaya dapat dari mana, nyatanya mencari uang tidak semudah apa yang dipikirkan. Walaupun kata Raga ingin membantu membiayai, ya katanya.

Tubuhnya ia bolak-balik ke kanan dan ke kiri supaya menemukan posisi yang nyaman, akan tetapi sama sekali tidak bisa juga terlelap. Matanya pun ia paksakan untuk tidur juga tidak bisa.

Suara dentingan terdengar dari handphone yang Mentari cas, langsung saja ia cabut kabel charger dari handphonenya. Dahinya mengernyit ketika tahu nama Raga pada panggilan masuk.

"H-hallo?"

"Hm." 

"Ada apa telfon malem-malem?" tanyanya lirih.

"Nggak tahu, nggak bisa tidur."  Mentari lagi-lagi dibuat bingung. Apa maksud pria ini? Kalau tidak bisa tidur kenapa harus telfon dirinya? Untung saja ia juga sedang tidak bisa tidur. Mentari memilih tidak menjawab, lebih tepatnya ia bingung harus berbicara apa.

"Hallo?  Lo masih hidup kan?" 

"Iyalah, aneh-aneh aja pertanyaan kamu Ga." Ucap Mentari yang tanpa sadar meninggikan suaranya.

"Ck, udah berani sama gue lo. Oh ya, gue mau ngingetin sekali lagi, inget besok kita ketemuan. Nggak ada ya acara telat gara-gara kesiangan. Sana tidur, gue matiin telfonnya."

DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang