•BAGIAN KEEMPAT•

4.9K 251 5
                                    

Vote dan koment ya!

Bantu bangun cerita ini supaya menjadi cerita yang besar! Jangan ragu buat Vote dan komen.

Share ke temen-temen kalian, suruh baca juga hehe.

Yang belum mampir ke ceritaku sebelah, ayo mampir. Ramaikan juga.

Selamat membaca.

▪▪▪▪▪


"Bawa ke kamar adek, Bi!"

Setelah mengatakan hal itu, Raga berjalan meninggalkanku bersama seorang wanita paruh baya yang disebutnya 'Bibi'.

Langkahnya angkuh sekali mentang-mentang anak orang kaya. Aku mengalihkan pandanganku ke arah wanita paruh baya di sampingku.

"Mari Non ikut saya."

"Astaga Bu, nggak usah panggil saya Non, panggil saya Tari aja." Sedangkan wanita itu hanya menganggukkan kepalanya pelan dan menuntunku menuju kamar seseorang.

Mewah, satu kata yang terpatri dalam benakku ketika pintu kamar itu dibuka. Benar-benar mewah padahal ini hanya kamar bayi yang bahkan usianya baru genap satu tahun. Seumur-umur aku baru melihat kamar bayi yang bagus seperti ini.

Memang, aku kelihatan norak banget tapi ya dasarnya aku nggak pernah lihat yang seperti ini. Baju waktu aku bayi pun kata ibu hanya bekas dari saudaraku begitu juga dengan Abdul. Tapi mau bagaimana pun aku tetap mensyukuri apa yang telah tuhan berikan. Ditelisik lebih bawah, masih banyak orang yang benar-benar lebih susah dari pada aku.

Aku mengikuti langkah Bibi tadi memasuki kamar bercat kuning dan putih itu. Astaga bahkan di kamar ini banyak sekali mainan seperti boneka dan rumah-rumahan barbie yang besar. Ah, aku jadi ingat dahulu waktu kecil aku sangat ingin itu tapi karena keterbatasan uang akhirnya aku hanya menggunakan bolpoin atau pensil sebagai barbie dan buku yang dijadikan rumahnya.

Aku tersenyum sendiri mengingat aku zaman dahulu. Bisa-bisanya aku menangis meminta mainan mahal.

Ku lihat bibi tadi mengangkat anak berusia satu tahun yang sangat cantik. Kelihatannya dia baru bangun tidur. Balita itu mengucek matanya dan menyerukkan wajahnya di leher bibi. Ah gemas sekali.

"Ini dia Tar, adiknya Den Raga. Namanya Kinan. Bibi harap kamu bisa cepat deket dengan dia ya."

Saat aku mencoba membujuk Kinan agar mau ku gendong, tiba-tiba pintu kamar terbuka menampakkan seorang Raga dengan baju khas rumahannya.

Melihat kakaknya datang, Kinan meronta-ronta agar digendong oleh Raga. Benar-benar tidak ku sangka orang macam Raga mampu berinteraksi dengan anak kecil sekalipun itu adiknya sendiri. Ku kira dia akan cuek.

Raga mengambil alih Kinan dari gendongan bibi. Tangannya mengelus punggung dan rambut Kinan.

Aish, kenapa aku jadi deg-degan sendiri melihatnya. Melihat sikap Raga yang seperti itu membuat jantungku berpacu lebih cepat. Raga bahkan mengajak berbicara kepada Kinan yang dijawab celotehan lucu dari bayi berusia satu tahun itu.

"Bibi boleh keluar, makasih Bi," ucap Raga yang di anggukki oleh bibi.

Dan sekarang tersisalah aku dan dua manusia yang sedang duduk di depan rumah-rumahan Barbie.

"Mau sampai kapan di situ? inget kan tugas lo harus ngapain?" Ucap Raga dengan ketus.

Aku mendungus pelan dan menghampiri kakak beradik itu. Terus aku harus bagaimana coba, adiknya Raga saja tidak mau memalingkan wajahnya sedikit pun ke arahku. Yah memang sih seharusnya aku yang mencoba merayunya tapi aku terlalu malu jika ada Raga di sini.

Kinan berada di pangkuan Raga masih dengan celotehan-celotehannya. Sedangkan Raga ia mengusap rambut adiknya. Saat aku menatap Raga, tiba-tiba matanya menatap ke arahku dengan tajam. 

"Kenapa lo? nggak guna banget jadi orang. Dari tadi diem terus, nih urusin Kinan bentar. Gue mau ke dapur!"

Raga mencoba melepaskan Kinan dari pangkuannya. Walaupun merengek tetapi akhirnya Kinan kembali tenang dan fokus pada mainannya.

"Hay Kinan." Aku mencoba memanggil Kinan sambil mendekat ke arahnya.

Aku mencoba mengajaknya berinteraksi mulai dari menawarkan bermain boneka dan sebagainya. Sudah setengah jam an dan Raga belum juga kembali. Bilangnya tadi cuman mau ke dapur tapi sampai sekarang dia belum balik-balik. Aku rasa Raga memang memberikan kesempatan untukku agar lebih dekat dengan Kinan.

Untungnya saja Kinan anak yang gampang berbaur. Lihat saja sekarang, Dia saja akan merengek jika aku tidak mengikuti kemauannya. Aku akhirnya pasrah dan berbicara seolah-olah tuan putri. Kinan merangkak ke arahku sambil membawa boneka kecil berbentuk salah satu serial animasi asal Jepang dan memberikannya kepadaku.

Sampai tidak terasa cukup lama sudah aku habiskan untuk bermain dengan Kinan. Kumandang adzan sudah terdengar setengah jam lalu. Kinan saat ini sedang asik bermain dan disuapi oleh bibi yang siang tadi.

Kasihan sekali walaupun di kelilingi oleh harta atau berbagai mainan mahal namun balita itu kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sampai jam segini juga salah satu orang tua Raga belum ada yang pulang dari kerja. Sungguh miris.

Aku berjalan ke arah kamar Raga setelah diberi tahu letaknya oleh Bibi. Ku ketuk pelan. Tidak lama pemilik kamar akhirnya membukakan pintu.

"Kenapa?" tanyanya dingin.

"Aku mau pulang," jawabku pelan.

"Ya terus hubungannya sama gue apa?" Sungguh tidak bohong, nada bicaranya sangat ketus. Tidak ada halus-halusnya sedikit saja.

"Ehm, apa ya?--- ya nggak ada sih,--kalau gitu aku pamit pulang dulu ya Ga."

Tidak menunggu tanggapan dari Raga, aku segera membalikkan badan dan pergi meninggalkannya.

"Eh, udah mau pulang Tar?" tanya Bibi yang masih menyuapi Kinan.

Aku menganggukkan kepalaku.

"Ya udah kalu gitu hati-hati ya Tar," ucap bibi yang ku ancungi jempol.

Mengurusi Kinan sebenarnya tidak selelah kerjaanku sebelumnya. Tapi naas, aku bukan bekerja pada Raga namun hanya membayar hutangku. Kenapa sih harus diganti, Raga orang kaya bukan. Pasti uang lima ratus ribu tidak ada bandingnya dengan uang jajannya sehari. Katanya aja orang kaya tapi pelitnya tidak karuan.

Aku berjalan  keluar dari pekarangan rumah Raga. Aku saat ini masih memakai seragam sekolah. Ya, sehabis pulang sekolah aku memang langsung pergi ke rumah Raga. Aku juga sudah meminta izin untuk beberapa hari kedepan jika telat pulang sekolah kepada ibu.

Perutku berbunyi, bunyinya terdengar jelas untung saja saat ini aku sedang sendiri, mungkin kalau terdapat banyak orang pasti rasanya sangat malu. Aku kembali merutuki Raga.

Dia orang kaya kan ?
Masa iya yang katanya orang kaya tidak mampu memberi rakyat kecil sepertiku makan. Seharusnya dia sadar aku baru pulang sekolah pasti lapar tapi memang entah lupa atau sengaja tidak memberiku makan agar makanannya tidak berkurang, aku pun juga tidak tahu.

Tidak terasa langkah kakiku sudah membawaku lumayan jauh dari rumah Raga. Mataku melirik ke arah warung sate yang di seberang jalan.

Hmm, aromanya begitu tajam. Andaikan aku mempunyai uang pasti aku akan membelikan untuk ayah, ibu serta Abdul di rumah. Aku menghembuskan nafas pelan dan kembali melanjutkan langkahku.

Entah mau sampai kapan aku tiba di rumah sedangkan jarak masih sangat jauh. Uang di dalam saku pun tinggal lima ribu saja. Angkutan umum sudah jarang melintas di jalan. Mungkin waktu-waktu istirahat dan sholat, entahlah.

"Lo itu bodoh atau gimana sih?"

Suara seseorang menganggetkanku. Aku membalikkan badanku ke arah datangnya suara. Aku membulatkan mataku.

"Ra---raga?"

Santai-santai dulu lah ya😂

DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang