•BAGIAN KEDUA PULUH ENAM•

4.2K 234 28
                                    

Selamat Membaca.

▪▪▪▪▪

Pagi di hari Minggu ini , Mentari memutuskan untuk pergi ke pasar memenuhi kebutuhan dapur yang mulai habis. Entahlah urusan Raga dirinya juga semakin malas untuk sekedar bertanya-tanya lagi. Bahkan sampai sekarang, ia tidak tahu suaminya itu bekerja sebagai apa, pria itu saja pulang ke rumah paling-paling hanya sekali-dua kali.

Dirinya benar-benar merasa sendiri. Sampai usia kandungannya yang menginjak lima bulan, yang berarti perutnya semakin terlihat membuncit, Raga sama sekali belum pernah memperhatikan calon anaknya. Kalau masalah dirinya yang tidak pria itu perhatikan, Mentari tidak masalah. Tapi untuk calon anak mereka, apa tidak bisa sekali saja menanyakannya? Raga seperti sama sekali tidak menginginkan bayi yang dikandungnya sekarang.

Tanya kondisi anaknya pun tidak, tanya ia ingin ngidam sesuatu juga sama sekali tidak pernah, tanya usia kandungannya berapa juga tidak pernah, tanya apakah susu hamilnya habis atau belum, pria itu juga sama sekali tidak pernah menanyakan pada dirinya. Raga hanya memberikan uang dan akan marah bila ia tidak menyisakan uang tersebut untuk ditabung. Kadang otak kecil dan hatinya mulai mengeluh. Dengan uang yang nominalnya pas-pasan bagaimana bisa ia mengaturnya? Bahkan setiap Mentari membelanjakan uang itu, dirinya harus mencatat segala pengeluaran di kertas dan melaporkannya pada Raga. Ada satu saja barang yang tercatat ia beli dan menurut Raga tidak penting, dirinya langsung dimakan amarah pria tersebut. Mengatakannya tukang boros dan sebagainya.

"Mau kemana lo?"

Mentari terperanjat kaget saat ingin membuka pintu rumah. Matanya menelisik melihat Raga yang sepertinya baru saja bangun tidur. Ya, entah ketempelan setan dari mana, dua hari ini pria itu tidur di rumah, bahkan Mentari sendiri juga sempat kaget ketika Raga mau tidur satu kasur dengannya.

"Mau ke pasar Ga, sayuran sama bumbu dapur pada habis. Sabun mandi juga udah habis."

Raga menganggukkan kepalanya sambil memberikan handphone kepada istrinya tersebut. Sontak saja dahi Mentari mengernyit melihat handphone jadul tersebut.

"Kenapa? Lo nggak suka gue kasih handphone jadul kayak gini? Maunya apa? Iphone? Nggak punya duit gue mau beliin lo kayak gitu. Syukur-syukur aja masih gue kasih handphone, jadi kalau ada apa-apa lo tinggal telfon atau SMS gue," ucap Raga mengerti maksud dari wajah Mentari yang kebingungan.

Mentari yang dikatai seperti itu lantas menggelengkan kepalanya. Bukan maksudnya matre, tapi tadinya ia bingung kenapa Raga memberinya handphone.

"Nggak, bukan gitu Raga. Ya udah makasih ya."

Raga menganggukkan kepalanya. " Udah gue kasih kartu disitu dan nomor handphone gue. Ada pulsanya juga, jadi lo tenang aja. Dan inget! jangan lupa buat hemat sama uang yang gue kasih kemarin, catet pengeluaran dan kasih ke gue nanti," ucapnya lalu pergi dari hadapan Mentari.

Mengelus dada, itu yang hanya mampu ia lakukan sekarang. Kenapa Raga sampai segitunya. Tidak ingin terus-terusan membatin tingkah suaminya, akhirnya Mentari memutuskan untuk tujuan utamanya, yaitu pergi berbelanja.

"Tari?"

Kepala Mentari menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Matanya membola melihat Sari, sahabatnya dulu berada di hadapannya saat ini.

"E--Sari, hai?" ucapnya canggung sambil mengeratkan beberapa kantong plastik di pegangannya.

"Kamu apa kabar? Ya allah udah lama aku cari-cari kamu. Aku telfon nomor kamu tapi nggak aktif."

Mentari tersenyum canggung, dirinya bingung harus mengatakan apa. Karena yang jelas berita tentang kehamilannya sudah lama tersebar di sekolahnya dulu. Tidak susah untuk orang-orang mencari informasi

"Hehe iya Sar, kamu sama siapa ke sini? Tumben banget mau pergi ke pasar."

"Aku nemenin ibu, tuh ibu lagi beli sayur. Em, gini, maaf aku mau tanya sama kamu," ucap Sari yang seketika membuat tubuh Mentari menegang. Firasatnya mengatakan jika Sari ingin bertanya mengenai isu kehamilannya, sebab sedari tadi Mentari terus memperhatikan mata Sari yang sesekali melirik ke arah perutnya.

"Kamu beneran hamil?"

Mentari terdiam sesaat lalu menganggukkan kepalanya pelan. Mereka akhirnya duduk di kursi yang saat itu tidak terpakai, setelah pamit kepada ibunya Sari. Mereka rasa membicarakan hal seperti ini perlu tempat yang sedikit agak nyaman.

"Astaghfirullah, aku temen yang nggak baik ya Tar. Kamu lagi susah aja aku bahkan nggak tau. Terus sekarang kamu gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana kok. Gini-gini aja," ucapnya sambil tersenyum.

"Denger-denger yang hamilin kamu Raga? Emang iya Tar?"

Lagi dan lagi Mentari hanya bisa menganggukkan kepalanya. Jujur saja ia diberi pertanyaan seperti ini sangat malu. Ingin rasanya dirinya hilang sekarang tapi mau bagaimana lagi namanya kenyataan haruslah ia hadapi.

"Ck, dasar Raga. Kok bisa kalian deket? Perasaan selama ini kalian bahkan nggak kenal lho. Sumpah tuh orang pengen aku pukul, berani banget hamilin anak orang. Jadi, sekarang kalian udah nikah dong?"

"U-udah kok."

"Syukurlah, kok nggak ngundang aku sih? Aku kan pengen liat temen aku nikah," tanya Sari dengan raut wajah cemberut.

Batinnya berteriak membalas pertanyaan Sari. Apa yang harus dilihat? Pernikahannya benar-benar bukanlah impian. Setelah para orang tua tau keinginan Raga menikah siri, sontak saja semua kaget dan tidak menyetujui. Mereka mempercepat proses dan ya bisa dibilang menikah dengan kesiapan mental dan fisik yang tidak tinggi. Tidak ada satu pun teman sekolah yang hadir sekalipun itu Bagas dan Vano.

"Sari! Ayo pulang."

"Yah, ibu aku udah manggil tuh, ya udah kamu punya handphone nggak? Boleh minta nomor kamu Tar?" Mentari menganggukkan kepalanya dan mengeja nomor handphonennya. Sebenarnya agak malu ketika Sari melihat handphone jadulnya tapi tak apalah, toh dirinya memang hanya punya ini.

"Ya udah, dah. Nanti aku hubungi ya."

Tidak lama setelah kepergian Sari, handphonenya berbunyi. Dahinya mengernyit melihat nama Raga yang ternyata menelponnya.

"Halo?"

"Lo kemana sih? Pergi ke pasar lama banget. Jalan-jalan dulu lo Tar? Cepet pulang gue laper. Mau beli makan, uang udah gue kasih ke lo semua."

Setelah mengatakan maksudnya, tanpa basa-basi Raga langsung mematikan panggilan. Berkali-kali ia memohon ampun atas dosanya, sampai-sampai ia mendapatkan suami seperti Raga. Padahal seingatnya sifat Raga dulu tidaklah seperti ini. Apa mungkin sebenarnya beginilah sifat Raga yang asli?











Cerita ini slow update bngt kan?

DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang