•BAGIAN PERTAMA•

9.1K 338 15
                                    

Cerita lama yang dipublish ulang.

▪▪▪▪▪▪


"Heh miskin!"

Aku langsung menengok ke belakang. Sudah biasa jika berada di sekolah aku dijuluki 'miskin'. Orang yang memanggilku tadi lalu menghampiriku. Tangannya yang ia lipat didepan dada serta membusungkan badan ke depan saat berjalan sangat menunjukkan kekuasaannya di sini. Aku hanya berani menundukkan kepalaku tidak berani menatapnya.

"Mana PR gue," katanya.

Ah, iya, aku sampai lupa. Aku segera membuka tasku dan menyerahkan buku kepada orang tersebut. Tanpa mengucapkan terima kasih dia langsung pergi meninggalkanku bersama dua temannya. Dia sempat berhenti lalu membalikkan badannya ke arahku.

"Oh iya, utang bapak lo sama keluarga gue belum dibayar!" Ucap Sandra lalu kembali berjalan.

Ingin menyalahkan takdir namun semuanya sudah diatur oleh tuhan. Aku juga sadar banyak di bawahku yang lebih sulit dalam menghadapi hidup. Kalau diingat-ingat rasanya sedih, pengen nangis. Bapak yang waktu itu bekerja di rumah Sandra terpaksa meminjam uang demi membayar spp ku dan Abdul. Syukurnya Abdul, dia sudah mengerti akan kondisi keluarga. Di saat banyak anak seumurannya banyak minta tetapi Abdul tidak. Ia lebih memilih diam dan memendamnya sendiri. Aku tahu itu, aku sudah mengenal dirinya sejak baru dilahirkan jadi untuk mengetahui gelagatnya sangat mudah bagiku.

Kalian ingin tahu siapa orang tersebut. Perkenalkan dia adalah Sandra, mantan anak bos di tempat bapak bekerja dulu. Ayahnya termasuk salah satu donatur di sekolahku saat ini. Dari kabar yang beredar dia adalah mantan pacar seorang siswa yang cukup terkenal juga di sini, kalau tidak salah namanya Raga. Ayah Raga juga termasuk donatur di sekolahku. Intinya pasangan Sandra-Raga pernah hits pada zamannya sampai-sampai mempunyai fans klub juga. Namun akhir-akhir ini keduanya sudah jarang terlihat bersama. Isu-isu keretakan hubungan mereka makin banyak beredar. Aku yang hanya sebagai siswa biasa memilih menyibukkan diri untuk ujian kelulusan yang tinggal beberapa bulan lagi daripada sibuk mengurusi hal yang menurutku tidak penting.

Aku kembali melanjutkan jalanku menuju kelas. Jujur, tiga tahun mengenyam pendidikan di SMA aku hanya memiliki satu teman,namanya adalah Sari. Dia bukan orang tajir melintir. Keluarganya juga hidup berkecukupan namun jelas lebih baik daripada aku. Sari juga berani melawan seseorang yang mencoba merendahkannya beda denganku yang hanya diam dan tidak berani melawan. Kadang saat kami bersama dan ada seseorang yang mencoba membullyku pasti Sari yang akan membelaku. Akan tetapi, aku dan Sari tidak berada dalam satu kelas semenjak kenaikan kelas dua belas. Jadilah mereka yang membullyku berpuas diri karena diriku yang terpisah dari Sari.

Setelah sampai di depan kelas, aku berhenti sejenak. Menghela nafas pelan dan mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam. Ternyata tidak banyak orang di dalam  kelas. Hanya beberapa siswa di dalam, itu pun sibuk dengan dunia maya. Beberapa mojok di sudut kelas sambil memainkan game sedangkan dua siswi sepertinya sedang menyalin contekan.

Ah iya aku sampai lupa pelajaran terakhir nanti adalah IPS, dan itu ada pekerjaan rumah. Kalian bisa membayangkan bukan betapa bosan dan ngantuknya pelajaran IPS saat siang hari.

Aku berjalan ke arah meja tempatku duduk. Setelah meletakkan tasku di kursi, salah satu siswa yang di pojok tadi berteriak memanggil namaku.

"Eh, Tar!" aku langsung menoleh ke arahnya.

"PR IPS dah belum?"

"Udah, Iqbal mau nyontek?" tanyaku. Aku sudah tahu sifat orang seperti ini. Berbasa-basi dahulu sebelum meminta contekan. Siswa yang bernama Iqbal itu langsung menganggukkan kepala.

"Ya udah nanti ambil sendiri aja. Bukunya nanti aku taruh di laci," kataku lirih.

"Ntar gue nyontek juga ya Tar," kata Bagus. Dia juga satu geng dengan Iqbal.

"Iya gue juga," kata Wahid.

Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan berbalik menuju kantin. Mau melawan pun juga tidak ada gunanya. Pasti mereka bakal marah dan tetap mengambil buku tugasku jadi ya sudahlah.

Aku memutuskan untuk pergi ke kantin. Tadi aku belum sempat sarapan. Bapak kemarin belum menerima upah dari Pak Sabar, si pemilik sawah. Jadilah aku harus sarapan di kantin karena tidak ada persediaan makanan di rumah. Mau makan pecel buatan ibu tetapi itu untuk dijual.

Saat sampai di kantin aku sempat terkaget. Ini masih setengah tujuh pagi namun suasana kantin sudah sangat ramai seperti di pasar. Kalian bisa bilang aku norak ataupun katrok tapi jujur aku memang tidak pernah pergi ke kantin pagi-pagi karena aku sudah terbiasa sarapan dari rumah. Siangnya juga aku jarang ke kantin karena aku selalu membawa bekal yang tentunya lebih sehat. Ke kantin mungkin jika air minum yang ku bawa habis. Sudah itu saja menurutku.

Aku melihat-lihat daftar menu yang tertera. Uhh, rasanya berat untuk membeli. Karena tidak sarapan, ibu memberiku uang lima belas ribu itu juga termasuk untuk jaga-jaga jika bolpoin,tip-ex dan sebagainya tiba-tiba habis.

Akhirnya aku memilih membeli roti seribuan. Tanganku merogoh saku untuk mengambil uang. Setelah itu aku langsung membayar kepada pemilik kantin. Saat sedang berjalan, tiba-tiba seseorang menyenggol bahuku. Tubuhku langsung oleng dan menubruk seseorang di depanku yang sedang membawa mangkok berisi bakso dan membawa gelas.

Pyarr

Suara mangkok dan gelas pecah terdengar. Aku membelalakkan mataku. Harus bagaimana ini.

"Ma---maaf. Maaf ya," kataku lirih bahkan sangat lirih.

Aku langsung menunduk mengambil pecahan mangkok tersebut namun pemilik kantin datang dan berkata tidak apa-apa. Sebenarnya tanganku sakit karena terkena tumpahan kuah bakso yang panas. Aku menganggukkan kepalaku lalu menatap ke arah seseorang yang tidak sengaja aku tubruk.

Pandangannya menatap tajam ke arahku. Aku langsung menundukkan kepalaku. Sungguh saat ini aku sangat malu. Pasti saat ini aku menjadi bahan tontonan. Tubuhku sedikit oleng saat tiba-tiba orang yang tidak sengaja ku tubruk menyeret tanganku. Aku hanya bisa pasrah jika harus mengganti biaya bakso tadi dan merelakan uang saku ku.

"Mau lo bawa kemana Ga? anak orang tu,"

"Kasih pelajaran dikit," jawab Raga lalu kembali menyeretku.

Ternyata dia membawa ku ke UKS. Ku lihat nama tag di seragamnya. Astaga, kalian tahu dia siapa? ternyata pria yang saat ini berada di depanku adalah Raga,siswa yang entah pacar atau sudah menjadi mantan Sandra saat ini. Aku takut mereka akan mengecapku sebagai perebut Raga dari Sandra karena melihat tanganku dipegang Raga. Walau aslinya diseret.

"Maaf," kataku memecahkan keheningan.

"Apa ada yang berubah dengan kata maaf?" Katanya dengan nada yang datar. Sangat tidak bernada. Aku hanya menundukkan kepalaku sambil menggelengkan kepala.

"Kalau so---soal bakso tadi, aku bakal ganti kok," kataku lagi sambil menyerahkan selembar uang sepuluh ribu kepada Raga.

Aku mengerutkan dahiku ketika Raga justru tertawa. Jangan lupa kedua tangannya ia masukkan ke saku celana yang ia gunakan.

"Lo kira gue semiskin itu! Gue nggak semiskin lo, yang nggak kuat cuma beli semangkuk bakso doang," kata Raga.

Jika boleh jujur, sebenarnya kata-kata yang ia ucapkan barusan tadi sangat menyakitkanku. Iya, aku memang tahu jika aku miskin tapi ia tidak perlu merendahkan seperti ini. Tidak terasa setitik air mata jatuh. Aku buru-buru menghapusnya.

"Lalu kamu maunya apa?" kataku masih dengan nada yang lirih. Tolong beri aku kekuatan untuk melawan. Aku sangat-sangat merutuk diriku yang lemah ini. Andai ada Sari di sini. Baru saja dia ingin berbicara, suara seseorang terdengar.

"Tar! Itu----itu bapak lho sakit! La---" biarlah  siswi itu belum selesai berbicara aku langsung berlari keluar dari ruang UKS. Sebelum benar-benar keluar, Raga mencekal tanganku.

"Kali ini lo selamat," ucapnya lalu pergi dari hadapanku. Entahlah aku sudah tidak bisa memikirkan apa pun selain bapak, bapak dan bapak saat ini.




▪▪▪▪▪

Hallooo
Semoga suka. Ini karyaku sendiri ya dan tidak menjiplak karya siapa pun. Kesamaan unsur cerita itu tidak disengaja. Mohon maklum kalau agak alay hhaha.

DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang