Vote dan comment ya.
Selamat Membaca.
▪▪▪▪▪▪
"Gimana?"
Mentari mengerutkan dahinya ketika Raga mengungkapkan kata yang menurutnya sedikit ambigu.
"Maksudnya?"
Raga berdecak merutuki kebodohan perempuan di depannya saat ini. Ya, di belakang ruang lab komputer lama sekarang mereka berada. Mentari sebenarnya paham untuk apa Raga mengajak dirinya bertemu di sini tepat saat setelah mereka selesai mengurus segala urusan tentang kelulusan mereka nanti. Apa lagi kalau bukan masalah kemarin di apartement pria itu.
Mentari juga dibuat was-was karena Raga menyuruhnya berbuat nekat dengan membawa alat tes kehamilan yang diberikan kemarin, dan saat ini alat itu tergenggam dengan erat di genggaman tangannya.
"Kenapa lo diem aja? Jawab dong," ucapnya sedikit membentak.
Mendengar nada pria itu yang mulai meninggi, dengan ragu tangan Mentari yang menggenggam alat itu ia ulurkan. Raga dengan cepat menyambar tangan Mentari dan memaksa membuka kepalan tangan perempuan di depannya.
"A--apa?"
Seketika wajah Raga memucat, Mentari yang khawatir langsung memasukkan alat itu ke dalam saku roknya.
"Kenapa Ga?"
Raga enggan menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Mentari. Tubuhnya masih berdiri mematung dengan sorot matanya yang tertuju ke arah tanah. Mentari terkaget ketika Raga mengacak-acak rambutnya dengan kasar.
"Lo hamil?" Tanya pria itu dengan nada datar.
Mentari jelas ketakutan. Bukan takut dengan amarah Raga, namun lebih ke arah bagaimana jika memang Raga tidak ingin bertanggungjawab nanti sedangkan di dalam perutnya sudah ada nyawa baru yang menanti kehidupan di dunia.
"Gue nanya, jawab!"
Tangan perempuan itu terkepal dengan erat di samping kanan dan kiri saku rok yang dikenakannya.
"Kamu bisa lihat sendiri."
"Terus lo maunya gimana?"
Mendengar pertanyaan Raga, seketika kepala Mentari mendongak menatap ke arah Raga. Dahinya mengkerut meminta penjelasan.
"Ka-kamu masih tanya mauku apa? kamu tahu apa hasil dari perbuatan kamu? kamu tahu Ga?"
Raga mengangkat sebelah ujung bibirnya. Menatap remeh ke arah Mentari saat ini.
"Hasil perbuatan gue? Lo nggak salah cuma bilang ini gara-gara hasil dari perbuatan gue? mikir dong, terus lo?"
Setelah mengatakan hal yang jahat seperti itu, tanpa rasa tega atau pun kasihan sedikit pun Raga pergi berlalu meninggalkan Mentari yang mulai terisak pelan. Tangan perempuan itu menggenggam erat rok yang dikenakannya sambil sesekali mengusap air mata dengan sebelah tangan. Jujur saja dia bukan anak remaja pada umumnya yang setiap kali keluar kelas akan membawa kaca dan tisu untuk memperbaiki diri.
"Kenapa Ra--Raga tega banget sama aku," ucap Mentari sambil sesenggukan karena tangisannya yang makin kencang.
Ia takut kepada Allah, kepada kedua orang tuanya. Memang salah, sudah terlanjur jadi anak namun baru merasa bersalah. Dulu kemana saja dia.
Mentari akui ia memang bodoh, minim akan dunia-dunia perpacaran yang tidak seindah bayangannya. Bahkan ia sama sekali belum pernah berpacaran. Saking bodohnya sampai ia terlena akan hasutan Raga dan rasa cintanya terhadap pria tersebut. Sungguh kenapa rasa menyesal baru muncul saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR RAGA
Teen FictionMentari, gadis lugu yang dibodohi oleh rasa cintanya. Ia yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta dengan bodohnya memberikan hal paling berharga kepada seseorang yang ia cinta dengan iming-iming yang sangat meyakinkan. Namun, setelah perbuatan m...