•BAGIAN KEDUA PULUH SATU•

4.5K 259 116
                                    

Mohon maaf aku sibuk akhir-akhir ini, jadi nggak update.

▪▪▪▪▪

"Mama masih penasaran sama siapa itu perempuan yang rawat Kinan dulu?"

"Mentari,Ma."

"Ah, iya Mentari. Dia emang beneran hamil anak kamu atau cuma bohongan? Jujur mama agak meragukan kalau Mentari itu cuman tipu-tipu. Dari luarnya dia kelihatan orang yang baik, tapi mama sendiri juga nggak yakin kalau anak mama ini ngelakuin hal fatal kayak gitu."

Ucapan mamanya membuat pikiran Raga melayang. Di satu sisi ada sedikit rasa kasihan jika ingat nama gadis itu, tapi di satu sisi  lagi ia tidak ingin menikah di usia muda apalagi dengan gadis yang tidak setara dengan keluarganya. Bisa malu jika teman-temannya tahu. Lagipula dirinya juga masih kecewa karena  Mentari kedua orang tuanya bertengkar hebat dulu. Sebenarnya salah dirinya juga yang tidak pernah izin sesuatu kepada mama dan papanya.

"Nggak tahu."

"Kenapa malah jawab nggak tahu? Kalau emang bener kamu ngehamilin Mentari, kamu harus tanggung jawab! Kalau dilihat-lihat, tebakan mama emang bener." Sontak saja kepala pria itu menoleh ke arah mamanya. Bagaimana ini apa mamanya tahu yang sebenarnya?

"Kamu cari Mentari sampai ketemu, terus bawa ke sini. Astaga rasanya mama sampai malu kalau inget dulu. Mama sama papa nggak ada muka buat berhadapan sama Mentari dan ibunya gara-gara anak cowok satu ini."

Perkataan mamanya membuat jiwa dan pikiran Raga terpisah. Matanya tidak bisa terpejam, bingung apa yang harus ia lakukan. Menemui Mentari? ah rasanya tidak mungkin. Mau jadi apa dirinya jika duluan menemui perempuan itu? Raga memutuskan membuka aplikasi bertukar pesan. Tangannya tanpa arahan langsung membuka kontak perempuan tersebut.

"Ck, terakhir dilihat kemarin. Kemana sih dia? Nggak ada kuota apa." Memilih abai, akhirnya Raga memutuskan untuk pergi sekedar menenangkan pikiran.

Dengan tiba-tiba mamanya datang dan bilang seperti itu sungguh membuat beban pikiran. Alamat rumah Mentari sebenarnya ia masih hafal tapi untuk datang kesana sepertinya tidak mungkin.  Jujur saja sebenarnya ia juga merasa brengsek telah merusak anak gadis orang, tapi mau bagaimana lagi hal itu juga sudah terlanjur terjadi. Menyesal tidak bisa menahan diri juga sudah terlambat.

Pandangan mata pria itu seketika berhenti pada satu objek. Langsung saja ia memberhentikan motornya di tepi jalan. Matanya menyipit memperjelas penglihatan. Di seberang sana perempuan yang sedari tadi terus mengganggu pikirannya sedang berjalan keluar dari rumah makan nasi padang. Lama tidak melihat perempuan itu, rasanya tidak banyak yang berubah. Raga akui sejak awal mengenal Mentari, perempuan itu bukanlah sosok gadis yang masuk dalam kriteria idamannya. Wajahnya serta penampilannya juga kalah jauh dari gadis seusia mereka. Mungkin untuk hal ini Raga cukup mengerti. Kondisi ekonomi keluarga Mentari tidak sama seperti dirinya. Mentari sendiri juga bukan tipe perempuan yang selalu mengikuti gaya anak zaman sekarang.

Raga melirik sebentar pada jam yang terpasang di tangannya. Ternyata cukup lama juga dia keliling-keliling tidak jelas dengan motornya. Tanpa sadar Raga mulai melajukan motornya ke seberang jalan dimana Mentari berada.

"Eh?" kaget Mentari ketika tiba-tiba sebuah motor berhenti di sampingnya.

Matanya langsung membola ketika pengendara motor tersebut membuka helm yang digunakan. Astaga, tangan Mentari seketika mencengkeram uang kembalian yang belum sempat ia masukkan dalam kantung celana.

"Kenapa?"

Ah, bahkan suara pria yang selama ini diam-diam ia rindukan terdengar juga di telinganya. Tiba-tiba perasaan minder mulai menyelinap ketika melihat pria tersebut makin terlihat tampan. Jauh dengan dirinya yang hanya mengenakan celana kulot dan kaos oblong.  Jangan lupakan sandal  jepit yang melekat di kedua kakinya.

"Nggak bisa ngomong, ditanya diem aja?"

Mentari seketika terperanjat dari lamunannya. Menatap pria di hadapannya sekilas lalu menggelengkan kepala menjawab pertanyaan pria tersebut. Lebih baik diam kan daripada berbicara salah terus. Sedangkan Raga, pria itu menatap dengan sedikit terkejut ke arah perut Mentari. Dari kejauhan perut Mentari terlihat biasa saja, tapi ketika dilihat dalam jarak dekat seperti saat ini terlihat perut perempuan itu sudah agak membuncit. Seketika perasaan iba datang di hati pria itu. Melihat penampilan Mentari justru malah membuatnya tambah merasa bersalah.

"Lo kerja?"

"Apa?"

"Lo kerja atau lanjut kuliah? Naik, kita bicara sebentar. Nggak enak ngomong di pinggir jalan kayak gini. Cepet nggak usah lemot kayak gitu," ucapnya melihat tingkah Mentari yang seperti orang linglung.

Mentari tidak tahu mau dibawa kemana dia saat ini. Tangannya tidak berani memeluk tubuh Raga seperti dahulu. Sekarang hanya sebatas mencengkeram baju yang pria tersebut kenakan. Seketika ingatannya kembali. Langit sudah berubah menjadi keorange-an. Bagaimana jika ibunya mencarinya nanti.

Motor yang dikendarai Raga berhenti di taman yang terlihat sepi. Mengikuti Raga yang mendudukkan tubuhnya pada kursi berukuran panjang di bawah pohon rindang.

"Lo beneran hamil?"

"Ka-kamu pikir aja sendiri aku beneran hamil atau nggak." Jujur saja Mentari emosi mendengar pertanyaan Raga. Padahal jelas-jelas perutnya sudah terlihat sedikit buncit.

Mentari mengamati wajah pria di sampingnya yang terlihat frustasi. Raga menghela nafas dengan kasar membuat Mentari tiba-tiba dilanda rasa takut. Pikiran nyeleneh seketika datang. Bagaimana jika Raga menyuruhnya aborsi seperti di cerita-cerita yang pernah ia baca? Tidak--bahkan dirinya tidak sanggup hanya membayangkannya.

"Lo kerja atau?"

"Kerja," jawabanya cepat.

"Kerja apa?"

"Em, aku kerja cuci-cuci piring kayak dulu." Sebenarnya Mentari malu mengakui pekerjaannya sekarang. Terlebih tidak sebanding dengan Raga.

"Emang cukup buat biaya hidup lo? Buat periksa kandungan?"

"Ya dicukup-cukupin. Ibu juga jualan, kadang aku juga bantu kalau luang. Kalau periksa kandungan aku belum pernah. Selama aku ngerasa nggak ada hal yang aneh ya udah nggak usah."

Keadaan justru hening. Raga memilih bungkam dengan pandangan ke depan menatap ke arah ayunan yang kosong. Sedangkan Mentari sendiri juga memilih untuk diam. 

"Jujur gue sekarang lagi bingung Tar. Tiba-tiba mama dateng nyuruh untuk tanggung jawab sama lo. Gue ngaku kalau gue ini brengsek sampai ngehamilin anak orang. Tapi kalau nikah, jelas nggak siap. Apalagi gue masih muda, masih pengen bebas main tanpa mikirin anak-istri. Dan ada satu alasan lagi yang bikin gue ragu buat nikahin lo Tar, sebenernya gue--em, suka sama seseorang. Maaf mungkin ini nyakitin perasaan lo, tapi gue ngerasa tambah brengsek aja kalau kita sampai beneran nikah,  sedangkan cinta aja nggak."

Mata Mentari berembun. Kepalanya ia tundukkan agar pria di sampingnya saat ini tidak melihat sisi dirinya yang lemah.

"Besok kita ketemuan dan kerumah gue buat ketemu mama. Bilang kalau itu bukan anak gue ya Tar, gue mohon. Coba lo pikir, kita bakal tersiksa kalau nikah. Gue yang nggak suka sama lo, dan lo yang tiap hari makan hati. Kita nggak nikah tapi gue janji bakal memenuhi semua kebutuhan anak itu. Ayo gue anter pulang."

Hancur sudah pertahanan Mentari. Bagaimana dirinya bisa mempercayai kata-kata pria ini?







DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang