•BAGIAN KESEBELAS•

4.5K 212 53
                                    

Selamat Membaca.

▪▪▪▪▪▪▪


Bel tanda selesainya pembelajaran hari ini sudah terdengar sejak lima belas menit yang lalu, sedangkan Mentari masih duduk di dalam kelas sambil melihat Raga yang bermain basket bersama teman-temannya. Sebenarnya di sekolah masih banyak siswa-siswi yang mengikuti ekstrakurikuler jadi membuat Mentari tidak takut di dalam kelas sendirian.

Mentari belum memiliki pekerjaan setelah pekerjaan terakhirnya itu. Dirinya bosan, sudah terbiasa setelah pulang sekolah langsung bekerja yang artinya melakukan berbagai pekerjaan dan bertemu rekan-rekan karyawan lainnya membuat Mentari kangen.

Tidak seperti saat ini, dirinya menganggur. Tangan gatel ingin bekerja dan bertemu temen baru sesama pegawai atau karyawan lain. Sudah berkeliling ke toko-toko terdekat untuk mencari lowongan pekerjaan, namun satu pun tidak ada yang sedang membutuhkan pekerja baru. Waktu itu dirinya ketahuan oleh Abdul bekerja membantu cuci-cuci piring di warung orang dan adiknya itu melapor kepada ibunya. Alhasil Mentari dimarahi dan disuruh berhenti bekerja lagi, alasannya satu  supaya fokus untuk ujian. 

Rencananya setelah lulus SMA nanti Mentari akan ikut merantau tetangganya ke luar kota. Dirinya sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan. Mentari saja sudah bersyukur bahwa ia bisa sekolah sampai jenjang SMA.

Teman satu kelasnya dulu waktu SMP saja ada yang tidak melanjutkan sekolah ke SMA karena keterbatasan ekonomi, jadi itu yang membuat patokan Mentari tetap bersyukur. Tidak apa hanya lulusan SMA, yang penting dirinya giat untuk mencari pekerjaan nanti supaya Abdul bisa melanjutkan sekolah dan bapak serta ibunya bisa tetap makan.

Mentari menghela nafas, mengingat kondisi bapaknya membuat dirinya sedih. Bapaknya itu sudah tidak diperbolehkan oleh dokter untuk bekerja yang berat-berat. Pasti kan tidak mungkin jika hanya mengandalkan hasil penjualan pecel ibunya.

Mata perempuan itu terus melirik ke arah lapangan. Mengamati pria yang diam-diam sudah berani menyelinap ke hatinya. Ah, Mentari rasa bukan pria itu yang salah tapi dirinya lah yang dengan kurang ajarnya menaruh rasa kepada pria yang berlarian mengejar bola basket yang sedang di dribble  oleh lawan mainnya.

Melihat kaos yang sedikit basah karena keringat serta peluh yang membanjiri dahi pria itu membuat Mentari berpikir kotor. Bayangan malam itu kembali berputar di sarang otaknya. Mentari seketika memukul pelan kepalanya. Kenapa otaknya malah berpikir yang kotor-kotor dan parahnya berhubungan dengan Raga yang jelas-jelas membenci dirinya.

Sebenarnya Mentari masih bingung mengapa Raga membenci dirinya. Padahal setahunya ia tidak melakukan hal yang berakibat fatal---oh atau mungkin Raga masih memendam dendam tentang omongannya kepada mama pria itu. Oh ya ampun jika benar karena itu, sungguh Mentari menyesal dan sangat merasa bersalah. Jujur dirinya berniat menambah-nambahin sedikit hanya niat bercanda kepada Raga tapi berakhir tidak seperti dugaannya.

Mata Mentari melirik ke arah jam yang tertempel di dinding. Ah, ternyata sudah sore. Hari Senin besok sudah ujian dan itu artinya sebentar lagi dirinya lulus. Berat hati Mentari berpisah dengan Raga. Ingin rasanya ia keluar dari kelas namun ia takut jika Raga melihat nya, ah bukan takut dengan Raga tapi Mentari lebih takut ke tatapan tajam pria itu. Untuk menuju gerbang harus melewati lapangan yang sedang Raga dan teman-temannya main basket.

Selama ini juga Mentari berusaha menghindari Raga serta kedua temannya itu. Desas-desus kedekatan Raga dengan siswi kelas sepuluh membuat dirinya patah semangat. Sari juga, mereka sudah tidak seperti dulu lagi,untuk menghabiskan waktu bersama di sekolah sangat susah.  Karena perbedaan kelas dan jarak kelas mereka yang lumayan jauh membuat Mentari malas. Mereka berdua yaitu Sari dan Mentari memang sepakat untuk fokus terlebih dahulu kepada ujian yang akan menentukan kelulusan mereka.

DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang