Orasi 16

117 16 15
                                    

Selamat malam semuaaa...
JANGAN PELIT AND COMMENT YAH!

HAPPY READING...
************

"TUJUAN LO APA BURUNG BANGAU?!"

"Ehm, Elang."

Elang berdehem, melipat kedua tangannya lalu sedikit memiringkan kepalanya memasang tampang cool-nya berusaha membenarkan. Sikapnya masih santai padahal perempuan didepannya sudah geram setengah mati.

Dahi Ifa mengerut, menyipitkan mata. Kedua sudut bibirnya tertarik paksa merasa jijik. Narsis! Ini hari libur harusnya hari khusus tidur selonjoran bukan ujian kesabaran.

Malaikat maut, bukan tapi burung Elang ini minta ditendang salto bolak balik atau gimana?

Ifa mulai bernyanyi mengganti syair lagu burung kakak tua dengan burung elang versinya sebagai pelampiasan kesal. "Burung Elang sudah hinggap di motornya. Semoga makin tua giginya tinggal dua."

Elang menunduk terkekeh lalu kembali menatap Ifa. "Gue mau ajak lo jalan!"

Mata Ifa membulat, alisnya semakin berkerut. Tumben temen iki wong (Tumben amat nih orang) dalam hati Ifa mulai berbunga. Ora sah sumringah ndisit, Fa ( Jangan bahagia dulu, Fa). Barangkali ada udang dibalik bakwan, separuh hati Ifa menentang.

"Dapet mukjizat apa ngajak jalan? Mending gue tidur, paling ujungnya bahas proker, ngaku!"

"Udah sana mandi! Gue tungguin!" Elang tersenyum tipis mengalihkan pembicaraan mengibas tangan mengusir.

Akhirnya Ifa beranjak pergi sesekali menoleh kebelakang penuh curiga tidak sepenuhnya percaya dengan Kadep-nya ini.

"Ati–ati kepala lo juling!"

"Mata lo juling!" teriak Ifa memilih terus melangkah masuk kedalam Kos tanpa berbalik.

Ifa keluar pintu kos mengalungan tas selempangnya ke leher. Setelan celana jeans panjang dipadu kemeja hijau cerah secerah cahaya matahari yang perlahan naik. Perasaan curiganya tak secepat itu hilang dengan jawaban abu-abu Elang. Tatapan tajamnya terus membaca pikiran lelaki itu sembari menutup pintu gerbang Kosnya.

"Udah ayo naik! Gue nggak akan bunuh lo. Tenang."

Awan putih berkerumun membentuk sesuai imajinasi penikmatnya. Cahaya matahari perlahan naik. Motor Jupiter jadul Elang melaju melawan padatnya jalan merangkul debu jalanan. Klakson pengedara lain sebagai pengiring jalan.

"Udah sampe. Turun!"

Akhirnya Elang dan Ifa sampai di tempat tujuan. Gedung tinggi menjulang sebuah plang besar tulisan bermacam bahasa jelas pada setiap susunan bangunan. Ifa turun melongo menatap bangunan tinggi bertuliskan Perpustakaan Nasional. Ngandel! (Tuh, kan!) Apa gue bilang, sesat ari percaya, kecewa kan!

"Ayo masuk!" Sekembalinya memakirkan motor. Berdiri disamping Ifa ikut menatap bangunan kokoh dihadapan mereka.

Ifa melirik Elang tajam. "Emang udah haram hukumnya gue percaya sama lo! Nyesel. Kirain beneran ngajak jalan."

"Jadi pengin gue ajakin jalan?"

"Udah masuk! Panas!" datar Ifa berjalan tak mengubris.

Elang mengejar, berjalan menyamai irama jalan Ifa. "Secara harfiah ini sama. Gue nggak salah dong, kita jalan dari kosan sampe sini."

"SA.LAH. Kita naik motor bukan jalan," tandas Ifa.

Di hadapan mereka rak–rak buku tersusun rapi. Beberapa orang berdiri membelakangi rak. Satu dua mencari pada mesin pencari atau menanyakan pada petugas jaga.

Sebuah Orasi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang