Orasi 7

175 33 53
                                    

Halo semuaa kita ketemu lagi

Selamaaat Baca semuaa...

********************************>>>>>>>>>>>******************************

"Jangan pedulikan omongan orang lain. Percayalah pada dirimu sendiri. Bahwa jika kamu berusaha tuhan memberikan jalan yang terbaik untuk hidupmu."

****************

Semester pertama. Ifa sepenuhnya jadi mahasiswa di kampus besar ini. Beruntungnya, Ifa sekelas dengan Milly dan Julia. Mata kuliah pertama praktikum fitokimia, Bu Tuti. Sebutan Limbad disematkan mahasiswa padanya karena terlalu irit bicara, mungkin hampir tidak pernah.

Setiap ujian dadakan bagaikan mimpi buruk bagi mahasiswa. Terburuknya urutan tes, penempatan duduk mahasiswa selalu dimulai dari absen pertama. Ifazah Gra Lestari. Namanya bahkan bukan berinisial huruf 'A' sungguh berbeda dari masa SMA. Jarak tempat duduk per-anak di ruang paktikum farmasi sudah bisa untuk lompat tali.

Seluruh area ruangan dalam jaungkaun penglihatan Bu Tuti duduk di singgah sananya. Satu meja besar berdiri di bagian tengah mengakses segala arah. Jangan harap bisa menanyakan jawaban teman alhasil kertas ujian membelah diri jadi dua bagian. Tapi tetap aja ada mahasiswa curi pandang menanyakan jawaban.

"Faaaa, identifikasi saponin zatnya?" bisik Edan sesekali mengamati keadaan.

Petugas laboratorium mendesis memperingatkan, mengintai mahasiswa. Ifa mencoba tidak peduli dia terlalu takut. Fokus pada lembar jawabnya, mengerjakan soal.

"Fa, jangan pura-pura budek lo! Budek beneran tahu rasa!" desis Edan melemparkan gumpalan kertas kecil.

Mata Ifa membulat segera mengambil kertas, memasukkan dalam kantong jas lab. Ifa menoleh menatap kesal Edan.

"Apaan Eee ... daaan?!" Suara medhok jawa ngapak terasa kental.

"Zat buat identifikasi saponin sama caranya?" Edan menggerakan mulutnya pelan perkata agar mudah dipahami Ifa.

"Di-tam-bah a-ir pa-nas, terus di-ko-cok 10 de-tik," jawab Ifa melakukan hal sama layaknya Edan lakukan sambil sesekali melirik ke arah dosen.

"Apah? Dicolok?" Dahi Edan mengernyit.

Ifa menepuk jidat. "Koo-cok."

"Apanya yang dicolok?" Edan masih saja salah.

"Di-ko-cok. DIKOCOK!" Ifa reflek mengeraskan suaranya. Geram pada Edan tidak paham-paham. Sebenarnya yang salah siapa di sini, telinga atau otak Edan.

"IFA!"

Spontan Ifa menoleh ke sumber suara. Matanya membulat menangkap raut wajah Bu Tuti merah padam. Bu Tuti sudah melotot berjalan mendekati Ifa. Pikiran negatif dalam otak Ifa mulai berkeliaran. Keringat dinginnya mulai mengucur di dahi. Kalang kabut. Sekali buka suara dosen ini menakutkkan. Kepriben kie (Gimana ini)? Mati aku! Siap-siap dadi amoeba kertas pegaweanne? resah Ifa dalam hati.

"Keluar!"

"Tapi Bu, saya tidak—jangan Bu!"

Suara Ifa tercekat menatap gamang kertas jawaban ujiannya telah berubah. Apa yang dikhawatirkan benar terjadi, jawaban ujiannya bukan lagi kakak beradik melainkan keluarga amoeba berencana. Ya, kertas itu membelah menjadi empat bagian. Ada bapak, ibu, dan dua anak.

"Nilai ujian kamu mata kuliah ini kosong. Kamu pasti sudah tahu aturan kelas saya, tidak boleh satupun mahasiswa melakukan kecurangan. Saya tidak suka hal itu! Saya tidak menyangka kamu melakukan hal ini. Sekarang keluar!"

Sebuah Orasi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang