*********************************
Selamat Membaca Versi Revisi berdeda dari sebelumnya
JANGAN PELIT VOTE AND COMMENT YAH!
*********************************************
Tangan Ifa berhenti mengulir halaman sebuah Website pengejar beasiswa pada laptop yang dipinjamnya dari Julia. Helaan napas kasar, menggaruk kepala lalu matanya membulat kemudian menghela napas lagi membaca persyaratan beasiswa dari beberapa yayasan pemberi Beasiswa yang disarankan jauh dari kualifikasinya. Nilai Ifa semester pertama cukup, dikatakan jelek tidak bagus pun tidak. Matanya teralihkan pada lembar pendaftaran Ormawa dan bergeser ke botol didepan layar laptop. Ingatan memalukan di Lapangan Basket sore tadi kembali singgah.
"Aaaa.... Wedan!" teriaknya membenturkan kepala meja berulangkali. Dosa apa yang diperbuat hingga doa tak bertemu lelaki itu tertolak.
"Bisa diem nggak! Siapa sih?"
"Woi Fa, jangan gerak-gerak dong! Nggak tahu apa lagi kejar deadline!"
Kating perempuan bersilah di satu meja yang sama sudut sana menyeru. Aksi Ifa itu langsung dihadiahi pelototan tajam perempuan disebelahnya. Salah besar ia mengusik manusia yang tengah stress mengerjakan skripsi.
Ifa segera mengangkat kepalanya meringis kearah Katingnya. Salah ucap tamatlah riwayatnya.
"Maaf Kak, monggo (silahkan) dilanjut."
Ya, di ruang tamu ini hanya tersedia satu meja Panjang dengan satu sofa panjang tempat batasan menerima kunjungan lawan jenis bukan keluarga. Kecepatan Wi-Fi jadi salah satu sebab kenapa semua penghuni lebih sering mengerjakan di Ruang Tamu ini.
"Saya permisi Kak!" pamit Ifa segera mengemasi alat tulis dan mendekap laptop Julia masuk ke kamarnya.
Cucian setinggi gunung dipojok meneriakinya untuk segera dicuci. Jika pagi hari tubuhnya masih enggan beranjak dari kasur, sore pun masih bergelut urusan tugas, praktikum dan laprak. Tidak ada pilihan lain selain malam hari yang sudah jadi rutinitas biasa. Entah, siapa pelopornya pertama diterapkan di Kos ini awalnya Ifa ikut-ikutan justru lebih efisien.
Ifa menaiki tangga lantai tiga yang gelap membawa tumpukan baju kotor dalam satu ember. Lampu mati tak pernah diganti mungkin sejak menginjakkan kakinya disini. Sebuah Rooftop dengan pencahayaan minim.
"Ngapain kesini mau nemenin gue nyuci?"
"Astaghfirullah," pekik Ifa reflek mengangkat satu kakinya mengeluarkan jurus sayap bangao seperti film china yang sering ia tonton tengah malam peneman menulis laprak-laporan praktikum.
"Kaget Kak. Untuk ember ndak melayang. Sejak kapan disitu?"
"Sejak lo ngedumel ditangga."
"Hai! Dede!" sapa tetangga kamar disebelahnya kanan juga ada.
Ifa tersenyum berjalan kearah tetangga sebelah kiri kamarnya membawa cuciannya disamping tempat cucian tetangganya itu. Bukan perempuan jika dalam mencuci pun tidak menghibah. Setelah kegiatan mencuci dan menjemur Ifa merebahakan tubuhnya di kasur mempertimbangkan saran tetangganya saat menyinggung masalah kualifikasi beasiswa.
"Kalau mau dapet nilai plus agar beasiswa kita diterima dengan menampilkan potensi yang membuat kita menonjol."
"Maksudnya?"
"Salah satunya selain prestasi kita juga memperlihatkan kalau kita mahasiswa aktif berorganisasi.Kalau bisa lo bisa ikut BEM Universitas."
Ucapam sosok lain ikut menyusup dalam ingatannya menggeser wajah-wajah tetangganya dengan wajah datar nan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Orasi Cinta
Fiksi Remaja"Nggak panggil Kak lagi, nih?" "Maaalleees." Ifa memutar bola matanya. "Dulu aja suka panggil Kak teruuus..," goda Elang tersenyum tengil. "Sebelum lo ngeselin!" "Gue ngeselin tapi ngangenin kan?" "Idiiih... Loken (masa)? Pede buaanget!" Ifa menge...