Tak terasa, satu minggu pernikahan kalian berhasil terlewati. Dengan kamu yang hanya diam, dan Nanami yang terus sibuk bekerja.
Sinar semburat oranye menembus dinding kaca memasuki ruang-ruang rumah. Hari ini jarum pendek menunjukkan pukul lima petang, Nanami yang seharusnya masih disibukkan dengan pekerjaan di kantornya, tiba-tiba sudah pulang saja duduk-duduk di sofa.
"Mau ke mana?" Tanyanya tanpa menoleh sedikitpun kepadamu. Matanya masih menyematkan fokus pada setiap dokumen yang harus ditelitinya.
"Hm? Beli camilan."
Mendengar jawabanmu yang akan pergi meninggalkan rumah. Tiba-tiba saja ia membanting dokumennya ke meja lalu meraih kunci mobil yang tergeletak di sampingnya. "Mari, kuantar."
Dahimu mengernyit, mendengar Nanami yang tiba-tiba ingin mengantarmu. Padahal jarak rumah dengan supermarket hanya sekitar dua puluh meter saja.
"Tidak usah." Sautmu malas sembari sibuk membenahkan cardigan maronmu. "Lagipula hanya tinggal kesana, lalu menyebrang."
Untuk masalah sebuah perhatian, Nanami tak mau kalah. Ia selalu mengedepankan untuk sebisa mungkin nembantumu, meskipun ia lelah bekerja sekalipun. "Tidak bisa, aku akan mengantarmu."
"Aku bilang tidak usah. Aku bisa jalan sendiri, jangan bertingkah seolah-olah seperti ayahku."
Matamu memutar sebal, diikuti gerakan membuang wajah agar matamu tak melihat Nanami yang bagimu sangat menjengkelkan. "Ittekimas."
Baru satu langkah kamu berjalan, Nanami mendekap bahumu dari belakang tanpa aba-aba, membuat tubuhmu terjatuh mendarat di dadanya. "Saya tidak mengizinkan kamu buat pergi sendiri." Bisiknya pada telingamu.
Kamu berusaha menepis tangannya yang menguncimu. Tapi tangan Nanami begitu besar dan kuat mendekapmu.
Dirasa tak ada pilihan lain untuk kabur, kamu menyikut dada Nanami keras-keras, sampai berbunyi "Uh!"
"Pak Nanami, dengar. Aku tidak mau diantar sama kamu!"
Mendengar panggilan "Pak" dari mulutmu, Nanami menatapmu tidak suka. "Hentikan panggilan itu. Aku tidak suka."
"Aku juga tidak suka kamu selalu paksa aku seperti ini. Lagipula ini masih sore, matahari masih terang. Apa yang kamu takutkan? Aku bukan anak kecil lagi, sialan."
"(y/n), aku tahu kamu membenciku, tapi . . ." Tangan Nanami tiba-tiba meraih sesuatu dari saku celananya. Membuka dompet kulit yang berisikan banyak uang lalu diserahkannya padamu. Semua. "Ambil ini, aku dengar laporan dari ibumu. . . kamu hampir tiap hari minta ditransfer hanya untuk beli makanan, iya?"
Manik mata Nanami mengintimidasimu.
"..." Kamu melihat banyaknya lembaran uang bernominal besar disodorkan padamu. Jika boleh jujur, ini terlalu banyak hanya untuk membeli makanan ringan. "Kalau memang iya, kenapa?"
Nanami memijat keningnya. Tak ia sangka, kamu benar-benar mengakui kebenaran laporan dari ibumu. "Mulai sekarang, jangan meminta-minta uang pada ibumu hanya untuk membeli jajan. Ambil uang ini, jika kurang ambil saja dompetku. Aku masih punya banyak di dalam brankas sana."
Hatimu saat itu benar-benar sekeras batu. Kamu justru membiarkan semua uang-uang dan dompet Nanami tersodorkan begitu saja. Kamu mendekat, berbisik sadis dan menatap lekat manik mata Nanami. "Lalu? Apa yang nanti orang-orang fikirkan jika aku punya uang sebanyak ini setelah menikah denganmu? "Murahan? Matre? Iya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MY 9 TO 9 HUSBAND || NANAMI KENTO'S WIFE
Romantizm[BAGAIMANA JADINYA SAAT DIPAKSA MENIKAH DENGAN NANAMI KENTO, SEORANG PRIA YANG SUPER SIBUK DAN GILA KERJA?] . . . Ini tentang kamu yang belum mengerti arti sesungguhnya kehidupan rumah tangga, dan ia dengan pribadi dingin dan cinta dewasanya. . . ...