Suara tangis yang bersahut-sahutan menyeruak di Indera pendengaran Akhtar saat memasuki sebuah rumah yang sangat ramai ini. Pandangannya tertuju pada seorang gadis yang menangis tersedu-sedu di sebelah dua orang yang sudah terbujur kaku dengan kain yang menutupi tubuh keduanya.
Hatinya bergetir melihat pemandangan itu. "Kita temenin Khansa, ya?" Akhtar menganggukkan kepalanya, sebelum mengekori wanita tengah baya yang tak lain adalah bundanya.
"Khansa," gadis itu mendongakkan kepalanya saat namanya di sebut. Matanya menatap wanita tengah baya yang langsung duduk di sebelahnya, sempat mata gadis tersebut terkunci pada pandangan mata Akhtar namun hanya beberapa detik sebelum ia memalingkan pandangannya.
"Khansa gadis kuat, bunda tau itu. Jadi ikhlas ya, nak. Bunda sama ayah kamu pasti udah bahagia di sana," mendengar penuturan lembut itu, membuat air mata Khansa kembali menetes deras. Maya-bunda Akhtar langsung memeluk gadis tersebut menenangkan. Malang sekali nasib gadis ini, batinnya.
Akhtar yang melihat, menghela nafasnya. Ia langsung bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Ia melangkah ke teras rumah bertepatan dengan teman-teman nya yang datang.
"Bro, Khansa mana?"
"Di dalem, masuk aja," Bima menepuk bahu Akhtar sebelum melangkah masuk di ikuti Panca, dan Devan yang sempat menyapa Akhtar juga tadi.
Tinggal lah Aji yang ikut duduk di kursi plastik sebelah Akhtar. Ke empat cowok itu adalah sahabat Akhtar yang mengenal Khansa. Selain karena gadis tersebut teman satu sekolah mereka, keempat nya juga tahu hubungan antara Akhtar dan Khansa, jadi mereka sudah cukup dekat.
"Gue ikut sedih. Pasti ngga gampang jadi Khansa, kasian dia," ujar aji pelan, kepalanya melihat ke kanan dan kiri menatap orang-orang yang berdatangan.
"Buset, nih satu daerah dateng semua apa gimana dah, rame banget." Celetuk Aji tanpa sadar. Akhtar menanggapinya dengan diam. Setahunya, keluarga Khansa memang berpengaruh besar di komplek ini. Bukan pengaruh buruk, melainkan keluarga gadis itu memiliki kedudukan di sini, maka dari itu banyak orang yang kenal dengan keluarganya. Termasuk ayah dan bundanya.
Beberapa teman sekolah lainnya juga berdatangan termasuk para guru, bahkan teman sekelas gadis itu. Mereka sempat heran saat melihat gerombolan geng Akhtar ada di rumah khansa. Namun kembali lagi, pikir mereka karena sama-sama di sekolah yang sama jadi mereka bertakziah juga.
Akhtar menanggapi dengan wajah datarnya melihat beberapa kali pandangan menatap heran ke arahnya.
***
Tujuh hari setelah kepergian kedua orang tuanya karena kecelakaan tunggal, masih membuat Khansa shock. Gadis itu tidak mau makan barang sedikit pun. Dipaksa pun, hanya makan beberapa sendok saja. Penampilannya sudah seperti mayat hidup. Kurus, pucat dan diam saja. Maya yang selalu memaksa Khansa untuk makan itu akhirnya menyerah. Wanita tengah baya itu mengusap air mata yang mengalir di pipinya sebelum menarik Khansa ke pelukannya.
"Jangan kaya gini, sayang. Ingat, walaupun bunda kamu sudah tidak ada, disini yang lagi sama kamu ini juga bunda kamu,"
Khansa menggelengkan kepalanya pelan dalam dekapan itu. "Bunda kesayangan Khansa, cuma bunda Mita," ujarnya pelan. Air matanya kembali mengalir dalam diamnya.
"Iya, bunda kesayangan Khansa cuman bunda Mita. Ini bunda kesayangan nya Akhtar," Khansa hanya diam mendengar nya.
"Sekarang makan ya, sayang. Bunda kesayangan Khansa sama ayah Khansa nanti sedih liat putri kesayangan mereka kaya gini,"
Akhirnya Khansa mengangguk, menerima suapan dari tangan wanita di depannya ini. "Makasih bun-da," Maya melebarkan senyumannya mendengar Khansa memanggilnya dengan sebutan Bunda, yang tadinya sama sekali gadis itu tidak setujui.
Selesai acara pengajian, Khansa mengajak Akhtar untuk mengikutinya. Disinilah keduanya berada, di taman rumah khansa.
"Masih mau lanjutin drama nya?" Ujar Khansa melirik Akhtar yang berdiri tiga meter di sampingnya.
"Gue ngga sudi di kasihani sama lo, Tar. Stop sampe sini aja." Lanjut gadis itu menundukkan kepalanya.
"Gue tau, dari awal lo juga ngga setuju. Sama, gue juga. Makanya ayo selesain ini. Jangan bilang lo berubah pikiran setelah orang tua gue meninggal. Gue tau lo pasti kasian sama gue, dan gue ngga suka di kasihani," cerocos Khansa.
Akhtar hanya diam, menunggu gadis di sampingnya ini mengeluarkan semua uneg-unegnya.
"Lo dengerin gue, ngga si?!"
"Lo ngomong sama gue?" Ujar Akhtar menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bertanya.
Khansa mendengus kesal. "Gak! Gue ngomong sama pak Budi!" Sungut Khansa geregetan. Kebetulan pak Budi selaku supir di keluarga Khansa itu tengah melewati mereka membuat Khansa langsung berteriak.
"PAK BUDII! AKHTAR ORANG BUKAN SIH, NGESELIN BANGET KAYA SETAN!" Teriaknya sebelum melangkah kembali masuk ke dalam rumah. Meninggalkan pak Budi yang kebingungan dan Akhtar yang tersenyum tipis melihat tingkah gadis itu.
***
Hallo hayy! Welcome di cerita gaje ini, semoga sukaaa💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhtar & Khansa
RomanceAKHTAR IQBAL ALFAUZI Cowok datar, cuek, tak tersentuh (katanya). Siapa sangka dia termasuk anggota geng yang waktu SMA terkenal sebagai pentolan sekolah karena sering tawuran. Tidak banyak orang tau sifat asli Akhtar selain orang tua nya dan keempa...