9 - Pleasure

4.1K 374 51
                                    

⚠️ mature content 🔞

***

Gue mengetuk pintu kamar mandi di kamar gue, sambil manggil Marco yang udah ada di dalam sejak tiga puluh menit yang lalu. Gue ngasih dia ruang buat nyelesain urusannya. Tapi, gue nggak dengar suara apa pun dari tadi. Sunyi doang. Bahkan suara tetesan air pun nggak ada.

“Marco?” panggil gue lagi.

Masih nggak ada tanggapan. Gue jadi rada cemas.

“Co? Aku masuk ya?”

Cuma ada dehaman nggak jelas, yang gue anggap sebagai iya. Gue memutar kenop pintu kamar mandi dan mendorongnya terbuka. Marco duduk di atas kloset yang tertutup, menatap gue sambil bersandar di dinding.

“Udah?” tanya gue.

Dia menggeleng. Gue mulai yakin merah bakal jadi warna permanen di mukanya.

“Jangan ketawa,” ancamnya. “Ketawa gue tonjok lo.”

Gue yang sebenernya nggak ada keinginan ketawa, jadi pengin ketawa diancam gitu. Tapi gue nahan diri, nggak mau bikin dia ngamuk. “Oke... kenapa?”

Dia menggaruk leher, tampak salah tingkah. “Aku.... belum pernah....”

Mata gue membelalak. “Serius? Satu kali pun?”

Dia mengangguk.

“Kok bisa?” gue menatapnya takjub. “Terus selama ini kalau kamu lagi... gitu, diapain? Diemin aja?”

Anggukan lagi. “Tapi biasanya nggak selama ini,” gerutunya.

Ternyata Marco lebih polos dari yang gue duga. Gue yakin cowok perjaka banyak. Gue sendiri sampai hari ini masih perjaka. Tapi, cowok 21 tahun belum pernah masturbasi... kayaknya langka banget. Apa gue aja yang salah pergaulan? Buat gue sendiri, itu salah satu kebutuhan. Nggak rutin sih, tapi kalau lagi horny ya gue lakuin.

Jujur aja, lihat Marco gini bikin gue yang tadinya mulai agak adem, jadi berasa panas lagi. Dia sendiri juga pasti ngerasa nggak nyaman.

“Mau aku bantuin?”

Marco menatap gue beberapa saat. “Bantu gimana?”

Gue menutup pintu kamar mandi, lalu berjalan mendekat. Kemudian gue berlutut di depannya, mengusap lututnya pelan, sebelum agak melebarkan kakinya. “My hands or yours?”

Mata Marco melebar. Dia menelan ludah, kelihatan gugup. “Mine...?” Dia kedengeran ragu.

Okay...” Gue ganti mengusap bagian dalam pahanya. “Mau aku bantuin buka?”

Marco menggeleng. Tangannya agak gemetaran pas buka kancing dan resletingnya, lalu dia menurunkan celananya hingga mata kaki. Gue bantu melepas celana itu sepenuhnya, meninggalkan boxer hitam yang sekarang memperlihatkan gundukannya lebih jelas. Gantian gue yang menelan ludah, merasakan celana gue sendiri makin sempit.

“Sekarang keluarin,” ucap gue, menyadari suara gue mulai serak.

Tangan Marco bergerak masuk ke balik boxernya, tapi kemudian dia berhenti. “Jangan lihat.”

Gue mengangkat pandangan, ganti fokus ke wajah Marco. “Mau aku keluar?”

Dia menggeleng. “Jangan lihat,” ulangnya.

Walaupun tahu itu berat dan nyaris mustahil, gue tetap menuruti dia dan nahan diri buat nggak lihat ke bawah.

Now touch it. Pelan aja. Gini....” Gue menggenggam pelan lengannya yang bebas.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang