Gue mencari keberadaan Marco pas para tamu mulai dipersilakan buat santap malam. Sebagian yang udah makan milih salaman sama pengantin dan orang tua mereka, terus pulang. Pas lagi celingak-celinguk nyari Marco, Baim narik gue ke antrean salah satu meja prasmanan.
“Duluan aja, gue lagi nyari... temen,” tolak gue.
Baim nggak bantah, kayaknya udah laper banget dia, dan milih ngantre duluan.
Gue akhirnya lihat Marco pindah duduk di barisan agak depan, kali ini sama Audri. Dia nggak ngambil makanan, cuma pegang gelas berisi mocktail. Baru mau mendekati mereka, sebuah lengan lebih dulu nahan gue. Gue menelan lagi omelan yang mau keluar dari mulut pas lihat ternyata Abi yang berdiri di samping gue.
Abi nggak ngomong apa-apa, langsung narik gue ke arah berlawanan dari tempat Audri sama Marco duduk. Gue terpaksa ngikut karena nggak mau bikin rusuh. Seenggaknya gue tahu Marco nggak sendirian.
“Nah, ini....” ucap Abi pas kami berhenti di depan Mami dan seorang gadis yang nggak gue kenal. “Ini anak Om.”
Gadis itu tersenyum, mengulurkan tangan ke gue. Walaupun bingung, gue menyambut uluran tangannya.
“Marissa.” Gadis itu memperkenalkan diri.
“Zac,” balas gue, lalu menarik tangan gue lebih dulu.
“Ini anak teman Abi, Zac. Nggak nyangka bisa ketemu di sini.” Abi menyunggingkan senyumnya ke gue. Senyum dingin, tapi tetap senyum.
“Iya, sering kerja bareng butiknya Bu Diana, jadi kenal juga sama Kila,” Marissa menjelaskan.
“Marissa ini masih muda tapi udah punya usaha sendiri. Salon, ya?" Papi mengerling ke gue. "Kata mami kamu, salonnya Marissa nih termasuk salah satu salon terkenal loh.”
“Masih belum kok, Om,” jawab Marissa.
Gue nggak sepenuhnya naruh minat ke percakapan itu. Mami juga lebih banyak senyum sambil sesekali menanggapi. Tangan Mami beberapa kali mengusap lengan gue, sementara gue udah pengin pergi aja dari sana.
“Kapan-kapan kalau ada waktu boleh loh kamu jalan sama Zac.”
Ucapan Abi itu sontak bikin gue berhenti bergerak-gerak gelisah, ganti mengernyit. Saat pandangan kami bertemu, gue langsung ngerti tujuan Abi sekarang.
“Kamu belum punya pacar, kan?” Abi nanya ke Marissa.
Marissa tampak tersipu. “Belum, Om....”
“Nah, sama. Zac juga belum punya.”
Gue udah buka mulut buat protes, tapi Abi lebih dulu melempar pandangan tajamnya. Gue menahan kesal yang mulai muncul, milih buang muka dan siap pergi dari sana.
“Marissa belum ambil makanan, kan? Bareng Zac aja. Dia juga belum.” Abi kembali menarik gue ke sebelah Marissa.
Marissa menatap gue, menunggu.
Gue memaksakan senyum sekadarnya. “Duluan aja, mau ke toilet dulu.”
Sebelum Abi sempat nahan lagi, gue bergegas pergi dari sana.
Gue beneran ke toilet. Tadinya mau langsung nyamperin Marco sama Audri, tapi gue butuh nenangin diri dulu. Begitu rasa kesal gue berkurang, gue baru ke tempat di mana Marco sama Audri masih duduk sambil ngobrol.
“Nggak makan lo?” tanya Audri.
Gue menggeleng, milih duduk di sebelah Marco, lalu menatapnya.
“Dia nelepon aku,” Marco menunjuk Audri, sebelum gue sempat nanya apa-apa. “Aku jadi nggak enak, makanya dateng.”
Audri tersenyum manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Somewhere Over The Rainbow
General FictionZac tahu pasti apa yang harus dihadapi saat dia akhirnya menerima diri apa adanya. Jalan berliku terjal tanpa harapan. Untungnya, dia tidak harus melewati jalan itu sendirian. Ada Marco yang berjalan bersamanya. Mereka sudah terbiasa dengan pandanga...
