33 - Let's See

3.3K 491 40
                                    

Gue sering lihat Om Rian marah, tapi baru kali ini gue lihat Pak Gio yang ngamuk. Gara-gara kecerobohan gue sendiri. Bisa-bisanya gue salah bawa bahan buat meeting sama klien, bahan aslinya ada di laptop dan laptop gue ketinggalan di apartemen. Back up-nya ada di komputer kantor, tapi versi belum direvisi. Jadi gue harus revisi ulang pakai back up yang ada, dibantu Baim sama Ara, anak baru yang juga ada di tim gue.

Meeting itu akhirnya tetap berlangsung, tapi telat banget. Muka klien udah kusut pas baru mulai, dan nggak kelihatan membaik begitu tim gue selesai presentasi. Gue yakin bakal dapat SP1 kalau sampai proyek ini batal gara-gara gue.

“Saya mau kamu presentasi lagi besok di depan saya,” ucap Pak Gio. “Pihak Dimensi cuma ngasih waktu sampai lusa. Saya nggak peduli kamu lagi ada masalah apa, yang saya tahu kerjaan kamu beres. Jangan bawa urusan pribadi ke kantor. Kalau nggak bisa profesional, mending resign daripada jadi penghambat. Paham kamu?”

Gue mengangguk pelan. “Paham, Pak.”

Setelahnya Pak Gio nyuruh gue keluar dari ruangannya. Baim sama Ara nunggu di meja gue dengan wajah khawatir.

“Sori....” ucap gue ke mereka. “Lo berdua jadi ikut kena.”

Baim menghela napas. “Kok bisa lo ceroboh banget? Biasanya tiap selesai kan lo kirim file-nya ke email gue buat sekalian back up. Gue juga gitu kalau pas gue yang ngelarin.”

“Lupa,” jawab gue, singkat. “Besok Pak Gio minta presentasi dulu depan dia, lusa baru ketemu pihak Dimensi lagi. Gue minta maaf lagi karena lo berdua harus lembur sampe revisi desain kita selesai.”

“Oke. Uang lembur lo jadi jatah gue sama Ara, ya.”

“Terserah.” Gue duduk di balik meja dan menyalakan komputer.

“Lah, Zac... bercanda gue....”

Gue mengabaikan Baim, milih mulai kerja. Kayaknya dia sadar kalau gue lagi nggak mood buat bercanda, dan milih balik ke mejanya sendiri, diikuti Ara.

Yang bikin gue nggak mood bukan cuma masalah gue sama Marissa. Tapi gue nggak bisa tidur nyenyak. Bukan cuma karena harus begadang ngerjain kerjaan, tapi suara-suara negatif di kepala gue belakangan makin aktif tiap gue mau tidur, bikin gue nggak tenang. Kalaupun gue berhasil tidur, pasti kebangun berkali-kali. Kurang tidur lebih bikin gue cepet bad mood daripada lapar.

Hampir pukul sebelas malam pas gue, Baim sama Ara berhasil nyelesain kerjaan kami dan ngerasa siap buat dipresentasiin besok. Kali ini kami bertiga langsung pegang file satu-satu biar kebodohan gue nggak terulang.

“Lo pulang naik apa?” tanya Baim ke Ara pas kami lagi nunggu lift.

“Udah pesen taksi online, Mas,” jawabnya.

“Ntar lo share ke chat grup, ya. Buat jaga-jaga aja.”

Gue baru mau bilang kenapa Baim nggak nawarin buat nganter aja, tapi inget kalau dia sekarang nggak jomlo lagi. Mungkin nggak enak sama gue, atau dia emang udah berhenti doyan ngasih tebengan ke anak kantor sejak sama Audri, gue nggak tahu. Bukannya gue nuduh dia suka macem-macem, tapi nih anak emang kadang doyan dibikin repot sama orang.

“Zac,” tahan Baim, pas kami udah di basemen berdua, siap masuk ke mobil masing-masing yang parkir sebelahan. “Kalau lo mau gue yang gantiin pas presentasi besok, gue nggak keberatan.”

Gue menoleh. “Pak Gio minta gue. Nggak apa-apa. Gue cuma butuh tidur nyenyak.”

“Ya udah kalau gitu.” Baim menepuk pelan bahu gue, lalu masuk ke mobilnya.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang