13 - Grocery Shopping

2.9K 386 55
                                    

Jam istirahat makan siang kali ini gue habiskan di rooftop buat ngerokok. Gue nggak laper-laper amat karena tadi sambil kerja gue juga ngemil diem-diem dan berencana makan beneran nanti aja, bareng Marco.

Nggak banyak yang suka nongkrong di sini karena biasanya dipake jadi smoking area. Kali ini cuma ada gue. Biasanya Baim suka ikut ke sini juga. Tadi dia bilang bakal nyusul habis beli kopi.

Lagi asyik ngerokok sambil scrolling medsos, gue mendengar suara pintu digeser. Tadinya gue kira itu Baim. Pas noleh, gue melihat Debby berjalan mendekat. Gue membuang muka, mematikan rokok, dan berniat turun. Pas tangannya menahan lengan gue, gue langsung mengibaskannya hingga terlepas.

I’m sorry,” ucapnya. “Gue salah karena langsung nyium lo. Gue udah agak mabuk—”

“Kalau mabuk bikin lo ngelakuin hal bodoh, stop minum,” potong gue. “Go to rehab.”

Ekspresinya langsung berubah masam. “I said I’m sorry,” ulangnya.

Gue mengabaikannya, milih lanjut jalan buat turun.

What’s wrong with you?” tanyanya dengan suara keras. “Are you gay or something?”

Kalimat itu bikin langkah gue terhenti. Gue berbalik, kembali menatapnya. “Nggak peduli mereka gay atau nggak, kalau lo mau cium orang, seenggaknya pastiin orang itu juga mau lo cium.”

“Gue kira lo mau!”

Dahi gue berkerut. “Bagian mana yang nunjukin kalau gue minta dicium sih?” balas gue. “Lo yang ngajak dansa, gue cuma mau menghargai lo sebagai senior.”

You said I’m pretty.”

You ASKED me, and I just tried to be polite,” balas gue. Kalau itu bisa bikin orang salah paham, next time ada yang nanya gitu nggak bakal lagi gue jawab baik cuma buat basa-basi.

Dia terdiam beberapa saat. Pipinya memerah. Kemudian, dia kembali bersuara dengan nada pelan. “Gue beneran suka sama lo,” ucapnya. “Maaf kalau cara gue salah. But, can you give me another chance? Seenggaknya kasih gue kesempatan buat lebih kenal sama lo, dan lo lebih kenal sama gue?”

“Gue udah punya pacar,” jawab gue akhirnya. “Jadi, maaf, gue nggak bisa.”

Matanya membulat. “Lo punya pacar?”

Gue mengangguk. “Udah dua tahun,” jawab gue.

Bahunya merosot. “I’m so stupid,” keluhnya. “Gue yakin lo single karena satu-satunya foto berduaan sama perempuan di medsos lo yang gue lihat cuma sama nyokap lo.”

Gue menggaruk leher. “Pacar gue nggak suka medsos.”

Nggak sepenuhnya bohong, walaupun nggak seratus persen jujur juga. Gue update sama Marco kebanyakan di close friend, dan list close friend gue cuma Al, Audri, sama Marco sendiri. Ares nggak masuk karena dia manusia goa yang nggak tahu sama media sosial.

Sebenernya ada beberapa foto sama Marco yang gue upload di Instagram, tapi kayaknya jadi samar karena gue juga banyak upload foto bareng Al dan temen gue yang lain. Posenya juga nggak aneh-aneh, cuma duduk sebelahan, nggak pake saling rangkul atau apa.

“Gue beneran minta maaf,” ucap Debby lagi.

Sejujurnya, gue udah nggak pengin berurusan sama dia di luar kerjaan. Tapi lihat dia sekarang jadi nggak tega juga. “Okay,” balas gue, singkat.

Friend?” Debby mengulurkan tangannya.

Gue nggak menyambut uluran tangan itu, cuma mengacungkan jempol sambil melempar senyum tipis.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang