24 - Count on You

2.9K 382 13
                                    

Gue pernah bilang nggak sih kalau Marco tuh indah banget? Kalau ada yang nanya, bagian mana dari fisik Marco yang paling gue suka, gue nggak ragu buat jawab semuanya.

Matanya, yang sering dibilang orang terkesan dingin dan jaga jarak, selalu berbinar hangat ke gue. Bibirnya juga, walaupun lebih sering ditekuk ke bawah, tapi udah ngasih senyum paling indah yang pernah gue lihat. Postur badannya nggak termasuk mungil, tapi pas buat gue. Pas di pelukan gue. Persis potongan puzzle yang bikin gue ngerasa lengkap.

Apalagi sekarang, saat dia duduk di pangkuan gue, membalas ciuman hangat gue dengan sama panasnya, sementara pinggulnya bergerak menggoda. Sukses bikin gue gila.

Tangan gue sudah bergerak turun, menangkup kedua gundukan bokong kenyalnya, saat bunyi ponsel bergema nyaring di kamar itu. Gue mengumpat pelan, mengutuk diri sendiri karena lupa matiin ponsel.

“Bentar.” Gue mengulurkan tangan untuk meraih ponsel dengan niat matiin benda sialan itu. Tapi, nama “MAMI” yang muncul di layar bikin gue mengurungkan niat.

Gue menunjukan layar ke Marco, lalu menjawab panggilan itu sementara Marco turun dari pangkuan gue.

“Halo, Mi?”

“Zac....”

Suara sengau Mami sukses bikin jantung gue seolah berhenti berdetak.

Gue segera duduk tegak. “Mi? Mami kenapa?”

Cuma isakan yang jawab, bikin gue makin panik.

Gue bergegas turun dari kasur. “Mami? Halo?”

Please, I need you.”

“Iya, iya! Zac ke sana! Mami di rumah, kan? Zac ke sana!” gue menyambar kaus yang udah tergeletak di lantai dan memakainya. Tangan gue gemetar. Segala kemungkinan buruk muncul di kepala gue.

“Nggak, Mami nggak di rumah.”

Gue yang udah membuka pintu kamar seketika tertegun saat mendengar nama rumah sakit yang disebut Mami. Kalau sampai terjadi sesuatu sama Mami.... kalau sampai Abi beneran nyakitin Mami, gue nggak akan pernah maafin beliau.

“Mami tunggu ya, Zac jalan sekarang.”

Mami memutus sambungan telepon setelah menjawab ‘iya’.

Gue meraih kunci mobil, berbarengan dengan tangan lain menahan tangan gue.

Marco udah di sebelah gue, berpakaian lengkap, nggak tahu sejak kapan. Dia menyodorkan celana panjang, bikin gue sadar kalau gue cuma pakai boxer. “Aku aja yang nyetir,” ucapnya.

“Maaf, aku...”

“Nggak papa.” Marco mengusap lengan gue, mengambil alih kunci mobil dan ganti meletakkan celana di tangan gue.

Gue nggak bantah, bergegas mengenakan celana panjang itu dan berjalan keluar. Pikiran gue kacau, dipenuhi sama semua hal negatif yang bisa gue bayangin. Daripada gue nggak fokus di jalan dan terjadi apa-apa, pilihan terbaik emang ngebiarin Marco yang nyetir.

Sepanjang jalan, gue nggak berhenti bergerak gelisah. Mata gue panas. Apa pun yang terjadi sama Mami, itu pasti ada hubungannya sama gue. Itu salah gue. Bukan Abi yang harusnya nggak gue maafin, tapi diri gue sendiri.

Usapan pelan Marco di lengan gue sesekali sepanjang perjalanan, yang biasanya bisa ngurangin rasa cemas gue, kali ini nggak ada pengaruh. Gue cuma pengin cepat ketemu Mami dan mastiin beliau baik-baik aja, baru gue bisa tenang.

Marco menurunkan gue di lobi lebih dulu sebelum mencari tempat parkir. Kepala gue beneran cuma dipenuhi Mami, bikin gue langsung lompat turun sebelum mobil sepenuhnya berhenti di drop off dan setengah berlari ke resepsionis.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang