23 - Surprise

3.3K 369 15
                                    

Gue terdiam begitu Marco selesai cerita. Kami udah duduk di kursi dapur apartemen sambil ngemil sushi take away. Gue tahu Marco bakal ngasih berita besar, tapi nggak kepikiran kalau bakal sebesar ini.

“Kamu nggak kepikiran bilang aku dulu sebelum daftar?” tanya gue. “Bukan soal kamu minta izin ya, aku nggak berhak ngasih izin atau ngelarang kamu, aku tahu. Tapi seenggaknya bilang? Jadi aku bisa lebih... siap-siap?”

“Aku nggak ngira bakal keterima...” balasnya. “Aku kelihat pas lagi bosen banget di kantor. Terus ya coba-coba aja daftar...”

Gue menghela napas, menahan kesal. “Aku nggak bisa tiba-tiba gini.”

“Nggak harus langsung aku ambil sekarang kok, Zac,” ucap Marco. “Ada waktu dua tahun buat beneran mau nerima atau nggak sebelum hangus.”

“Dua tahun tuh juga nggak lama.”

Marco menatap gue. “Kamu masih mau pindah, kan?”

“Iya, tapi itu kan masuk long-term plan kita. Yang harusnya kita bahas bareng, bukan cuma karena hasil iseng-iseng berhadiah,” ujar gue. “Kerjaanku baru mau enak, Co. Aku lagi nikmatin banget. Dua tahun lagi tuh masih belum apa-apa.”

You’re lucky," balasnya. "Aku nggak nikmatin kerjaanku, Zac. Satu-satunya yang bikin aku tahanin diri kerja di sana karena aku nggak mau bergantung, terus cuma jadi beban kamu. Makanya aku daftar ini.”

Gue turun dari kursi. “Ya udah, terserah kamu.”

“Zac, kita masih ngomong,” tegur Marco pas gue berjalan menjauh.

Gue mengabaikannya, milih terus melangkah ke kamar, langsung ke kamar mandi dan menutup pintunya. Gue udah berendam di bath tub saat terdengar ketukan di pintu kamar mandi.

“Zac?”

Gue milih fokus mainin busa.

“Zacree... aku masuk ya?”

Gue menarik terpal hingga menutupi seluruh bath tub dari pandangan, tepat ketika pintu itu dibuka dari luar. Gue bisa lihat bayangan Marco mendekat, lalu duduk di atas kloset yang tertutup.

“Maaf aku nggak bilang kamu dulu,” gumamnya. “Aku salah. Harusnya emang aku bilang.”

“Aku nggak bisa LDR,” ucapku. “Udah kebayang isinya bakal berantem terus kalau dipaksain.”

“Terus gimana? Mau aku lepas?”

“Kamu yang mutusin, bukan aku.”

“Kamu yakin dua tahun nggak cukup buat persiapan?” tanyanya. “Atau kamu takut ngelepas yang kamu punya sekarang?”

Gue nggak jawab.

“Kalau aku bilang dari awal, terus hasilnya sama, yakin kamu nggak bereaksi gini juga?”

“Seenggaknya kalau kamu bilang, aku masih ngerasa dianggap jadi bagian dari rencana masa depan kamu.”

“Sekarang juga masih kok.”

“Nggak. Sekarang rasanya kayak kamu nyusun masa depan sendiri, aku cuma bonus. Ikut pindah syukur, nggak juga ya udah.”

“Nggak gitu, Zac.”

“Itu yang aku rasain.”

Marco diam.

“Kita biasanya selalu bilang kalau mau ngelakuin sesuatu, apalagi hal besar yang bisa ngasih pengaruh buat hubungan kita,” ujar gue. “Eh, tapi aku juga nggak cerita semua sih ke kamu. Weekend kemarin aku ketemu orang tuanya Marissa. Bener kata kamu, dia emang mau dijodohin sama aku. Tapi aku tolak. Dia juga tolak. Kabar baiknya, Abi nerima penolakan aku. Kabar buruknya, aku udah dicoret sebagai anaknya.”

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang