32 - The Truth

3.1K 489 62
                                    

⚠️ WARNING ⚠️

🔞 MATURE CONTENT DIKIT. 🔞

***

Marissa menarik tangannya dari kejantanan gue, kemudian dia menjatuhkan tubuh ke sebelah gue, sambil memijat pelan rahangnya. Wajahnya tampak kesal.

Gue menaikkan celana. “I’m sorry,” ucap gue.

Dia menatap gue, namun nggak berkata apa-apa. Suasana hening di kamar itu benar-benar canggung. Gue nggak tahu mau ngomong apa. Marissa juga sekarang kelihatan bad mood campur frustrasi. Frustrasi seksual emang kadang jauh lebih bikin kesal daripada frustrasi biasa. Gue paham banget.

“Mau gue ngelakuin sesuatu?” tawar gue.

What? Fingering?”

Gue sebenernya mau nawarin buat mijetin sampai dia ketiduran. Tapi kalau itu maunya, gue bisa coba. Gue belum pernah fingering cewek. Tapi, harusnya nggak beda jauh kan caranya? Beda tempat aja kayaknya.

If you want it,” ujar gue.

Dia nggak langsung jawab, tampak berpikir. “Lo sehat, kan?” tanyanya. “I mean... seenggak cintanya sama gue, harusnya masih ada reaksi gitu. Gue seenggak menarik itu emang?”

“Nggak gitu...”

“Terus? Oral gue yang nggak enak?”

Astaga, nih orang kalau lagi emosi beneran nggak ada filter mulutnya.

“Rahang gue sampe pegel, masih aja letoy.”

Gue nggak tahu harus tersinggung apa nggak sama kalimat itu. “I’m sorry,” ucap gue lagi. “Let me do something.”

Marissa menepis tangan gue yang baru mau mendekat ke arahnya, lalu dia turun dari kasur. “Nggak usah. Udah nggak mood.” Dia berjalan ke arah kamar mandi dengan langkah lebar.

Gue menghela napas. Gue tahu banget kalau gue nggak pernah bereaksi sama perempuan. Mau sekelas Anna Hathaway nari bugil depan gue juga nggak bikin gue terangsang. Beda kasus kalau Ryan Renolds yang striptease depan gue. Nggak usah sampai striptease deh. Dia pole-dance pakai kostum Deadpool juga udah cukup buat bikin libido gue naik. Tapi gue nggak ngira kalau sampai udah sejauh ini pun masih nggak ada reaksi. Apalagi, kalau dipikir, gue udah lama nggak ‘main’, termasuk main sendiri. Harusnya dipegang dikit juga gue bisa tegang.

Gue menatap pintu kamar mandi yang tertutup, lalu berpaling ke bagian bawah tubuh gue. “Beneran nggak bisa kerjasama ya lo,” gumam gue. “Bangun dikit kek.”

Jelas nggak ada tanggapan. Tuh benda masih aja lemes.

Gue jadi kepikiran sama pertanyaan Marissa yang tadi nggak sempet gue jawab. Jangan-jangan gue beneran sakit? Disfungsi ereksi?

Fuck no.

Dengan jantung berdebar, gue memasukkan tangan gue ke balik celana, menyentuh kejantanan gue dan mengusapnya dengan gerak pelan. Awalnya nggak ada reaksi, bikin gue mulai panik.

Calm down, berengsek. Kalau panik makin nggak mau berdiri ntar,” omel gue ke diri sendiri.

Perlahan, gue mencoba tenang, masih sambil mengelus milik gue naik turun. Gue memejamkan mata, berusaha nggak mikirin apa pun, fokus ke rangsangan gue buat diri sendiri.

And it works.

Gue bisa ngerasain perubahan kejantanan gue yang tadinya lembut, perlahan mengeras, hingga akhirnya berdiri sempurna. Gue menggerakkan tangan lebih cepat, seiring dengan detak jantung gue, mencengkram lebih keras, merasakan hasrat yang udah lama banget nggak gue rasain makin meningkat. Kemudian, desahan berat lolos dari bibir gue, bertepatan dengan cairan hangat menyembur keluar, membasahi perut dan tangan gue.

Somewhere Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang